VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20110928

KEKERASAN YANG SATU MENGHASILKAN KEKERASAN YANG LAIN

Emilio F. Quintas

Wacana tentang kekerasan di Timor Lorosae akhir-akhir ini sangat ramai diperbincangkan di tingkat lokal maupun pada tingkat nasional, apa lagi mau memasuki ivent terbesar yang secara regular akan terjadi pada tiap lima tahun, yaitu pemilihan Presiden RDTL secara langsung dan pemilihan Anggota Parlamen. event terbesar ini membuat para pemimpin seluruh partai politik yang ada negara ini, mengeluarkan pernyataan-pernyataan politik yang isinya cenderung menprovokasi situasi dan melalukan pembodohan politik terhadap hak-hak rakyat maubere tulen. Ini dapat di lihat menyusul munculnya pernyataan politik yang di keluarkan oleh para elite politik yang haus akan kekuasaan. Sehingga ada anggapan bahwa kembali akan terjadi perpecahan di antara sesama orang Timor Lorosae, karena sejarah dan pengalaman telah menunjukan bahwa pernyataan para elite politik sangat mudah memunculkan konflik. Contohnya kejadian yang terjadi dan masih hangat di memori masyarakat kota Dili dan sekitarnya, yaitu pada saat berlangsungnya kampanye pesta demokrasi pada Tanggal 23 Maret sampai Tanggal 6 April 2007 dimana para elite politik dari berbagai partai politik mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang cenderung memancing militannya untuk saling bermusuhan. Seperti pada hari kampanye terakhir dari peserta calon presiden RDTL dari partai politik di kota Dili, telah terjadi bentrokan fisik antara militan dan simpatisan masing-masing partai. Contohnya, bentrokan fisik pendukung Partai FRETILIN dengan pendukung Partai Demokrat di berbagai persimpangan jalan di kota Dili. Akibat bentrokan tersebut membuat masing-masing orang akan menggalang massa untuk menciptakan konflik politik berkepanjangan.

Hal ini penting dinyatakan karena kekerasan di negeri kita telah di wacanakan secara tidak adil, rakyat atau mereka yang tidak memiliki kekuasaan politik, ekonomi dan akses informasi (media) di tempatkan sebagai aktor utama kekerasan terjadi. Padahal mereka adalah korban yang sesungguhnya dari proses sosial politik yang dikendalikan oleh para pemimpin(elite-elite politik) baik dari kalangan sipil maupun Militer, yang tampaknya bisa secara semena-mena menjarah ruang-ruang ekspresi sosial masyarakat, yang pada gilirannya mereproduksi resistensi sosial.

Hal ini perlu dijelaskan ke khayalak, bahwa kekerasan jelas bukan monopoli rakyat, kekerasan juga bukan monopoli orang bodoh, bukan pula tipikal orang yang tidak mengenyam sekolahan, apalagi karakteristik orang kampung. Dalam sejarah politik di belahan berbagai negeri, kekerasan tidaklah parallel dengan kebodohan, kampungan. Cobalah kita tengok sejarah kekerasan dunia seperti Hitler, Mussolini maupun Stalin, semuanya bukan orang-orang bodoh, melainkan orang pintar produk sekolahan, entah sekolah sipil maupun Militer, demikian pula Polpot, Pinochet, Milosevic, dan banyak pemimpin dunia lainnya. Itulah kenapa sebutan Manager of violence oleh Harold Laswet tidak diarahkan kepada mereka yang sering di sebut “RAKYAT” itu melainkan kepada para pemimpin-pemimpin politik dan pemimpin Militer.

Bahwa tindakan kekerasan adalah tindakan bodoh, itu dapat di benarkan, tetapi tidak semua orang bodoh paling berpotensi melakukan kekerasan. Orang bodoh yang di asosiasikan dengan tempat tinggal kampung, tidak sekolahan dan miskin itu, justru tidak memiliki energy atau kemampuan untuk mengorganisir kekerasan. Orang pintar, kota dan bersekolah yang dalam kenyataannya dapat melakukan tindakan bodoh seperti kekerasan, disamping mempunyai kemampuan dalam mengekspresikan kehendak untuk berkuasa, karena komunitas ini juga lebih punya kemampuan untuk mengorganisir kekerasan.

Penulis meminjam teori dari Vilredo Bareto tentang “Residu Kombinasi” yang menjelaskan bagaimana para pemimpin memperoleh kekuasaan, menurut pemikir politik Italia ini, proses menuju kekuasaan di berbagai level kenegaraan biasanya di capai melalui penggabungan kekerasan (fisik dan non fisik) dan kelicikan alias manipulasi terhadap kesadaran rakyat. Orang-orang yang berpotensi dalam wilayah kekuasaan politik ini adalah mereka yang teridentifikasi sebagai orang sekolahan, pintar, tinggal di kota yang secara ekonomi lebih makmur.

Kekerasan fisik kiranya cukup jelas dipahami, karena sifatnya yang manifest, tetapi kekerasan non fisik yang biasanya dibarengi dengan manipulasi kesadaran merupakan bentuk kekerasan yang laten (tersembunyi). Kekerasan jenis ini banyak direproduksi oleh para pemimpin, orang-orang terpilih dalam masyarakat yang biasa disebut kaum elite. Retorika-retorika politik yang digunakan acapkali mengandung unsur kekerasan dan provokatif. Hal ini dapat dilihat dari publik melalui konsolidasi politik yang dilakukan dari berbagai PARTAI POLITIK di berbagai daerah yang menjadi basis bagi partainya.

Pelabelan (stigma) simplistik terhadap komunitas kampung, tradisional dan seterusnya diasosiasikan dengan kekerasan merupakan salah satu bukti kekerasan verbal para elite politik. Dikatakan kekerasan karena hal ini mengimplikasikan ketidakadilan, tekanan struktural, alienasi, dehumanisasi martabat dan sekaligus menutup ruang kehidupan sosial masyarakat yang pada gilirannya akan memicu munculnya perlawanan dari masyarakat, betapa tidak, ketika masyarakat tidak melakukan apa-apa, para pemimpin justru menprovokasi seolah-olah kecenderungan deskrutif dalam komunitas masyarakat tertentu. Para elite politik yang tidak bermoral cernderung memancing-mancing melalui retorika-retorikanya agar tindakan deskrutif muncul, karena dengan begitu merekalah yang akan di untungkan dan sama sekali bukan kelompok atau komunitas yang dipancing. Dengan kata lain, ada semacam gaya politik di negeri ini, di mana para elite politik selalu memerosokkan orang baik menjadi buruk, orang yang cintai damai menjadi deskrutif. Karena para elite politik di negeri Maubere ini menginginkan terjadinya Perlawanan masyarakat verbal terhadap para elite politik, karakter ini tampaknya justru di harapkan oleh orang-orang yang terdidik, agar masyarakat terjebak kedalam kekerasan yang lain, dan pada gilirannya masyarakat akan berhadapan dengan sesama masyarakat.

Mantan Presiden Timor Lorosae Kay Rala Xanana Qusmão, yang kini menjadi Perdana Menteri pada Pemerintahan Koalisi, pernah mengingatkan seluruh elite politik di negeri ini bahwa energi sosial masyarakat harus di berikan ruang seluas-luasanya untuk membangun kehidupan sosialnya, tampa pretensi untuk mendistorsi kehendak sosial mereka. Jika ruang gerak untuk tumbuh dan hidup dihalangi, maka energi sosial itu akan berubah menjadi energi yang deskrutif. Pelabelan distortif terhadap kelompok-kelompok dalam masyarakat, yang menyakiti rasa keadilan mereka, jelas produktif bagi terjadinya perubahan energi untuk hidup kearah yang bersifat deskrutif.

Melalui tulisan ini penulis meminjam Teori “Spiral Kekerasan” dari Dom Helder Camara, adalah seorang pejuang kamanusian Brazil mengatakan bahwa kekerasan yang sebenarnya memiliki derajat paling tinggi adalah ketidakadilan yang disebutnya sebagai kekerasan nomor satu, karena ketidak-adilan merupakan kekerasan dasar yang di akibat oleh bekerjanya mesin ketidakadilan sosial dalam dalam sebuah negara maupun lintas negara. Mesin ketidak-adilan itu salah satunya dapat berupa opini public dan menyakiti rasa keadilan masyarakat. Ia adalah pencipta kondisi “Sub Human” bagi kelompok-kelompok tertentu dalam sebuah masyarakat akan menimbulkan perasaan tertekan, tidak bermakna, tidak di hargai, dan berbagai kesumpekan lain. Kondisi semacam ini yang pada akhirnya memunculkan bentuk-bentuk pemberontakan sosial yang disebut Camara sebagai kekerasan nomor dua. Pada gilirannya akan disusul dengan kekerasan nomor tiga yang berupa represi negara melalui perangkat negara keamanan dan kekerasannya. Begitu kekerasan bekerja dalam sebuah negara yang aktor-aktornya, Institusi dan politiknya belum demokratis. Atau dengan, adalah benar adanya postulat teori kekerasan yang menyatakan bahwa kekerasan yang satu akan menimbulkan kekerasan yang lain, ini berarti bahwa kekerasan dalam bentuk apapun baik fisik maupun non fisik tidak akan pernah menyelesaikan masalah, ia justru akan menambah dan memperkeruh masalah yamg sedang di hadapi.

