KONSEPSI
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
Emilio F.
Quintas
Dalam rangka memperingati hari Universal hak asasi
manusia yang ke 65, Timor-Leste yang merupakan anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa ke 191 ikut juga memperingatinya. Karena negara merupakan regulator
terhadap konsep perlindungan hak asasi manusia.
Dalam perkembangan pemikiran tentang konsep negara modern, persoalan
hak asasi manusia senantiasa menjadi unsur penting yang harus memperoleh
jaminan perlindungan dalam Konstitusi negara sebagai sebuah hak yang tertinggi
dalam suatu negara, Konstitusi diyakini akan memberikan perlindungan hak asasi
manusia. Namun demikian diakui bahwa berbagai
Konstitusi negara tidaklah sama dalam memberikan jaminan perlindungan
hak asasi manusia. Beberapa Konstitusi negara di anggap minim dalam memberikan
perlindungan hak asasi manusia, sementara negara yang lainnya sangat lengkap
memberikan perlindungan,dalam hal ini seperti Konstitusi Timor-Leste sangatlah
lengkap bila di bandingan dengan negara-negara
lain, seperti negara Indonesia.Tetapi dalam proses implementasinya nilai-nilai
fundamental hak asasi manusia di Timor-Leste
melalui perunndang-undangannya sangatlah kontraversial dengan jiwanya konstitusi. Seperti
Undang-undang untuk demonstrasi, yang mana isinya sangat bertentangan dengan
konsepnya nilai-nilai hak asasi manusia yang telah menjadi salah satu norma
dalam Konstitusi RDTL
Berbeda dengan perkembangan pemikiran hak asasi manusia yang harus
dijamin dalam Konstitusi negara, perkembangan pemikiran tentang bagaimana
masyarakat Internasional dan bangsa-bangsa anggota Perserikatan Bangsa-bangsa harus
melindungi dan menunjukan hak asasi manusia telah melahirkan perbedaan konsepsi
tentang perlindungan hak asasi manusia pada tataran tingkat Internasional.
Melalui tulisan singkat ini penulis berusaha membahas konsepsi
perlindungan hak asasi manusia yang lebih luas dalam ruang lingkup Nasional dan
perkembangan konsepsi perlindungan hak asasi manusia di tingkat Internasional,
dengan pendekatan aspek teoritis dan aspek kebutuhan praktis. Karena konsepsi
pemikiran hak asasi manusia, baik di tingkat nasional dan Internasinal tidak
dapat dilepaskan dari pemikiran filosofis dan ideologis yang melatar-belakanginya,
maka dalam tulisan ini, aspek tersebut akan disinggung pula.
Pembahasan aspek filosofis, ideologis maupun teoritis tersebut akan
sangat membantu memahami konsepsi perlindungan hak asasi manusia dari berbagai
negara, khususnya konsepsi perlindungan hak asasi manusia dalam negara-negara nasional
yang tercermin dalam Konstitusi, dan sikap politik mereka di tingkat
Internasional.
Dewasa ini, kaitan perlindungan hak asasi manusia di tingkat nasional
dan di tingkat Internasional, walaupun tidak simbiotis, tetapi hubungannya sangat erat, karena instrumen
Internasinal mewajibkan sistem konstitusional domestik setiap negara memberikan kompensasi yang memadai kepada orang-orang yang haknya
di langgar, untuk menggunakan mekanisme Internasional dalam menjamin hak-hak
asasi apabila mekanisme perlindungan di dalam negara itu sendiri goyah. Dengan
demikian, mekanisme Internasional berfungsi memperkuat perlindungan
domestik terhadap hak asasi manusia dan menyediakan
sistem pengganti jika sistem domestik gagal atau ternyata tidak memadai.
Pada tataran konseptual teoritik-filosofis,
perlindungan hak asasi manusia dapat di telusuri hingga munculnya faham konstitusionalisme
pada abad ke 17 dan 18. Bahkan apabila boleh diukur sampai saat manusia dalam pergaulan hidupnya sadar akan hak
yang dimilikinya, sejarah hak asasi manusia telah ada ketika zaman purba, yaitu setidak-tidaknya pada masa
Yunani kuno yaitu warga Athena telah mengenal prinsip-prinsip “isotimia” (persamaan
derajat warga negara), “isogoria” ( persamaan kebebasan
berbicara dan berkumpul ) serta “isomania” ( Persamaan di depan Hukum
).
