FALINTIL TIDAK PERNAH MEMENANGKAN PERTEMPURAN MELAWAN ABRI ("Lalu Kenapa Falintil Mendapatkan Keistimewaan Dari Negara?")
“Apalah arti sejarah? Dia tidak lebih dari sebuah tabel yang disusun oleh mereka yang mengagung-agungkan diri mereka sendiri. Ketika dua budaya berseteru, yang menang akan menulis buku-buku sejarah untuk mengagungkan diri sendiri dan merendahkan lawan mereka yang kalah”.
Saya tidak tahu, siapa pemilik ungkapan di atas. Mungkin saja Napoleon Bonaparte dari Prancis. Tapi yang jelas bukan saya. Saya menemukan ungkapan di atas dalam novel “The Da Vinci Code”, karya Mr. Dan Brown, yang konon memukau nalar dan mengguncang iman.
Pada suatu hari saya ingin pergi ke Bali. Sambil menunggu jam keberangkatan, saya “ngobrol” dengan teman-teman di Bandara Presidente Nicolau Lobato Dili. Tidak berselang lama, ada seorang pria paruh baya dengan rambutnya yang sudah beruban, ikut nimbrung.
Orangnya sangat lucu. Kelucuannya bukan dibuat-buat. Tapi alami sekali. Sangat natural. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya, akan selalu mengocok perut kita. Beliau dipanggil dengan sebutan “Tiu Chico”. Dua keponakannya bernama Nivio Magalhaes (mantan Sekretaris Negara) dan Fidelis Magalhaes (saat ini merupakan salah satu Menteri Kabinet 8 yang menangani Bidang Reformasi Birokrasi).
Tiu Chico bercerita; Pada suatu hari dia ditangkap TNI (Tentara Nasional Indonesia). Lalu dia diinterogasi. Anggota TNI yang melakukan interogasi bertanya; “Bapak pernah menembak berapa TNI?”
Dengan entengnya Tiu Chico menjawab; “Saya mau tembak bapak bagaimana? Tiap kali saya kejar bapak untuk ditembak, bapak larinya kencang sekali. Saya tidak bisa lari sekencang bapak, karena kelaparan. Makanya saya tidak bisa menembak. Sebaliknya, tiap bapak kejar saya buat ditembak, saya juga lari. Bapak terlalu gemuk, perut buncit, karena kebanyakan makan natura (t2) dan akhirnya malas kejar saya. Membiarkan saya lolos. Jai ada dua kondisi yang membiarkan kita masih sama-sama hidup. Yaitu, saya sulit kejar bapak untuk ditembak, karena kelaparan. Bapak sulit mengejar saya karena kekenyangan makan. Karena itulah saya masih hidup, sampai saya ditangkap. Peluru saya juga masih utuh, yang telah bapak sita”.
Penggalan cerita di atas, menampilkan sisi lain dari apa yang sejatinya terjadi di lapangan, selama 24 tahun Rezim Orde Baru menduduki Timor-Timur. Begitu Timor-Timur berpisah dari Indonesia (bukan merdeka dari Indonesia) melalui referendum 30 Agustus 1999, dan kini menjadi sebuah negara, dengan kedaulatan “telur setengah matang”, salah satu “kelompok” yang paling istimewa diperlakukan oleh negara, adalah “Falintil” (gerilyawan yang sebenarnya merupakan sayap kanan Fretilin).
Mereka mendapatkan subsidi seumur hidup. Menduduki sejumlah pos penting di pemerintahan (mulai dari posisi panglima, anggota parlamen, menteri, perdana menteri, sampai menjadi kepala negara), dengan sejumlah hak-hak istimewa lainnya. Termasuk di antaranya, jika mereka meninggal, tanpa perlu lagi ada perdebatan yang memunculkan urat leher, mereka akan dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Metinaro, dengan upacara kenegaraan yang sangat istimewa.
Saat mereka tampil dalam pemilihan umum, mereka akan selalu mendapatkan jumlah suara yang sangat singnifikan. Sampai-sampai lawan mereka yang memiliki gelar akademis mentereng (Professor, Doktor), mengalami kekalahan telak. Padahal jika pendidikan akademis menjadi alat ukur, ibarat bumi dan langit. Tapi perilaku dan sikap mereka, entah disadari atau tidak, selalu menuntut rasa hormat, pengakuan akan eksistensi mereka, bahkan sampai pada tara pengkultusan. Bahasa mereka adalah hukum yang harus ditaati.