Menurut penulis dalam konteks persoalan bangsa dan Negara ini, kekerasan jelas bukan jawaban yang tepat, oleh karena itu kami sebagai generasi penerus bangsa Maubere menghimbau kepada seluruh elite politik yang mempunyai kekuasaan riil, agar jangan memprovokasi masyarakat maubere yang pada prinsipnya cinta damai akan berbuat tindakan deskrutif. Dan seyogyanya para elite politik dan intelektual yang bermain politik lewat opini harus bersifat edukatif, agar tidak menjebak masyarakat maubere kedalam situasi “Sub Human” yang memungkinkan mereka melakukan tindakan-tindakan deskrutif. Sadar atau tidak bahwa kekerasan verbal yang selama ini terjadi di bangsa maubere ini tidaklah pernah memberikan makna yang bermanfaat dalam proses pendewasaan sosial masyarakat.

Sebagai elite politik, mestinya mereka menjadi pelopor perdamaian dan solusi, bukannya pelopor kekerasan dan provokasi. Pada kondisi sulit, kejernihan akal dan kejujuran hati kitalah yang menjadi kunci bagi penyelesaian masalah. Bukan malah menkambinghitamkan kelompok tertentu, untuk mengambil keuntungan secara pribadi.

Kami generasi penerus bangsa Timor Lorosae berharap masyarakat dari manapun asal dan latar belakang sosialnya menjauhi kekerasan dan tidak lagi terpancing oleh retorika-retorika dari elite politik yang penuh dengan penghasutan yang akan menghasilkan kekerasan. Karena kekerasan terjadi kitalah yang menjadi korban dan bangsa kitalah yang menderita. Sehingga melalui tulisan ini penulis mengajak semua masyarakat mencobah melihat ke belakang tentang sejarah bangsa ini yang penuh dengan pengorbanan dan penderitaan, karena akibat dari egoismenya para elite politik kita. Sehingga sudah saatnya sejarah itu menjadi cermin bagi semua lapisan masyarakat yang ada di bangsa maubere ini, untuk bergandengan tangan dan merapatkan barisan untuk menataah kehidupan Sosialnya kedepan.

Mari kita serukan seperti Camara berseru di tengah medan konflik Tuhan memberkati orang-orang yang cintai damai, dan mengutuk mereka yang berbuat kekerasan dan kerusahkan di muka bumi” Damai Bangsaku, Damai Negeriku.


Penulis staf Pengajar

pada Fakultas Hukum Universitas Dili

Perspetiva Turismu Iha Timor Leste: Husi Natureza (Alam) to’o Kultura iha Poténsia Ba Dezenvolvimentu Turístiku

Ilídio Ximenes da Costa

Introdusaun

Hananu nain, artista no Polítika nain sira mos dala barak liu hananu no hamosu lia fuan mesak murak ba rai ida ne’e “husi Jaco to’o Tasi Feto, husi Tasi Mane to’o Tasi Feto, hsusi Loro Sae to’o Loro Monu Timor ida deit no Timor Riku Tebes” ida deit ba riku soin tomak iha rai laran “ ne’ebé beiala sira husik hela. Ema la’o rai (Turista/Estranjeiru) sira mos terik/dehan “ Timor Leste is Beautiful” Tan ne’e dadaun haburas no haklaken Riku Soin liu hosi programa no planu dezenvolvimentu nasional governu no balun inisiativa rasik husi sidadaun Timor oan ne’ebé sei servisu hamutuk mos ho ajénsia dezenvolvimentu sira hosi rai Liur.

- Antes to’o ba iha deskrisaun , uluk nanain define lai saida mak Turismu? no sé mak turista? Riku soin natureza (alam) no Kultura saida mak Timor Leste iha? Oinsa atu halo ka Dezenvolve riku soin natureza (alam) no kultura no sai fatin ka objetu ba turismu.

Lia fuan “Torismu” mai hosi lia Latin “tornus” Grego “tornos” no Engles “tour” katak “an extended journey visiting places of interest along the route (Collins, Australian Concise Diccionary, fifth edition, page: 1595)”. Tuir A.J Burkat No S. Medlik (Tourism, Past, present anfd future , 1987, London page v) “ dehan katak ema nia mudansa ba tempu badak / provizóriu ne’e ho objetivu atu ba fatin ne’ebé sira moris no servisu nomos atividade sira ne’ebé sira rasik halo durante hela iha fatin sira ne’e ho sira nia interese rasik.( perpindahan orang untuk sementara dalam waktu pendek ke tujuan tujuan di luar tempat dimana mereka biasanya hidup dan bekerja dan kegiata-kegiatan mereka selama tinggal di tempat-tempat tujuan itu. ) Turista (Wisatawan) ka Tourist (Engles) katak ema ne’ebé halo viajen hosi Nia fatin ba fatin seluk iha tempu badak.

Sei iha definisaun barak husi matenek nain sira husi rai liur kona tourista, maske Nune’e tuir” International Union of Official Tourist Organization” (IUOTO) hanesan organizasaun internasional ba torismu ne’ebé hala’o nia knaar hanesan organizasaun konsultativa ida ba Organizasaun Nasaun sira Unida (ONU) ne’ebé ikus Liu transforma ba Organizasaun Mundial ba Turismu (World Tourism Organization= (WTO), iha 1975 define katak Turista ne’e ema ne’ebé hala’o vizita ka viajen iha Loron Badak mais ka menus 24 oras hela Iha fatin/rai/nasaun ida ho objetivu hodi halo paseiu, feriadu, halo tratamentu saúde, estuda, halo atividade relijiosa sira no desportu, negósiu, enkontru, halo Mosaun ruma ka vizita família. Nune’e mos ba ema ne’ebé hala’o viajen ho roo iha tempu badak ho 24 oras iha fatin ida (R. G> Soekadijo, Anatomi Pariwisata sebagai Systemic linkage, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, page 14-17). Indonésia mos adopta definisaun ne’e hodi dezenvolve área turismu, liu-liu kona ba klasifikasaun tourista ne’ebé hetan visa livre no tenke iha visa.

Modalidade Natureza (Alam)

Timor Leste iha modalidade boot ba turismu (touris Asset) hanesan natureza (alam). Geografia no topografikamente, Timor Leste riku ba paisajen/ pemandangan tasi, foho, ai laran no iha balada sira (fauna) hanesan: tasi ibun Liquisa, Lagua Maubara, Be Manas iha Remixio, Kastata (air terjun Mota Bandeira) iha Ermera, Kaskata Mau Rai Iha Ermera, tasi ibun Behau (Manatutu), Tasi ibun Betanu, Com (Lospalos), Tasi ibun Tutuala, Ilha (Pulau) Ataúro no Jaco, Tasi ibun inur Sakato (Oecusse), Tasi ibun Lifau (Oecusse), Tasi ibun Rai henek mutin Dili naran los mak Besilau (Pasir putih) iha Dili, Raihenek Mutin Iha Ataúro (Balisa entre Atauro ho Ilha Lirang), Tasi ibun Cairabela (Baucau), depozita Masin Fatuk Laga (Baucau), Tasi ibun Suai Loro, Lagua Bikantidi (Ainaro), Lagua Fatuberliu (Manufahi), Lagua Tasi Tolu (Dili) no seluk tan hanesan foho Matebian, Cablake, Ramelau (Tatamailau) no foho seluk tan.

Modalidade Kultura

Iha parte kultura labele fokus ka haree deit ba Iha tebe tebe, dahur, tebedai,, músika maibe persiza atu tau matan mos ba fatin sira istóriku ne’ebé hahú hosi tempu japonés, Portugués, Holandés, Indonésia, no fatin sira ne’ebé uluk uza iha resisténsia Nia laran (hanesan :Mehara, Larigutu, (Enkontru entre militar Indonesia ho Xanana, Mário Carascalão), Aitana, Waimori, Nautetu, subar fatin Xanana, iha Lahane Soro Kraik no seluk tan)nune’e mos eransa kultura (tourist Heritage) ne’ebé rekursu torismu (tourism resources) ida mak boot tebes hanesan Ilkere-kere iha Tutuala ne’ebé NGO Haburas hahú dezenvolve ona. Fatin hanesan Ilkere-kere iha Ásia Tenggara iha rua deit, ida iha Sulawesi Selatan, ne’ebé hanaran gua Leang-Leang (Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, Drs, R. Soekmono, halaman 47, Kanisius, 1987).

Atu dezenvolve riku soi sira ne’e uluk liu presiza halo programa integradu, governu no entre parte kultura, turismu no meiu ambiente. Hafoin hamosu grupu peskiza ka investigasaun siéntifika ida hodi define politika ida ne’ebé mak bele asegura valor kultural sira no sosiadade tomak. Buat ne’ebé mak maluk sira ONG Haburas hala’o tiha ona iha Tutuala ne’e, pozitivu tebes tamba halo dezenvolvimentu ba área turismu, meiu ambiente no kultura ne’ebé sei hatuur nafatin valor kultural sira hanesan identidade rai ida nian.

Iha parte seluk, hanesan hanoin ida ba governu atu hau mos halo programa ida ba juventude sira atu ba hahú mos programa ida ba juventude Sira atu iha Distritu ida-idak hahú tuur hamutuk ka Hakbesik an ba Lider tradisional / lia nain, maker fukun, makaer lulik sira hodi hahú identifika fatin kultural sira no fatin turismu no hakerek istória rasik ba ida-idak nia distritu hanesan tinan hirak Liu ba Distritu Ainaro hala’o Serimónia kultural kona ba istória Ainaro (Harii jadi Ainaro). Rezultadu hosi hakerek bele transfere fali ba iha brosur, leaflet, folder, CD hodi hala’o promosaun ba Iha rai liur. Antes atu halo ne’e persiza fó treinamentu ba Juventude sira nomos equipamentu sira , orsamentu no tenke iha asisténsia téknika hosi ema ne’ebé iha matenek, esperiénsira sira ka abilidade.