Namun demikian, pada umumnya disepakati bahwa
gagasan perlindungan hak asasi manusia itu
secara konkrit terjadi pada abad 19. Pada abad ini , gagasan
konstituisionalisme memperoleh rumusan yuridis. Di awali dengan pemikiran Immanuel
Kant tentang konsep “Rechts Staat“ yaitu konsep hukum dalam arti sermpit(formal) yang menempatkan fungsi “Rechts”
pada “’Staats’ hanya sebagai alat
bagi perlindungan hak asasi individual dan pengaturan kekuasaan negara secara pasif, yakni hanya bertugas sebagai
pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat.
Konsep “Rechts Staats” di atas tampaknya
banyak di pengaruhi oleh pemikiran John
Locke tentang “hak-hak asasi manusia secara alamiah (Hak
hidup kemerdekaan dan hak milik) serta
asas pemisahan kekuasaan “negara” ke
dalam Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif yang dalam perkembangannya
dimantapkan lebih lanjut oleh Montesquieu,Blackstone dan Jean Jacques
Rousseau.
John Locke beranggapan, keadaan
alamiah dan hak-hak Asasi manusia secara alamiah memang mendahului berdirinya negara.
Oleh karena itu, seyogyanya negara tercipta melalui perjanjian masyarakat
diantara rakyat dengan tujuan untuk melindungi hak hidup, hak milik dan
kebebasan individu. Kekuasaan negara yang berbentuk melalui perjanjan kemasyarakatan
itu, perlu di atur dengan perundang-undangan, dan kekuasaan perundang-undangan
menempati kekuasaan tertinggi dalam negara serta menjadi tugas utama dari negara.
Konsekuensi logisnya, kekuasaan perundang-undangan harus terpisah dari kekuasan
pelaksana perundang-undangan dan kekuasan peradilan.
Di negara- negara Anglo Xaxon pemahaman terhadap
negara hukum umumnya mengikuti konsep “Supremacy of law, equality before the law
the constitution based on individual rights” terdapat persamaan dan
perbedaan antara konsep “Recht-staats dan “The Rule of Law“ persamaan
terletak pada landasan filosofis yang menjiwai kedua konsep negara hukum tersebut. Kedua-duanya di jiwai oleh
faham liberalistik- individualistik yang mengedepankan jaminan dan perlindungan
hak-hak asasi manusia sebagai dasar utama pembentukan konstitusi dan pembatasan
penyelengaraan pemerintahan berdasarkan Undang-undang. Perbedaannya terletak
pada eksistensi peradilan administrasi negara. Pada konsep “Rechts staats“ peradilan di jadikan salah satu unsur utama yang
bersifat otonom. Sebaliknya konsep “Role
of Law“ eksistensi peradilan administrasi secara otonom dipandang tidak
perlu karena peradilan umumnya dianggap
berlaku sama bagi semua orang baik warga biasa maupun pejabat atau badan administrasi
Negara sesuai dengan prinsip “Equality
before the Law“(Lukman, 1997:81-82).
Dalam perkembangan awalnya, yaitu abad ke 19 konsep negara hukum
dirumuskan dalam suasana yang masih dikuasai oleh gagasan bahwa negara dan pemerintahannya tidak campur tangan dalam
urusan warga negaranya,kecuali yang menyangkut kepentingan umum, seperti
bencana alam, hubungan luar negeri, dan
pertahanan negara. Aliran pemikiran tersebut di sebut liberalisme dirumuskan
dalil “The Least Government is the best
Government“ Pemerintahan yang paling sedikit campur tangan terhadap
warga negara adalah pemerintahan yang baik. Negara dalam pandangan ini dianggap
sebagai penjaga malam, yang ruang geraknya sangat sempit, tidak hanya di bidang
politik, tetapi terutama di bidang
ekonomi, kegiatan bidang ekonomi
di kuasai/ kebebasan tiap-tiap individu mengurus kepentingan ekonominya
masing-masing, maka dengan sendirinya keadaan ekonomi seluruh negara akan sehat. Nagara hanya bertindak apabila
hak-hak ekonomi dilanggar atau ketertiban dan keamanan umum terancam. Konsepsi
negara hukum demikian dikenal sebagai negara hukum dalam keadaan sempit.