Tiga di antara mantan Komandan Falintil sudah menduduki kursi Presiden Timor Leste, yaitu Xanana Kayrala Gusmao, Taur Matan Ruak dan Lu Olo. Mungkin di tahun 2022, Lere Anan Timur (yang saat ini menjabat sebagai Panglima F-FDTL), akan menyusul. Dua di antara nama-nama yang disebutkan di atas, sudah menduduki kursi Perdana Menteri (Xanana Gusmao dan Taur Matan Ruak).
Poinnya, di Timor Leste itu, setidaknya untuk saat ini, yang diutamakan adalah “jasa”. Bukan “ijazah”. Yang jadi pertanyaan adalah; “Adakah referensi sebelumnya, yang bisa kita jadikan alat ukur, bahwa sebuah negara yang dipimpin oleh mereka yang mengandalkan “jasa” (bukan ijazah), pernah meraih kesuksesan besar? Ataukah, sebaliknya yang akan terjadi adalah “failed state” (negara gagal?).
Yang menjadi pertanyaan menggoda adalah; “Falintil tidak pernah memenangkan pertempuran melawan ABRI. Tapi kenapa mereka mendapatkan keistimewaan dari negara?”
MENANG PERANG DAN MENANG PERTEMPURAN ITU BEDA KELAS & BEDA SUBSTANSI
ABRI dan Rezim Orde Baru mengangkat kaki dari Timor-Timur, bukan karena mereka kalah dalam medan pertempuan melawan Falintil. Tapi karena ABRI dan Rezim Orde Baru “kalah perang”, melalui referendum.
"Menang funu ho menang batalla, buat rua ho ninia terminolojia ke la hanesan. Falintil nunka manan batallha hasoru Militar Indonesia iha tereinu".
Bayangkan saja. Jumlah populasi ABRI, sudah melebihi jumlah populasi penduduk Timor-Timur jaman itu. Belum lagi masalah logistik, terutama kekuatan persenjataan yang dimiliki ABRI.
“Berapa pesawat tempur yang dimiliki Falintil? Berapa kapal perang yang dimiliki Falintil? Berapa kendaraan (tank-tank) perang yang dimilki Falintil? Jenis-jenis senjata apa saja yang disuplai Penthagon untuk Falintil? Berapa anggaran negara yang merupakan bantuan hibah dari Amerika untuk membangun kekuatan Falintil pada jaman-jaman perjuangan fisik? Berapa Perwira Falintil yang mendapatkan pendidikan Militer di Markas besar Penthagon Amerika Serikat pada jaman-jaman perjuangan fisik?”
Jika jawabannya; tidak ada, lalu bagaimana ceritanya, bagaimana logikanya, Falintil mengklaim “memenangkan pertempuran melawan ABRI” dan dan mencoba untuk membangun hegemoninya di negeri ini yang ujung-ujungnya menuntut harus diperlakukan secara istimewa oleh negara?”
Jadi harap dicamkan bahwa; Timor-Timur terlepas dari Indonesia, bukan karena Falintil memenangkan pertempuran di lapangan. Tapi karena rakyat Timor-Timur, secara mayoritas menolak untuk bergabung dengan Indonesia yang dinyatakan melalui referendum 30 Agustus 1999.
“Lalu faktor apa, atau sisi yang mana, yang menjadi faktor determinan, sehingga harus menempatkan Falintil pada posisi untuk mendapatkan keistimewaan dari negara?”
Selama 24 tahun bersembunyi di hutan-hutan, apakah tiap hari, Falintil selalu bertempur? Ataukah justeru lebih banyak lari dan bersembunyi, dan rakyat kecil selalu dijadikan “tameng dan tumbal” oleh Falintil untuk menyelamatkan diri. Ketika rakyat kecil yang ketahuan ABRI, melakukan tindakan “menyembunyikan Falintil” di rumah mereka untuk dikasih makan, diberi obat, dan setersunya, maka rakyat kecil itu akan ditangkap, diseret, dipukuli, ditendang, disiksa sampai dibunuh, dan ironisnya, pada saat itu, Falintil hanya bisa meningkuk di bawah kolong tempat tidur dengan wajah pucat pasi.