Depois de treinamentu , juventude sira mos persiza haruka sai ba rai liur halo estudu komparativu atu nune’e sira haree rasik no implementa fila fali iha rai laran (LA OS) haruka fali ema boot deit ba rai liur hafoin transfere fali matenek no esperiénsia sira hosi rai liur ba juventude iha rai laran wainhira fila hosi rai liur.

Sistema hanesan ne’e la dun favorável, atu diak mak haruka ema ne’ebé mak servisu iha área ne’e hodi ba haree, no rona rasik hosi ema ne’eb’e hato’o. Wainhira ema (nia) haree no rona rasik, karik Nia sei tau ba iha prátika maibe, wainhira ida mak ba haree no rona hafoin tranmite fali ba ema seluk, ne’e difísil tebes atu halo implementasaun ka tau ba prátika.

20110926

IMPORTA MUNISOINS: Governu Lakon Konfiansa ba ISF?

Filipe Rodriguês Pereira*

Semanak hirak liuba sosiadade nasaun ne’e hakfodak rona informasaun husi governu sobre munisoins kountener rua tama iha portu Timor-Leste, munsoins nebe’e dirigi ba Kampaun Unmit nian iha Obrigado Barracks. Hakfodak nebe’e iha ikus kahor mos ho preokupasaun wainhira asiste lideransa instituisaun seberania nasaun ne’e nian “han-malu” iha publiku, governu dehan iha importasaun munisoins kaliber 12 maibe Prezidente da Republika (PR), Ramos-Horta deklara katak importasaun munisoins nudar deit mehi iha ema balun nia ulun. Ho no liu husi PR Ramos-Horta ninia deklarasaun ikus halo mos Unmit liu husi ninia Reprezentante deklara katak Unmit la importa munisoins. Ikus liu, PM Xanana depois de halo enkontru ho PR dia 19/9/11 liuba hato’o ba publiku katak problema munisoins ‘resolvidu’ ona. Perguntas mak ne’e, resolve oin sa nian publiku la hatene.

Problema munisoins konteiner rua sai polemika no preokupasaun bo’ot iha sosiadade nia let wainhira media hatu’un noticias, Unmit importa munisoins konteiner rua iha fulan 2 resin liuba. Governu mos mak dahuluk husu asuntu ne’e ba Unmit, maibe ikus governu mos mak buka taka asuntu ne’e ba publiku sem fo’o esklaresimentus nebe’e detalhadus. Hare ba falta de esklaresimentus nebe’e detalhadus, Hakerek’nain buka no koko lam-lamas problema munisoins refere, atu nune’e oituan ka barak bele hahanesan publiku ninia persepsaun ba asuntu ne’e.

Hanesan publiku akompanha, depois de Media Nasional publika problema munisoins, Komisariu Geral PNTL, Dr. Longinhos Monteiro hateten PNTL hetan ona klarifikasaun katak ISF mak importa munisoins ho objectivu hodi halo treinamentu maibe ISF la hato’o informasaun ka koordenasaun ho PNTL konaba asuntu ne’e. Ho deklarasaun Komisariu Geral Longinhos nian ne’e, publiku lolos la presiza ona hamosu polemika konaba munisoins refere ho Unmit, ka deklarasaun PR Ramos-Horta nebe’e dehan Unmit la importa munisoins, dalaruma PR Horta ninia deklarasaun los iha kontextu ho Unmit. Publiku lolos buka husu, tamba sa mak ISF (la’os Unmit) importa munisoins?, no governu Timor-Leste fofoun hatudu preokupasaun konaba asuntu ne’e maibe ikus hamosu impressaun seluk, governu tu’ur malirin haluha tiha rai?!

Ka’er informasaun husi Komandante Geral PNTL, maka hatudu ho klareza katak munisoins konteiner rua tama duni mai Timor-Leste liu husi ISF. Klaru ISF hatama munisoins ka equipamentos funu nian liu husi porto no hetan avaliasaun husi instituisaun Alfandega Timor-Leste. ISF hatama munisoins bazeia ba SOFA (Status of Forces Arrangement) nebe’e governu Timor-Leste no governu Australia asina iha fulan Maio 2006. Prezensa ISF iha Timor-Leste tempu neba’a hodi restora-hikas estabilidade iha nasaun Timor-Leste depois de krizi politika-militar 2006, ISF ninia prezensa liu husi pedidu governu-estadu Timor-Leste. Presiza buka atu hatene, tuir SOFA, ISF bele hatama munisoins ka ekipamentus militar ba sira nia presiza ka nesecidades sem presiza husu autorizasaun ba governu Timor-Leste. Ida ne’e mak problema nia hun, governu Timor-Leste la iha poder atu la autoriza munisoins konteiner rua refere tama mai teritoriu Timor-Leste. Governu Timor-Leste so bele hare ka akompanha deit maibe la’bele halo buat ida tamba ISF uza razaun SOFA entre Timor-Leste ho Australia iha tinan 2006.

Tuir Hakerek’nain munisoins konteiner rua nebe’e importa ne’e mos klaru iha ona konhesimentu husi parte Alfandega Timor-Leste, Alfandega hatene signifika governu Timor-Leste iha konhesimentu. Governu Timor-Leste iha konhesimentu maka Governu Timor-Leste la prende munisoins konteiner rua refere. Governu la bele prende tamba SOFA entre Timor-Leste no Australia la esplika ho detalhadus sobre importasoins equipamentus militar nebe’e ISF presiza hodi hala’o sira nia missaun durante iha Timor-Leste.

Karik SOFA entre Timor-Leste no Australia, Nova Zelandia, Portugal, Malasya relasiona ho krizi politika-militar 2006 ne’e legal? Koalia konaba SOFA maka SOFA nudar akordu internasional tamba halo entre nasaun rua ka nasaun hirak. Bazeia ba artigu 9 Konstituisaun RDTL maka SOFA nebe’e governu Timor-Leste halo hodi husu tulun husi militar Australia, Nova Zelandia, Portugal no Malaysia hodi restaura-hikas estabilidae post krizi politika-militar iha tinan 2006 nudar SOFA nebe’e ilegal. Artigu 9 (2) Kontituisaun RDTL konsagra katak "as normas constantes de convenções, tratados e acordos internacionais vigoram na ordem jurídica interna mediante aprovação, ratificação ou adesão pelos respectivos órgãos competentes e depois de publicadas no jornal oficial." SOFA refere ilegal tamba Parlamentu Nasional ladauk ratifika SOFA ne’e. Mosu ilegalidade konaba SOFA entre Australia no Timor-Leste nebe’e asina iha tinan 2006 maka klaru prezensa ISF iha Timor-Leste mos ilegal, inklui importasaun munisoins konteiner rua no buat seluk nebe’e ISF hatama durante ne’e mai teritoriu Timor-Leste mos ilegal.

Maske nune’e, politikamente sosiadade buka atu simu kada razoins relasiona ho prezensa ISF iha nasaun ne’e. Relasiona ho kazu ne’e, Parlamentu Nasional (PN) la’devia husik desizaun politika nebe’e governu no estadu Timor-Leste halo iha tinan 2006 la’o ho ilegalmente ate prezente. PN tenki buka atu fo’o asegurasaun legal ba prezensa ISF nian iha Timor-Leste. Desizaun politika nebe’e governu no estadu foti hodi husu no simu ISF nia prezensa tenki buka hatu’ur no haprenche kondisoins legais nebe’e iha. To’o ona tempu atu PN halo agenda ida hodi diskuti konaba akordu internasional nebe’e deit mak durante ne’e governu no estadu Timor-Leste halo ho nasaun seluk. Karik la’os deit SOFA entre Timor-Leste no Australia mak ilegal, SOFA entre Timor-Leste no Estadu Unidus Amerika mos sei ilegal tamba ladauk iha ratifikasaun husi PN.

Fila-fali ba kazu munisoins konteiner rua ISF nian, tamba sa mak governu husu klarifikasaun asuntu ne’e ba Unmit padahal governu Timor-Leste hatene klaru katak tuir SOFA entre Timor-Leste no Australia, ISF bele importa munisoins no saída deit ba sira ninia presiza durante hala’o sira nia misaun iha Timor-Leste? Karik tuir governu Timor-Leste mosu ona sinal ladiak ruma ho servisu ISF nian iha Timor-Leste?

Hakait ho asuntu munisoins ne’e, iha parte ida, governu ninia esforsu hodi husu klarifikasaun ba Unmit sobre munisoins konteiner rua nebe’e tama mai Timor-Leste hatudu governu preokupa ho importasaun munisoins barak nebe’e ISF hatama. Governu diskonfia no tauk ISF uza sala munisoins hirak ne’e ba objectivu seluk, sa’a tan iha tinan 2012 Timor-Leste sei hala’o eleisaun prezidensial no legislativa. Governu ninia preokupasaun ne’e normal tamba implementasaun eleisaun geral 2007 liuba halo depois de mosu krizi politika-militar. Klaru governu Timor-Leste lakohi eleisaun 2012 hala’o iha kondisaun ida nebe’e hanesan ho tinan 2007.