Pada abad ke 19 telah membawa perubahan-perubahan besar dalam bidang
spesial ekonomi, perubahan-perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain banyaknya kecaman terhadap ekses-ekses industrialisasi sistem
kapitalis, tersebarnya faham
Sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata.
Gagasan bahwa pemerintahan dilarang campur tangan dalam urusan warga
negara baik di bidang social maupun
ekonomi, lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah bertanggugjawab
atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur keghidupan ekonomi
social. Negara dalam gagasan ini harus berperan luas
mencakup bidang ekonomi. Negara semacam ini dinamakan negara kesejahteraan Welfare State atau social
Service State, (Negara yang
memberi pelayanan kepada masyarakat atau negara modern).
Dalam perkembangan negara-negara modern sejak abad
ke 19, perkembangan konsep negara hukum, khususnya yang berkaitan dengan
konsepsi perlindungan hak asasi manusia, banyak yang dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran liberalisme di satu pihak dan Marxisme- Sosialisme di lain pihak. Pemikiran liberalisme- Kapitalisme telah
menghasilkan apa yang disebut dengan “Liberal Style Constitution ”
yang mewarnai sebagian besar negara di dunia ini selama lebih kurang 50
Tahun (Steiner dan Alston,2000), Konstitusi
model liberal ini menekankan jaminan perlindungan terhadap hak-hak individual
yang lebih bersifat sipil dan politik, di satu pihak dan membatasi kekuasaan negara
sedemikian rupa sehingga peran negara sangat terbatas.
Berbeda bahkan bertentangan dengan dengan pemikiran
liberalisme-kapitalisme, pemikiran Marxisme- sosialisme menghasilkan apa yang
di sebut dengan “sosialist legality“, suatu konsep negara hukum yang mengandung
prinsip-prinsip yang berbeda secara principal dengan konsep Rechts
Staats dan Role of Law. Ciri utamanya, bersumber pada
faham Komunis yang menempatkan hukum sebagai alat untuk mewujudkan Sosialisme
dengan mengabaikan hak-hak perorangan. Hak-hak perorangan harus lebur dalam
tujuan Sosialisme yang mengutamakan kepentingan masyarakat (Kolektivisme) diatas
kepentingan pribadi individu-individu. Konsep Socialist
Legality selain bersifat sekuler juga ateis, dan anti terhadap unsur-unsur atau
nilai transedental.(Azhary, 1992:67-68).
Konsep ini di pengaruhi Marxisme, dalam masyarakat dimana para
Kapitalis memonopoli alat-alat produksi, Marx menganggap bahwa pemikiran
tentang hak-hak individu di anggap sebagai ilusi kaum borjuis, konsep-konsep
seperti hukum, keadilan, moralitas, Demokrasi, Kebebasan, negara hukum dan
lain-lainnya hanya kategori-kategori sejarah yang isinya di tentukan oleh
kondisi-kondisi kehidupan berubah, isi dari pemikiran-pemikiran dan ide-ide itu
berubah. Karena itu, eksistensi hak-hak individuals yang berakar pada keadaan alamiah
yang ada sebelum adanya negara tidak ada. Hak asasi manusia hanyalah hak-hak
yang diberikan oleh negara, dan pelaksanaannya tergantung pada pemenuhan
kewajiban-kewajiban kepada masyarakat dan negara.
Dalam Konstitusi negara-negara yang berdasarkan
Marxisme-Sosialisme, negara diberi peran besar untuk mengatur Hak-hak warga negara.
Jaminan hak-hak dan kebebasan individual kurang mendapat tempat.