DARI TALICI MENJADI “COMANDO TALICI”
Sekedar contoh kecil. Di Atsabe, tepatnya di sebuah dusun bernama “TALICI” (Desa Laclo), dulu, sering sekawanan Falintil datang “ngumpet” di sana, berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, karena kelaparan dan jatuh sakit. Mereka datang untuk minta makan dan menjalani perawatan.
Ketika keberadaan mereka tercium aparat, pasukan Rajawali yang terkenal sangat buas seperti “Burung Rajawali” (alis BURUNG BUAS), akan datang ke Talici untuk menyiksa rakyat kecil yang telah nekat melakukan hal yang paling dibenci fihak ABRI.
Tuan rumah yang melakukan tindakan itu, diseret kesana kemari, dipukuli, ditendang, ditimpuk pakai popor senjata dan seterusnya, sampai babak belur dan dipertontonkan menjadi tontonan menarik banyak penduduk sekitarnya, termasuk mereka yang Pro Integrasi.
Pertanyaannya adalah; “Apakah di saat-saat rakyat kecil disiksa seperti itu oleh Pasukan BURUNG BUAS, Falintil akan muncul untuk membela rakyat kecil dengan melakukan perlawanan terhadap Pasukan BURUNG BUAS yang sedang beraksi?”
Sama sekali tidak. Boro-boro untuk membela. Mereka malah tampak pucat pasi, meringkuk, bersembunyi di bawah kolong tempat tidur engan tubuh menggigil ketakutan setengah mati. Sementara,di luar sana, bokapku, nyokapku dan adik-adikku, menjadi bulan-bulanan Pasukan BURUNG BUAS, sambil ditonton oleh mereka yang mengaku diri sebagai “Pejuang Integrasi”.
Yang akhirnya terjadi adalah, Falintil didirikan untuk menjadi "Tentara Pembebasan Rakyat", malah berubah status menjadi "Tentara Pembeban Rakyat". Hidup rakyat kecil dibebani oleh eksistensi Falintil. Dan ini fakta. Bukan opini.
Kejadian di Dusun Talici Desa Laclo, hanya sebagai contoh kecil dari ribuan kejadian yang serupa di tempat lain. Tragedi Talici itu terus berlangsung berulang-ulang, sampai-sampai pimpinan ABRI mengambil kebijakan (tindakan preventif), dengan menempatkan Pasukan dari Batalyon 515 Kodam V Brawijaya, dengan cara mendirikan pos mereka persis di samping rumah orang tuaku (uma tatiis see ba malu = talang rumah bertautan). Dengan demikian, ABRI bisa melakukan pengawasan 24 jam. Dan akhirnya, TALICI mengalami transformasi identitas, berubah nama menjadi COMANDO TALICI, karena banyaknya Pasukan ABRI yang datang ke tempat itu.
Lalu apakah setelah Timor-Timur terlepas dari Indonesia, rakyat kecil (keluargaku) yang menderita lahir bathin, hanya gara-gara menyembunyikan Falintil di masa-masa sulit, diperhatikan oleh negara?
Sama sekali tidak pernah. Boro-boro. Bokapku telah meninggal. Saya sendiri yang merupakan putera sulungnya, malah jadi “pengangguran tanpa subsidi”. Bahkan untuk makan saja, harus bon di warung. Rumah harus kontrak dengan “ngutang sana sini”. Sementara Falintil yang telah menjadikan keluargaku tameng untuk menyelamatkan diri, kini mendapatkan berbagai keistimewaan.
Di manakah keadilan itu? Kita semua sadar atau tidak, tapi “diskriminasi sosial” telah dan sedang berlangsung massif. Dan diskrimiansi sosial itu semakin massif, ketika “kaum oportunis” bermain bebas di dalamnya karena mereka berlindung di bawah ketiak “penguasa” tapi “bukan ketiak pemimpin”.
KEBENARAN TERTINGGI ADA PADA FAKTA (BUKAN ADA PADA OPINI)
Tulisan ini muncul, gara-gara proses pengurusan “legal standing”, untuk memakamkan Companheiro Helder Pires (Foho Rai Bot, salah satu Anggota RENETIL, di Taman Makam Pahlawan Metinaro, menemui jalan buntu, hanya gara-gara: “sistim yang terbangun”.
Hanya karena namanya belum tercatat di “Komisaun Omenajen”, Almarhum yang merupakan salah satu dari 29 orang peminta suaka di Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, pada 12 November 1994, dianggap tidak memenuhi “syarat administratif” untuk dimakamkan di Metinaro.