Iha parte seluk, preokupasaun governu nian ba importasaun munisoins nebe’e ISF hatama dalaruma hamosu diskontentamentu iha parte Australia. Australia, espesialmente ISF bele konsidera katak preokupasaun Timor-Leste sobre importasaun munisoins nebe’e sira halo hatudu governu Timor-Leste komesa diskonfia ISF ninia prezensa no misaun iha Timor-Leste.

Karik Australia sente Timor-Leste lakon ona konfiansa ba ISF atu mantein estabilidade iha Timor-Leste, no parte Timor-Leste mos sente no hateten buat nebe’e hanesan maka uniku solusaun mak hakotu rapidamente ISF nia prezensa iha Timor-Leste. Wainhira to’o iha pontu ida ne’e maka parte rua tenki halo refleksaun hodi hare ba id-idak nian a’an-rasik. Karik Australia hala’o duni missaun ida puru atu mantein estabilidade iha Timor-Leste ba tempu naruk?! Mos, karik politiku Timor-o’an sira prontu ona atu sei la hamosu tan konflitus ho eskalasaun nebe’e bo’ot no luan hanesan krizi politika-militar nebe’e akontese iha tinan 2006 liuba? Hein katak ho kondisaun nebe’e Timor-Leste atravesa nudar nasaun nebe’e foin so’e hela konflitus bo’ot iha tinan hirak liuba, parte hotu presiza tetu ho mais proporsional atu nune’e id-idak ninia hanoin, hahalok no lalaok la kontradis ho kondisaun real iha rai doben Timor-Leste. **End***

)* Observador Politika no Sosial, Sobrevivente husi Komite 12 de Novembro, no Dosente iha Programa Postgraduasaun, Universidade da Paz, Dili.

20110923

III AP-CPLP : Discurso do Presidente AP-CPLP no Encerramento

III Assembleia Parlamentar da CPLP

Díli, 17-23 de Setembro de 2011

Palavras de S.E. o Presidente do Parlamento Nacional de Timor-Leste,

Fernando La Sama de Araújo, na sessão de encerramento

Exmos. Senhores Presidentes,

Exmos. Senhores Chefes das Delegações

Exmos. Senhores Deputados,

Exmos. Senhores Secretários Gerais,

Minhas Senhoras e meus Senhores,

Caros Amigos,

Foi para nós um privilégio e uma honra organizar a III reunião da Assembleia Parlamentar da CPLP no nosso País, e recebê-los em Díli.

Permitam-me, antes de mais, manifestar, em meu nome pessoal e do Parlamento Nacional de Timor, a satisfação que sentimos por ter participado nesta Assembleia, esteio da legitimidade democrática da CPLP, fórum que vem dar voz institucional aos parlamentos nacionais na construção da nossa comunidade.

A CPLP inscreve-se hoje, mais que nunca, na actualidade e responde às exigências próprias do tempo histórico que nos é dado viver, porque supera lógicas limitadas de bilateralidade e constitui um meio privilegiado para explorar afinidades e interesses comuns, abrindo novas vias para novos desafios.

Porém, a primeira justificação da CPLP reside na partilha da língua portuguesa, língua através da qual podemos partilhar também um mesmo olhar sobre o mundo e os outros.

Da nossa língua vê-se o mar, dizia Virgílio Ferreira, e é também o mar que nos liga a todos numa relação ímpar.

Para nós timorenses, estas são, não apenas palavras poéticas, mas uma realidade plena de significado e assume particular sentido pelo muito que nos liga aos países irmãos da CPLP: o apoio indefectível durante os anos difíceis da Resistência, mas também a história partilhada, os afectos, a matriz civilista do sistema jurídico e, desde logo, a língua, língua que fizemos nossa e que forma já parte indissociável da nossa identidade cultural.

Língua que é também marca distintiva essencial para garantir a nosso êxito como Estado verdadeiramente independente e fazer a diferença na região do Mundo onde nos inserimos.

Se a Assembleia Parlamentar dá ainda os primeiros passos, sem dúvida que o caminho percorrido até agora pela CPLP nos pode e deve inspirar a querer e a fazer mais.

Isto é tanto mais relevante num mundo que mudou acentuadamente nas últimas décadas e se globalizou por via da convergência de processos tecnológicos, económicos e políticos, processo por vezes confuso e difícil de caracterizar, que obedece a uma lógica talvez questionável, mas sempre acelerado.

Neste quadro, devemos tentar encontrar soluções que permitam influenciar a lógica que lhe está subjacente e participar activamente nos processos de decisão. A resposta para os desafios com que nos defrontamos não pode hoje ser encontrada à escala nacional, como é unanimemente reconhecido.

Da nossa perspectiva, a CPLP representa também isto: um projecto que vai para além da mera cooperação ou da economia, antes traduz uma sensibilidade cultural própria, em toda a riqueza da sua diversidade.

Como foi já dito nesta Assembleia, a CPLP é expressão de um modo único e original de ser e de estar. Cada encontro como o que acabamos de realizar é ocasião para reafirmar os laços, princípios e valores presentes nos nossos estatutos e que anunciam a personalidade e natureza da CPLP.

Porém, o que aqui nos traz não é a celebração de um passado comum. Somos uma comunidade fundada na história que partilhamos mas queremos sobretudo ser uma Comunidade virada para o futuro, futuro que é nossa responsabilidade preparar hoje. E o futuro é o próprio tema desta Assembleia Parlamentar.

O aprofundamento das relações institucionais e de cooperação, culturais, económicas e sociais entre os nossos Estados tem que ser claramente assumido como objectivo prioritário. Isto é condição necessária que a CPLP se projecte na realidade concreta, na vida quotidiana dos nossos cidadãos, adquirindo verdadeira significância social e política.

A nossa Comunidade tem sabido afirmar-se como um espaço de diálogo aberto e próximo, criando uma prática de concertação político - diplomática que tem vindo a ser desenvolvida com notável êxito. E, como foi sublinhado nas intervenções que aqui tiveram lugar, tem também vindo a assumir um papel diplomático credível nas políticas externas dos países membros, permitindo potenciar capacidade de intervenção e de influência em áreas e domínios importantes.

Contudo, há ainda um enorme potencial estratégico a explorar. É por isso necessário valorizar e reforçar o papel da CPLP e definir com clareza objectivos viáveis mas ambiciosos.

Não cabem dúvidas que a primeira prioridade é a política para a língua portuguesa, uma das poucas línguas com vocação universal do século XXI, recurso valiosíssimo e de inestimável alcance, que é também um factor crítico de desenvolvimento, factor de inclusão e de participação política activa dos nossos cidadãos no mundo.

É na língua que assenta a construção do espaço CPLP, espaço onde se fala o português, espaço cultural, político e estratégico que pode e deve ter uma personalidade e uma palavra próprias no mundo contemporâneo.

Temos, pois, que definir, definir politicamente e sem equívocos, o que nos interessa e o que queremos para a língua, reconhecendo que há ainda muito a fazer e que é necessária vontade e investimento para a promover a nível mundial e introduzir o seu uso efectivo nos organismos internacionais.

Mas é também fundamental consolidar, intensificar a cooperação político -institucional e económica, encontrando formas e estruturas que o permitam fazer no respeito pelo ritmo próprio de cada um e pela diversidade que nos caracteriza.

No plano político, como assinalado pelo Vice-Presidente da Assembleia da República de Portugal, Ferro Rodrigues, é fundamental conjugar a pertença à CPLP com a presença activa noutros espaços regionais, na América Latina, em África, na União Europeia e, num futuro que esperamos próximo, na ASEAN, e assumir a vontade de influenciar o fenómeno da integração regional, marcando-o com a nossa sensibilidade e valores.

Por outro lado, a cooperação económica assente na congregação de esforços e na partilha de informações e experiências é hoje uma necessidade para superar os desafios que temos pela frente e tornará a nossa Comunidade mais forte e sólida, como bem notou a Vice-Presidente da Assembleia Nacional de Angola, Joana Lina Baptista, sendo necessário garantir um desenvolvimento sustentável mas equilibrado, que represente um benefício efectivo, concreto para os nossos Povos.

Caros Amigos,

Permitam-me dizer que creio que esta reunião, e o que dela resulta, assim como programa anual de actividades que aqui adoptámos, centrado na consolidação institucional, na estratégia de cooperação económica e na promoção da língua portuguesa como língua universal acesso à cultura e ao conhecimento, representam passos seguro, mesmo se modestos, no sentido do reforço da CPLP.

Institucionalizámos as comissões especializadas, para as áreas da Política, Estratégia, Cidadania e Circulação, Economia, Ambiente e Cooperação, Língua, Educação, Ciência e Cultura, criando assim as condições para que a AP-CPLP possa desempenhar cabalmente e com inteireza o papel que lhe cabe.

Aprovámos um conjunto de deliberações e recomendações importantes para o processo de consolidação institucional deste novo órgão da CPLP e para a projecção internacional da língua.

Reconhecendo a necessidade de abrir novos caminhos à nossa cooperação, debatemos a forma de corporizar, levando-os à prática, os Acordos de Brasília sobre a circulação de estudantes e académicos e Declaração de Luanda relativa à difusão da língua portuguesa.

Creio podermos dizer, sem risco de exagerar, que as iniciativas propostas nesta reunião de Díli, e sublinho as relativas ao alargamento do espaço de influência lusófona à Ásia, à criação de uma Agência CPLP de Cooperação Económica e de Apoio ao Económico e às Políticas Públicas da Língua e Cultura Lusófonas, podem vir a dar um impulso expressivo à nossa Comunidade.