Perbedaan-perbedaan konsepsional teoritis tentang negara hukum sebagaimana
dipaparkan membawa implikasi pada aspek perlindungan hak asasi manusia baik
pada tataran Nasional maupun Internasianal. Di negara-negara yang menganut
konsep dan teori “Rechts Staats atau “Rule of Law“ yang banyak di
pengaruhi oleh liberalisme dan kapitalisme, perlindungan hak asasi manusia
lebih menekankan pada pemberian kebebasan individu-individu warga negara untuk
mengembangkan dan menentukan hidupnya sendiri. Campur tangan negara hanya
diperlukan untuk menjaga agar kebebasan-kebebasan mengembangkan dan menentukan
diri itu tertib. Konsepsi perlindungan
oleh negara lebih bersifat pasif.
Dalam negara yang demikian, perlindungan hak asasi
manusia lebih menekankan pada hak-hak Sipil, di negara-negara yang menganut konsep “Socialist Legality“ yang
dipengaruhi oleh Marxisme dan Sosialisme dan Komunisme, yang memandang hak
asasi manusia hanyalah hak-hak yang diberikan oleh negara dan pelaksanaannya
tergantung pada pemenuhan kewajiban-kewajiban kepada masyarakat dan negara.
Negaralah yang mengatur hak asasi manusia, negara sebagai Regulator of Rights. Pada negara-negara
yang menganut faham ini, perlindungan hak asasi manusia lebih menekankan pada
perlindungan hakk-hak ekonomi, social dan budaya dengan campur tangan negara
yang dominant. Perbedaan teoritis konsepsi negara hukum menimbulkan implikasi
pada konsepsi perlindungan hak asasi manusia secara Internasional yang dapat di
lihat pada permasalahan perlindungan hak asasi manusia di tataran konsepsi tingkat
Internasional sebagai berikut; Negara-negara sosialis menghendaki, tugas
masyarakat Internasional adalah untuk menyetujui peraturan atau standard yang
luas mengenai kategori atau jenis-jenis hak-hak yang akan di akui, selanjutnya
adalah sistem Internasinal masing-masing, terserah kepada masing-masing negara
untuk memberikan kekhasan yang lebih besar bagi peraturan atau standard yang
lebih luas. Dalam tahap ini masyarakat Internasional tidak dapat lagi campur
tangan, ini berarti Negara-negara lain atau organisasi masyarakat Internasional tidak dapat
mempertanyakan pelaksanaan hak-hak itu. Sesuai dengan prinsip larangan campur
tangan terhadap urusan dalam negeri. Satu-satunya pengecualian yang menbenarkan campur tangan urusan dalam negeri negara lain
adalah apabila pelanggaran hak asasi manusia itu terjadi sedemikian gawatnya
dan sedemikian sistimatisnya sehingga merupakan ancaman terhadap perdamaian.
Sebaliknya bagi negara-negara barat harus ada
konsepsi pengawasan internasional untuk mengawasi peleksanaan standar-standar
internasional yang luas itu. Oleh karena itu, perlu pembentukan mekenisme
monitoring internasional yang meyakinkan apakah suatu negara benar-benar
melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional yang di pikulnya. Karena
instansi-instansi negara sering kali tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban
internasional yang berasal dari luar atau sering memenipulasi kewajiban-kewajiban
internasional dengan alasan kedaulatan internasional. Hanya mata masyarakat
internasional yang siagalah dapat menjamin dilaksanakannya standar-standar
internasional itu secara sepantasnya.
Perbedaan tajam antara negara-negara sosialis dan
negara barat dalam konsepsi perlindungan hak asasi manusia berkaitan dengan
adanya dua kategori hak asasi manusia, yaitu hak sipil dan politik, disatu
pihak dan hak ekonomi sosial dan budaya. Dengan alasan sesuai dengan keadaan
dan kepentingan masing-masing negara, negara berkembang dan negara sosialis menuntut
agar hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang pantas dimenangkan dalam aksi
internasional. Sebaliknya negara-negara barat cenderung untuk memenangkan
hak-hak sipil dan politik dalam aksi internasional.
Timor-Leste yang baru menjadi negara di era
milineum ini telah meratifikasi sejumlah Konvensi Internasional, semoga tetap
mempunyai komitmen yang tinggi dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia
terhadap warganya, karena Konvesi internasional merupakan standar bagi negara
peserta untuk menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia.
.
Penulis staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Dili
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.