Apa susahnya mendaftarkan nama Almarhum di Komisaun Omenajen? Verifikasi data, paling butuh sekian menit saja. Kalau ada yang meragukan keterlibatan dan kontribusi nyata Almarhum dalam perjuangan kemerdekaan Timor Leste, silahkan saja melakukan “falsifikasi” (pembuktian terbalik).
Yang saya lihat, adalah tidak adanya “good will” (niat baik) dari orang-orang yang berada dalam sistim. Mereka bukan hanya terlalu “kaku”. Tapi sistim yang terbangun, telah merubah mereka menjadi “orang-orang feodal dan fascis”, hanya karena mereka merasa bahwa merekalah “causa prima” dari berdirinya negara ini. Dan itu mengakibatkan “sisi humanis” mereka hilang lenyap dimakan buaya Timor Leste.
Mereka mengaku berpegang pada aturan hukum. Dan itu memang baik. Tapi berpegang pada aturan dan norma hukum yang terbangun untuk melakukan "negasi" (menggugurkan fakta), itu adalah distorsi yang menimbulkan anomali.
Yang kemudian terjadi adalah; "Penguasa, tapi bukan pemimpin, bertindak dan atas nama negara, membangun sistim dan norma hukum yang memiliki dua sisi kontradiktif (dan sisi kontradiktif itu bersifat diskriminatif), yaitu sisi yang satu permeable untuk kepentingan Falintil, sementara sisi yang lain bersifat impemeable untuk mereka yang non Falintil.
Para filsuf bilang; “kebenaran tertinggi itu, ada pada fakta, bukan pada opini” (yang diredumsi dari sistim).
Almarhum Foho Rai Bot (yang merupakan Membro RENETIL Jurado), memiliki kontribusi nyata bagi perjuangan untuk mencapai (restaurasi) kemerdakaan bangsa ini. Dan ini bukan opini, tapi fakta.
(1). Fakta pertama: Almarhum merupakan Membro Jurado RENETIL (Uner Kalohan Jogjakarta).
(2). Fakta kedua: Almarhum terlibat secara pro aktif dalam perjuangan kemerdekaan Timor Leste, selama menjalani pendidikan di Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta Indonesia.
(3). Fakta ketiga: Almarhum termasuk salah satu dari 29 peminta suaka di keduataan Amerika pada November 1994, dan “domino effect” dari suaka inilah, yang kemudian memaksa Presiden ke 42 Amerika, Bill Jefferson Clinton, harus berbicara dengan Presiden Soeharto mengenai isu Timor Leste.
(4). Fakta keempat: Almarhum tetap pro aktif untuk memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste selama berada di diaspora (luar negeri).
Kebenaran tertinggi itu ada pada data dan fakta. Bukan pada opini yang ada di atas meja Komisaun Omenajen. Tapi kenapa data dan fakta di atas, harus dikalahkan oleh “opini” yang terbentuk, karena tulisan-tulsian bisu (sistim) yang tertera di atas kertas yang ada di meja “Komisaun Omenjen?”
Mulutmu adalah mulut sosialis.
Perutmu adalah perut kapitalis.
Watakmu adalah watak egois.
Hatimu adalah hati fascis.
Otakmu adalah otak feodalis.
Jiwamu adalah jiwa atheis.
Kaki tanganmu adalah kaki tangan anarkis.
Jika Anda dengar pernah cerita dongeng; bahwa ABRI dan Rezim Orde Baru angkat kaki dari Bumi Lorosae karena Falintil memenangkan pertempuran, itu adalah "opini". Bukan fakta. Fakta yang sebenarnya adalah; "ABRI dan Rezim Orde Baru harus angkat kaki dari Bumi Lorosae, karena kalah perang. Bukan karena kalah dalam pertempuran melawan Falintil. Kalah perang dan kalah tempur itu, beda kelas dan beda substansi.
Tidak ada cara lain untuk melawan “injustisia” yang sedang berlangsung di negeri ini, kecuali “revolusi”. Meskipun konsekuensinya adalah; sebagaimana kata para pemikir, bahwa: "sebuah revolusi berhasil atau gagal, orang-orang kecil selalu menjadi korban".
Berpegang pada ungkapan itulah Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi berkata; "Setiap revolusi selalu membutuhkan pengorbanan. Pertanyaannya adalah; "Siapakah yang mau menjadi korban berikutnya jika revolusi itu terjadi?"
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.