Sobre Timor-Leste recai agora a responsabilidade de, ao longo do próximo ano, presidir à Assembleia Parlamentar da CPLP. Colhendo a experiência prévia de São Tomé e Príncipe, contamos com o apoio de todos para levar à prática o que nesta III reunião nos propusemos fazer.

Sendo um Estado jovem, experimentamos ainda muitas fragilidades e enfrenta, a vários níveis, consideráveis dificuldades. Todavia, não queria, antes de terminar e muito brevemente, deixar de dar conta dos progressos alcançados por Timor-Leste nos últimos anos e que nos deixam confiantes e optimistas quanto ao futuro.

Nos últimos anos registámos progressos na estabilidade política, no arranque do desenvolvimento económico, iniciámos o processo de modernização da economia e das infra-estruturas, a produção e distribuição de energia eléctrica e a mecanização da Agricultura, investindo também fortemente na formação dos recursos humanos, em áreas chave que vão desde a Educação à Medicina ou à Justiça, entre outras.

O modelo de gestão dos recursos naturais que adoptámos, recentemente classificado como o terceiro mais transparente no mundo e o primeiro na Ásia, permite esperar uma exploração sustentável do petróleo e do gás, numa perspectiva de longo – prazo que garanta a justiça inter – geracional e permita canalizar os proveitos desses recursos de forma a beneficiar o conjunto da sociedade, como referiu o Presidente da Assembleia Nacional de Cabo-Verde, Basílio Mossos Ramos.

Esperamos, por isso, num futuro próximo, partilhando a nossa experiência com os países irmãos da CPLP, poder vir a oferecer um contributo específico à nossa Comunidade.

Estou ciente que estas palavras representam um espírito ambicioso, mas o futuro não acontece se não o sonharmos.

Gostaria de agradecer o esforço e o empenhamento dos serviços do Parlamento Nacional, e com isto um fazer um agradecimento especial aos funcionários parlamentares, do protocolo do Estado e das forças de segurança, e à imprensa, em particular à Rádio – Televisão de Timor-Leste pela transmissão directa dos trabalhos durante estes três dias, pela vontade de tudo fazer para que esta reunião chegasse a bom porto e fosse um sucesso.

Concluo manifestando o meu profundo reconhecimento a todos os que vieram a Díli e participaram nesta III Assembleia Parlamentar da CPLP e pelo valioso contributo de todas as delegações para o êxito dos nossos trabalhos.

Desejo-vos bom regresso a casa, na expectativa de um reencontro em breve e na certeza que até lá iremos sentir saudades vossas, nossos queridos irmãos e irmãs.

Muito obrigado.

20110922

A participação de Timor Leste na 5ª Edição da Escola de Professores Lingua Portuguesa (CPLP) em CERN (Conseil Européen pour la Recherche Nucleaire)

4 a 9 de Setembro de 2011

Genebra - Pela primeira vez, Timor Leste representado pelo Vitor Lay, aluno de Mestrado em Física Nuclear e de Partículas de Universidade de Coimbra, foi convidado pelo LIP (Laboratório de Instrumentação e Física Experimental de Partículas de Portugal) para participar neste evento.

LIP propõe para que cada ano possa participar um dos professores Timorenses de ensino secundaria em Timor Leste.

Esta actividade organizado por LIP e o CERN (Conseil Européen pour la Recherche Nucleaire) sobre a Escola de Verão em CERN, este evento dirigido aos professores de ensino secundário que têm aulas Física de Partículas e áreas associadas, sessões experimentais e visitas ao laboratório do CERN, o programa em língua portuguesa. Este programa com objectivo para conhecer e difundir informação acerca do CERN.

CERN é um laboratório Europeu de Física de Partículas, localizado em Genebra, Suíça. Composto por detector e acelerador e utilizar a tecnologia avançada para detectar partícula que emerge resultado da colisão partícula acelerada (protões).

CERN tem 6 pontos de colisão ou detector (LHC (LHCb, LHCf); ATLAS; CMS; ALICE e TOTEM) em cada detector tem a sua próprio função, como LHC (Large Hadron Collider) com a intenção de testar várias predição da física das altas energias, incluindo o teste para a existência de partícula hipotetica do BÓSON de HIGGS e da grande família de novas partículas previstas pela supersimetria. O LHC está em um túnel de 27 Kilometros de circunferência, tão profunda como a 175 metros, foi projectado para colidir feixes de partículas opostas de ambos os prótons a uma energia de 7 TeV. (*FH)

20110921

CPLP: Australia hakarak sai membru assoiadu, dehan Sekretariu Exekutivu

Dili (21/09/11). Australia hakarak sai membru asosiadu ba CPLP, haktuir Sekretariu Exekutivu, Domingos Simões Pereira, liu husi mensajem ne’ebe maka hato'o liu husi III Assembleia Parlamentar organzasaun CPLP, ba Agencia Lusa.

Tuir Domingos Simões Pereira, projesaun sae maka'as CPLP nian, "hatudu ba rai barak hakarak manifesta interesse hodi reforsa lasus (talin) ho organizasaun ne'e. Nudar “Exemplo maka Senegal, ilhas Mauricia no Guine Equatorial, sai ona nudar observadores assosiadus, agora simu tan pedidu formais mai husi Ukraina no Reino Suazilandia, no mos interesse husi Governu Australia, ne’ebe haruka nia embaixador hodi akompanha a CPLP, Malta, Luxemburgo no Indonesia”, hatutan liu husi mensajem, Domingos Simões Pereira destake mos"enorme esforsu ne’ebe Timor-Leste iha hodi konsagra-an iha nivel konsolidasaun no modernizasaun kona ba lian Tetum nudar lian nasional no mos espansaun ba lian Portugues”.

CPLP: Austrália quer ser membro associado - secretário-executivo

Díli, 21 set (Lusa) – A Austrália manifestou interesse em ser observador associado da Comunidade dos Países de Língua Portuguesa (CPLP), anunciou o secretário-executivo, Domingos Simões Pereira, numa mensagem dirigida hoje à III Assembleia Parlamentar daquela organização.

Segundo Domingos Simões Pereira, a projeção crescente da CPLP tem “suscitado por parte de outros países manifestações de interesse no reforço dos laços” com a organização.

“A exemplo do Senegal, Ilhas Maurícias e Guiné Equatorial, já observadores associados, pedidos formais chegaram da Ucrânia e do reino da Suazilândia, assim como manifestações de interesse pelos governos da Austrália (que nomeou um embaixador para acompanhar a CPLP), Malta, Luxemburgo e Indonésia”, referiu na mensagem.

Domingos Simões Pereira destacou também o “enorme esforço que Timor-Leste tem consagrado tanto para a consolidação e modernização do tétum como língua nacional, como na expansão do Português enquanto língua oficial”.

A III Assembleia Parlamentar da CPLP vai decorrer em Díli até sexta-feira.

MSE.Lusa/Fim

TIMOR-LESTE ORGANIZA III ASSEMBLEIA PARLAMENTAR DA CPLP

DISCURSO DE ABERTURA DA III ASSEMBLEIA PARLAMENTAR DA CPLP PROFERIDO POR SUA EXA.

O PRESIDENTE DO PARLAMENTO NACIONAL DE TIMOR-LESTE

FERNANDO LA SAMA DE ARAÚJO

21 DE SETEMBRO DE 2011

Exmos. Senhores

Presidentes,

Secretário Executivo da CPLP,

Membros do Corpo Diplomático,

Senhoras e Senhores Deputados,

Senhoras e Senhores Convidados,

É com grande honra que dou início aos trabalhos da III Assembleia Parlamentar da CPLP e que, em nome do povo timorense, dou as boas vindas aos nossos irmãos lusófonos. É também, com grande satisfação que pela primeira vez, Timor-Leste e o Parlamento Nacional, acolhem uma reunião com tão distintos participantes, que só prestigiam esta Casa.

Quando, no século XV, Portugal se voltou para o mar e decidiu vir ao encontro dos nossos povos, estava longe de pensar que estaria a criar de algo novo, inovador e original. Ao sair das suas fronteiras, deu e recebeu sem qualquer ideia de absorção ou de adaptação e nasceu algo de novo, diferente do ponto de partida.

Houve períodos negros e conturbados mas o resultado final pode-se traduzir numa ligação entre os povos que garante que cada cultura, cada identidade se situem tal como estão, assim se relacionando e respeitando. Não houve pretensão de alterar o que já existia, e esta é grande virtude da presença portuguesa no mundo, e que a distingue dos outros. Houve, isso sim, uma troca de culturas que se traduziu num cadinho de várias influências que nos tornou a todos mais ricos. Certamente, se não tivesse havido esta troca permanente ao longo destes últimos cinco séculos, estaríamos hoje mais pobres.

Cultura de várias línguas e língua de várias culturas misturaram-se de uma forma complexa, encontrando um denominador comum: a capacidade de encontrar lugar para exprimir sentimentos comuns, a partir do princípio universal da dignidade das pessoas.

Ainda hoje fico impressionado quando viajo ao Brasil, Angola ou outro país lusófono e, apesar de estar tão longe, tenho aquela estranha sensação de estar em casa, de não estar no estrangeiro. Como foi possível chegar aqui?

Esta sensação faz-me sentir tão perto da ideia de Padre António Vieira que, no longínquo século XVII, falava da importância da criação de um império, não político, mas de dons e graças e feito de cultura e de espírito.

Séculos depois, continuamos ligados por algo que não se explica facilmente. Não é por dinheiro ou influência política, mas sim por algo que nos distingue e diferencia dos outros povos, encontramo-nos acima de tudo ligados por uma cultura permanente de afetos e de teimosia de estarmos juntos.

Senhores Presidentes,

Senhoras e Senhores Deputados,

A base fundamental para a continuidade desta cultura que nos faz a todos mais ricos é a língua que nos une. A língua que, apesar de se chamar portuguesa, é de todos nós. É tão portuguesa, como timorense, angolana, guineense, santomense, caboverdiana, moçambicana ou brasileira. E é de uma riqueza que continua a crescer, pois todos os dias se adapta à realidade local nos nossos países, mais uma vez sem a pretensão de alterar, mas apenas de descobrir um lugar comum para que nos possamos encontrar.

Foi assim que nasceu a CPLP, como um elo fundamental de ligação entre os nossos povos. A língua é o principal elemento que nos une, mas neste campo há ainda muito a fazer, não só ao nível local através do desenvolvimento da língua nos nossos países, sobretudo em Timor-Leste e na Guiné-Bissau, onde existem programas específicos de apoio ao desenvolvimento da língua, mas também no plano internacional, garantindo que a língua portuguesa se torne idioma oficial das organizações internacionais, como as Nações Unidas e União Inter-Parlamentar. Lembro que o português já é língua oficial das grandes organizações regionais como a União Europeia, a União Africana e o Mercosul.

A Língua Portuguesa é uma das línguas mais faladas no mundo, mas não é apenas por este motivo que defendemos que deve ser idioma oficial das Nações Unidas. É também e sobretudo por ser um laço cultural de povos de todas as latitudes e por ser um veículo privilegiado por transportar o património imaterial da humanidade: é um elemento de solidariedade fundamental multiétnico, que as Nações Unidas não podem, nem devem ignorar.

Para além da Língua Portuguesa, a CPLP e nós os Parlamentos de Língua Portuguesa temos outros desafios aos quais é fundamental dar resposta, nomeadamente o desenvolvimento humano, estrutural e económico dos nossos países.

Temos que criar condições para que haja nos nossos países um crescimento económico sustentado, a inclusão social e a plena vigência da democracia. Devemos garantir políticas públicas firmes e transparentes e de acesso a oportunidades, devolvendo aos mais pobres a dignidade e a cidadania, para que eles também possam colaborar neste esforço coletivo. O desenvolvimento dos nossos países, ainda não é, mas deveria ser uma responsabilidade coletiva.

Reconhecemos que a independência foi difícil e nalguns casos foi necessário recorrer à luta armada e ao conflito, mas apesar de terem sido as armas a nos darem a independência, são as leis que nos dão a liberdade. E aqui, nós parlamentares, temos a máxima responsabilidade.

Neste sentido, porque não criar uma instituição que sistematize e que promova a ajuda ao desenvolvimento nos países da CPLP? Porque razão temos que estar dependentes dos outros, se nos nossos países há experiências tão bem sucedidas e que seriam de fácil replicação. É fundamental promover a cooperação e interação a este nível entre os nossos países. Acredito que é possível fazer política externa com humanismo, sem perder de vista o interesse nacional. A política externa não tem que ser baseada no axioma que o interesse nacional se sobrepõe a tudo e a todos, esquecendo princípios fundamentais de relacionamento entre Estados. Esse nunca foi o espírito que presidiu aos nossos países e à forma como sempre os países lusófonos se relacionaram com o mundo. Desde sempre, têm e sempre tiveram um compromisso inabalável com os Direitos Humanos e por essa razão muita da política externa que se tem desenvolvido no mundo na última década nos parece estranha e de difícil compreensão. Podemos ser nós, a bem da humanidade, a promover uma forma alternativa de estar no mundo.

Senhores Presidentes,

Senhoras e Senhores Deputados,

Para além da cooperação e ajuda ao desenvolvimento, é também fundamental sistematizar o comércio e desenvolvimento económico no espaço CPLP. Temos juntos que encontrar uma forma de coordenar a comunicação entre os agentes económicos da CPLP, ajudando os nossos países a desenvolver as suas potencialidades geográficas e produtivas de modo a que diminuam a sua dependência de alguns centros económicos regionais. É fundamental encontrarmos modalidades mais inteligentes e mais ágeis de cooperação económica, que explorem a posição geográfica dos países da CPLP nos diversos continentes, para que no futuro se crie uma genuína zona global de paz e prosperidade.

Na Conferência dos Presidentes propus a criação de um grupo de trabalho que estudasse com pormenor a constituição de uma agência de cooperação e desenvolvimento económico no âmbito da CPLP. É fundamental que sejamos nós, os países que falam português a cooperarem uns com os outros nos momentos mais difíceis. Não faz grande sentido que, existindo capacidade humana e financeira, nos nossos países estejamos constantemente dependentes de outros Estados ou Organizações Internacionais, fora da família da CPLP. Antes de procurarmos ajuda humana ou financeira noutros países ou instituições, temos a obrigação de esgotar essas possibilidades entre nós. Aplica-se o mesmo princípio na vida privada, antes de pedirmos ajuda a outros amigos, consultamos e pedimos auxílio à família.

Sobre esta matéria, o Vice-Presidente do Parlamento Nacional de Timor-Leste Vicente da Silva Guterres, irá falar na sua intervenção mais adiante nos trabalhos desta Assembleia.

Uma outra questão que gostaria de abordar prende-se com a forma de alargar o nosso espaço e com vista à criação desta zona como uma zona de paz e prosperidade económica. Neste sentido, proponho que se crie um grupo que estude a alteração dos estatutos da AP-CPLP de modo a que, à semelhança da CPLP, fossem criadas as figuras jurídicas do Observador Associado e do Observador Consultivo. Deste modo podemos permitir que a AP-CPLP se alargue, contribuindo para fortalecer a CPLP na sua área específica de intervenção. Porque não incluir as Assembleias Legislativas de Goa, Malaca e Macau, como Membros Observadores da AP-CPLP? Ou a União Inter-Parlamentar e o Parlamento Europeu como Observadores Consultivos? Desde que partilhem os mesmos princípios orientadores, designadamente no que se refere à promoção das práticas democráticas, à boa governação e ao respeito dos direitos humanos, e prossigam, através dos seus programas de governo, objetivos idênticos aos da AP-CPLP, porque não partilhar com estas instituições a nossa experiência?

Desta maneira, a Assembleia Parlamentar da CPLP ao alargar o seu campo de atuação estará necessariamente a fortalecer a sua capacidade de interação com regiões e países que, apesar de não falarem a língua portuguesa, não vêem como estranha a nossa presença, pois contam com séculos e séculos de convivência comum.

Com efeito, em relação à Ásia, Timor-Leste tem uma especial responsabilidade, pois é o único país da CPLP que se encontra neste continente, conferindo o carácter verdadeiramente global da CPLP.

Por isso, Timor-Leste tem a seu cargo a obrigação de ajudar a abrir as portas dos mercados asiáticos aos países da CPLP. Em breve, faremos parte da maior organização regional, a ASEAN, e estará à nossa disposição um mercado de várias centenas de milhões de pessoas, ávidas de consumo e de produtos novos produzidos noutras partes do mundo.

Por fim, quero apenas dar conhecimento a esta Assembleia, e sobretudo à delegação da Assembleia da República Portuguesa, que deu entrada na Mesa do Parlamento Nacional, um projecto de resolução a sublinhar o papel altamente relevante na luta pela independência do nosso país, que a “Comissão Eventual para o Acompanhamento da Situação de Timor-Leste” teve. Esta Comissão Eventual funcionou na Assembleia da República Portuguesa de 1981 a 2002 e num esforço incansável, em momentos em que tudo parecia perdido, mantinha a chama acesa do debate em torno da independência de Timor-Leste. Por esta razão, o Parlamento Nacional não poderia deixar de sublinhar e agradecer o empenho incansável de todos os deputados portugueses ao longo dos 21 anos de funcionamento desta Comissão. Peço por isso, ao Sr. Vice-Presidente da Assembleia da República Portuguesa Dr. Ferro Rodrigues, que transmita esta notícia à Senhora Presidente da Assembleia da República, que infelizmente, devido a outros afazeres, não pode estar presente nesta Assembleia.

Termino citando um poeta da nossa língua, Fernando Pessoa, numa alusão àquilo que ainda ficou por fazer e que está nas nossas mãos continuar: “Deus quer, o homem sonha, a obra nasce. Deus quis que a terra fosse toda uma, que o mar unisse já não separasse.”

Numa era global, de grande competitividade, temos hoje a obrigação de fazermos aquilo que já fizemos com muito sucesso durante séculos!

20110920

Realmadrid Foundation to open academies in Timor-Leste

An agreement was signed to boost basic education for children in the cities of Dili, Miliana and Baucau

Realmadrid.com
Translation by Michael JO

The Realmadrid Foundation received a delegation from Timor-Leste at the Santiago Bernabeu Stadium to sign a collaboration agreement to provide basic education for 300 children aged between 6 and 13 years in the Asian country during the 2011/12 season in the cities of Dili, Baucau and Miliana.

The act was presided over by Realmadrid Foundation Vice President Enrique Sanchez and the Timor-Leste delegation: Miguel Manetelu (Secretary of State, Youth and Sport), Filipus Pereira (Chief of the Cabinet of the Secretary of State), Jose Luis de Padua Oliveira (Director General of the Secretary of State's Office) and Antonio Gil Lobit (Legal Advisor to the Secretary of State's Office).

20110919

Masa Depan Status Mata Uang Negara Timor-Leste

A. Latar Belakang

Pada tahun 1990-an dimana pergerakan strategi rakyat Timor-Leste untuk mencapai kemerdekaan dan menjadi negara independent, telah memikirkan secara teratur akan pembentukan struktur pemerintahan serta sistem yang akan dianut. Keadaan ini sangat terasa dalam batin secara utuh akan terelesiasinya tempo kemerdekaan adalah hanya masalah waktu yang tidak lama lagi. Dan akhirnya semua kenyataan akan mimpi sebagai negara independent terujud dengan teratur dan sistematis pada tanggal 4 September 1999 (tanggal dimana Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui UNAMET mengumumkan hasil referendum untuk masa depan rakyat Timor-Leste).

Proses pengisian awal hari-hari kemerdekaan sudah tentu bukanlah suatu proses yang mudah dalam menata kembali aktivitas politik, ekonomi dan social. Negara-negara pendonor dalam mengakses bantuannya baik melalui pemerintah maupun Non government organization (NGO) bergerak menelusuri daerah-daerah yang dianggap berada pada kelas ekonomi sangat miskin, sedang, dan kurang miskin untuk mendapat bantuan selayaknya.

Untuk menanggani permasalahan ekonomi di sisi penggunaan alat tukar pada transaksi jual-beli masyarakat Timor-Leste, maka perjalanan awal tahun 2000-an melalui pemerintahan sementara PBB yakni UNTAET (United Nations Transition Administration in East Timor) bersama para elit politik Timor-Leste menentukan penggunaan dollar Amerika sebagai mata uang legal sementara, yang mana pada akhirnya juga melalui sidang umum dewan perwakilan rakyat Timor-Leste atau disebut Parlemento Nacional Timor-Leste tetap menyetujui peredaran dollar Amerika tersebut di Timor-Leste hingga sampai sekarang.

Pertangahan tahun 2000-an bahkan awal tahun 2000-an pun, masyarakat kecil, para elit politik dan akademisi Timor-Leste selalu mendebatkan penggunaan dollar Amerika akan durasi waktu yang dibayang-bayangi oleh suatu pemikiran akan identitas rakyat Maubere yang keadaan politinya sudah berubah sebagai rakyat yang telah mendiami tempat tinggal sendiri sebagai negara independent dan berdaulat, sama halnya egara-negara lain di seluruh belahan dunia. Identitas yang dimaksud adalah setidaknya rakyat Timor-Leste dapat menggantikan mata uang dollar Amerika ($) dengan mata uang Timor-Leste yaitu BELAK atau sejenisnya yang dilengkapi dengan simbol tertentu. Salah satu langkah kongkrit awal adalah telah memproduksi koin dengan nama CENTAVOS (0.05 centavos, 0.25 centavos, 0.50 centavos).

Namun hingga kini belum melangkah pada tingkat berikutnya yakni dalam bentuk KERTAS. Proses ini dapat digambarkan bahwa rakyat Timor-Leste menyadari dengan baik akan berbagai kelemahan dan kelebihan dari berbagai factor yang ikut mempengaruhi secara sistemik bahkan secara alamiah, jika melangkah secara arogan untuk menciptakan uang kertas, terutama rakyat Maubere secara keseluruhan di masa yang akan datang, mengingat perkembangan penggunaan mata uang yang terus berubah di berbagai negara belahan dunia. Contoh aktual yang dapat dipetik adalah negara-negara eropa yang pada mulanya memiliki mata uang tersendiri, sekarang telah terhimpun satu kesatuan mata uang. Bahkan jika dikelompokkan menurut saya, dunia telah terhimpun dalam tiga (3) kelompok besar yakni: 1) EFTA (Europe Free Trade Area), adalah perhimpunan negara-negara eropa yang dalam perdaganggannya menggunakan mata uang EURO, 2) NAFTA (North Amerika Free Trade Area), adalah perhimpunan negara-negara Amerika bagian utara yang dalam perdaganggannya menggunakan mata uang dollar Amerika, dan 3) AFTA (Asia Free Trade Area) adalah perhimpunan negara-negara asia yang dalam perdagangannya menggunakan mata uang sendiri (walaupun saat ini belum terjadi dikarenakan struktur ekonomi, politik dan social negara-negara asia tertentu masih di bawah estandar kelayakan). Akan tetapi, jika diperhatikan dengan baik, di asia sendiri terutama asia tenggara telah terjadi langkah-langkan baik dalam proses politik yang telah ditempuh yakni telah terjadinya pembentukan assossiasi “ASEAN” (Association of South East Asia Nations). Berbagai langkah positif yang telah dicapai dalam masalah social, budaya, ekonomi dan politik, sampai pada saat ini telah mengalami kemajuan yang signifikan. Bahkan akhir-akhir ini ASEAN sendiri telah mengungkapkan pernyataan bahwa “ ASEAN BELUM MEMIKIRKAN MATA UANG SENDIRI “. Pernyataan belum memikirkan mata uang sendiri merupakan salah satu signal singkat dan sederhana untuk ditelaah, dimana dapat membawa kita pada analisis-analisis yang logis bahwa hampir pasti 75% kemungkinan pembentukan satu jenis mata uang negara-negara ASEAN dalam beberapa tahun ke depan.

Secara politik, negara Timor-Leste telah mendapat dukungan baik dari negara-negara Asean untuk menjadi bagian anggota Asean, walaupun masih diragukan oleh salah satu negara asean lain yakni Singapura. Namun dapat dipercaya bahwa statement politik dari negara Singapura ini dapat diklasifikasikan dalam suatu pengertian sederhana, yaitu “ PROSES “, yang sedang berjalan. Akan tetapi, negara Timor-Leste juga dapat melihat statement ini sebagai masukan positif untuk terus memperbaiki diri, terutama Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki dampak pada pembentukan manusia-manusia Timor-Leste dari sisi pembentukan security (keamanan) yang baik dan professional dalam menangani keamanan dalam negeri yang tentunya berimpak pada anggota asean lain nantinya, impak positif lainnya adalah jika keamanan baik, sector pertanian dan sejenisnya berkembang, pembangunan berjalan, kehidupan rakyat maubere makmur, dan pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan dengan sendirinya.

Perkembangan pemikiran tentang pembentukan mata uang sendiri terus diisukan dalam parlemen nasional Timor-Leste, terutama dari seorang anggota parlemen yang begitu kritis dalam berbagai perkembangan politik, ekonomi dan social, excelencia Manuel Tilman, dari partai KOTA. Ia menyuarakan pembentukan mata uang sendiri dikorelasikan pada pembahasan undang-undang perbankan (central bank) negara Timor-Leste, bahwa dengan berdirinya bank sentral, negara Timor-Leste dengan leluasa dapat menciptakan mata uangnya sendiri. Hal tersebut mendapat perhatian serius dari berbagai kelompok, sehingga pada sebuah seminar mini di Balibar-Dili, saya sendiri pernah mengangkat isu tersebut sebagai proposal untuk program kerja pemerintah Timor-Leste pada tahun berikutnya. Dalam seminar tersebut, mendapat perhatian serius dari excelencia Perdana Menteri Timor-Leste, Xanana Gusmão, hingga beliau sendiri mengajukan agar hal ini perlu dipikirkan dengan baik dan harus melakukan studi-studi yang fundamental. Namun dalam seminar tersebut, saya juga mempersiapkan berbagai argument berdasarkan pada perkembangan keuangan dunia dalam melakukan transaksi, beserta berbagai factor yang mempengaruhi. Kesimpulan dari seminar tersebut adalah:

1) negara Timor-Leste tetap menggunakan mata uang dollar Amerika,
2) menciptakan mata uang sendiri (Timor-Leste dapat menentukan kebijakan moneternya sendiri), dan
3) masih tetap menggunakan mata uang dollar Amerika sambil menunggu perkembangan politik Asean, dan akhirnya terhimpun dalam satu mata uang negara-negara Asean nantinya”.

B. Analisis makro dan mikro ekonomi atas status mata uang Timor-Leste

Bersandar pada sentiment politik rakyat Maubere, tentunya sangat mengharapkan setidaknya identitas akan terciptanya mata uang sendiri dapat terujud. Pemikiran saya berada pada posisi sentiment rakyat Maubere. Namun harus memiliki kepercayaan diri yang teguh, kerja keras, disiplin, dan peningkatan sumber daya manusia yang berkesinambungan dan professional. Mengapa demikian..? Tetap pada kesimpulan di atas, makro ekonomi menuntut suatu negara setidaknya dapat menjawab berbagai problem vital yang terkandung dalam variabel-variabel makro ekonomi diantaranya adalah tingkat pendapatan nasional, konsumsi rumah tangga, investasi nasional, tingkat tabungan, belanja pemerintah, tingkat harga-harga umum, jumlah uang yang beredar, tingkat bunga, kesempatan bekerja, neraca pembayaran, dan lain-lainnya pada tingkat yang estabil. Pemenuhan makro ekonomi dapat terujud apabila proses mikro ekonomi ditangani dengan baik. Pembenahan sumber daya alam melalui aktivitas di bidang pertanian, peternakan, perikanan, migas, perbankan, usaha kecil menengah, pendidikan, kesehatan, keamanan, pariwisata, merupakan akar dari fluktuasi makro ekonomi, yang menurut saya makro ekonomi adalah tunas yang terus tumbuh dan mekar, dikarenakan suntikan makanan dari akar, yakni pembenahan mikro ekonomi.

Setidaknya beberapa bidang yang telah disebutkan di atas terus berkembang ke arah industri yang kokoh dan terus melukakan perbaikan-perbaikan yang bersifat inovatif guna memenuhi permintaan pasar yang berstatus kompetitif. Pasar yang ditempuh bukan saja pasar-pasar local, melainkan pasar-pasar internasional. Logikanya bahwa apabila perbaikan produksi dalam negeri meningkat dengan kualitas wahid di pasaran internasional dan tingkat permintaannya (demand) tinggi diimbangi oleh keestabilan tingkat penawaran (supply), secara otomatis kita mulai bangga dan berbicara bahwa nilai eksport meningkat dan efeknya berimpak pada devisa negara kita akan bertambah. Apabila keadaan ini telah dicapai dan terus dipertahankan, hikmahnya bahwa saat ini juga kita dapat memproduksi mata uang sendiri, walaupun kita akan mengeluarkan sejumlah biaya untuk memproduksi (cost production pada negara pemenang tender produksi mata uang negara) model mata uang negara Timor-Leste.

Mengulas sedikit tentang cost production mata uang negara Timor-Leste harus dilakukan di negara lain berhubung kemampuan sumber daya tekhnologi yang kita miliki tidak ada, karena meciptakan mata uang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :a). Dapat Diterima oleh Masyarakat Umum, Uang yang beredar harus dapat diterima oleh masyarakat umum karena masyarakat percaya bahwa uang tersebut dapat digunakan sebagai alat tukar dan alat pembayaran, b) Mudah Disimpan dan Nilainya Tetap, bahwa uang yang beredar di Negara Timor-Leste mudah disimpan. Bentuknya kecil sehingga praktis menyimpannya. Kita dapat menyimpan uang di saku maupun di dompet karena ukuran uang tidak besar. Contoh uang negara tetangga Indonesia bernilai Rp10.000,00 yang kita simpan di saku selama seminggu tetap bernilai Rp10.000,00. c) Mudah Dibawa ke Mana-mana, Uang kertas dan uang logam mudah dibawa ke mana-mana karena ukurannya kecil dan tidak berat. Namun demikian, jika kalian mempunyai uang logam cukup banyak agak berat untuk membawanya. Kalian dapat menukarkannya dengan uang kertas dengan nilai yang sama. d) Mudah Dibagi Tanpa Mengurangi Nilai, Jika kita mempunyai selembar uang kertas ratusan ribu rupiah dan ingin menggunakannya untuk membeli buku seharga Rp20.000,00, kita tidak mengalami kesulitan. Penjual buku akan memberikan uang pengembalian Rp80.000,00. Dengan demikian, selembar uang ratusan ribu rupiah tersebut dapat dibagi tanpa mengurangi nilainya, e) Jumlahnya Terbatas Sehingga Tetap Berharga, Uang kertas dan uang logam dicetak dengan jumlah terbatas untuk menjaga nilainya. Uang tersebut juga dibuat dari bahan khusus dan diberi ciri khusus sehingga sulit untuk dipalsukan, f) Ada Jaminan , Uang yang beredar di Timor-Leste dijamin oleh pemerintah. Oleh karena itu, semua orang mau menerima uang sebagai alat pertukaran dan pembayaran yang sah. Uang kertas yang beredar merupakan uang kertas kepercayaan (fiduciary) atau uang tanda (token money). Disebut uang kepercayaan karena nilai bahan untuk membuat uang jauh lebih rendah daripada nilai yang tertera (tertulis) dalam uang. Uang kertas juga merupakan uang tanda, karena masyarakat bersedia menerima uang kertas dengan alasan terdapat tanda sah sebagai uang yang dikeluarkan oleh pemerintah. Keenam poin dari penjelasan sifat mata uang dapat disederhanakan pada kalimat diferensiasi. Apabila dapat ditiru dan tidak dapat dideteksi atau terkontrol dengan baik, maka kerugian negara akan semakin besar.

Proses nilai tukar yang akan terjadi nantinya terhadap mata uang dalam negeri sangat tergantung pada devisa negara yang mampu dimiliki oleh suatu negara, identiknya adalah dari nilai eksport yang tinggi, namun bukan hanya pada bahan mentah, melainkan bahan produk jadi juga. Karena dapat dipercaya bahwa nilai kurs mata uang akan selalu bersandar pada demand and supply himpunan devisa negara. Namun juga dapat dipercaya bahwa depresiasi/apresiasi kurs terkadang juga dapat terjadi sebaliknya, yaitu pada saat persediaan (supply) devisa negara sedang estabil bahkan meningkat, bank sentral dapat mendepresiasi nilai mata uang (kurs) dalam negeri terhadap mata uang asin. Contoh aktual yang pernah terjadi saat ini adalah kebijakan negara China atas mata uangnya (yuan atau RMB) terhadap dollar Amerika, dimana China mendepresiasi yuan/RMB terhadap dollar Amerika, dan akhirnya pemerintah Amerika melalui suatu rapat pembahasan proposal perubahan pemberlakuan tarif pajak mencapai 23% yang hanya dikenakan terhadap barang import China ke Amerika, disetujui oleh konggres Amerika. Keputusan ini akhirnya dapat melunakkan China untuk merevaluasi/apresiasi Yuan/RMB pada posisi semula, walaupun pada mulanya China sedikit menyindir akan campur tangan WTO (World Trade Organization) tentang free trade. Sebaliknya, kejadian lain terjadi pada salah satu negara di Afrika mendevaluasi nilai mata uangnya dibawah standar normal terhadap dollar Amerika, namun sedikitpun negara Amerika tidak pernah mengubris dan membiarkannya berlaku. Keadaan ini dapat kita pahami secara logika bahwa, memang betul kemampuan eksport negara Afrika belum dapat menjangkau pasar-pasar internasional (terutama ke Amerika) untuk menciptakan persaingan. Sedangkan China….dapat menerobos hampir di seluruh belahan dunia dengan produk berkualitas tinggi dan harga murah (walaupun yang terjadi di Timor-Leste adalah sebaliknya). Apabila Amerika tidak mengambil kebijakan tarif 23% terhadap produk China pada waktu itu, maka produk-produk dalam negeri Amerika akan kalah bersaing, bahkan banyak perusahaan Amerika sedikit demi sedikit akan gulung tikar (bangkrut) karena tidak mampu bersaing, dan dapat memicu gejolak social baru di Amerika pada problem unemployment.

C. Kesimpulan

Apa yang terjadi di negara kita, Timor-Leste..? Bagaimana dengan neraca perdagangan, aktivitas eksport/import, tingkat pencari kerja, produktivitas nasional dan lainnya yang terselubung dalam definisi makro dan mikro ekonomi..? Sebagai negara baru tentu masih dibawah estandar jika dikaitkan pada pembahasan di atas. Akan tetapi menurut saya kita masih berada pada keadaan yang baik dan mulai mengarah pada tujuan yang sebenarnya. Hasil penjualan migas merupakan tulang punggung unik disamping hasil perkebunan kopi sebagai result eksport untuk membiayai pembanggunan negara dan rakyat Maubere yang total penduduknya mencapai 1,066,000 jiwa. Praktisnya, perlu terus mengalang perbaikan serta pengembangan pada sector-sektor vital seperti keamanan, pendidikan formal dan informal (kursus professional) dan kesehatan manusia Timor-Leste, untuk mengelolah berbagai persediaan sumber daya alam yang ada dalam menatap masa depan rakyat Maubere yang cerah.

Terfokus pada topik dalam artikel ini, negara Timor-Leste berada pada kebimbangan menentukan nilai mata uang sendiri. Dilematis ini muncul sejalan dengan perkembangan jaman yang mana memaksa kita untuk terus berpikir dalam menentukan masa depan pembangunan ekonomi yang cerah. Dalam kesempatan ini saya dapat memberikan rangking atau nilai dalam bentuk persentase (%) sebagai keputusan tentang penggunaan jenis mata uang dari ketiga alternatif yang telah dibahas pada masa yang akan datang, antara lain sebagai berikut:

1. Negara Timor-Leste tetap menggunakan mata uang dollar Amerika, 25%,
2. Negara Timor-Leste harus menciptakan jenis mata uang sendiri, 40%,
3. Negara Timor-Leste masih tetap menggunakan mata uang dollar Amerika sambil menunggu perkembangan politik Asean, dan akhirnya terhimpun dalam satu mata uang Negara-negara Asean nantinya, 35%.

Persentase ini berlaku pada keadaan citeris paribus, artinya bahwa factor-faktor lain yang mempengaruhi seperti keamanan, perkembangan penjualan migas, pertanian, perkebunan, usaha kecil-menengah, pariwisata, perbankan dan lainya berada pada posisi stabil bahkan terus bertambah baik.

Percayalah, bahwa negara Timor-Leste berada pada posisi ketiga alternative di atas, dalam menentukan jenis mata uang di masa yang akan datang.

Demikian.

By; Vianco F. de A. Carvalho, L.Ec, MM (Tesis akhir espesifikasi Finance). Alamat: Audian Santa-Cruz, Dili Timor-Leste, Kerja di SEFOPE. No. Hp : +670 736 1792 - Artikel ini dimuat di Harian Suara Timor Lorosae, edisi Senin, 19/9/2011