VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20160204

USKUP BELO - Catatan Terbuka: "Mgr. Belo adalah seorang pelintas batas"

"Mgr. Belo adalah seorang pelintas batas"

Oleh: JB Kleden

Dom Carlos Filipe Ximenes Belo
Premiu Nobel Paz 1996
DOM CARLOS FILIPE XIMENES BELO – “Uskup Belo”, kami menyapamu. “Amo Bispo” seluruh anak-anak Timor Lorosae mamanggilmu. Lama sekali sudah tak terdengar gaun suaramu. Ke belantara mana kau bersunyi?

Hari ini 3 pepruari 2016 dipenangalan romawi. Usiamu bertambah jadi 68. Orang bilang setiap pertambahan usia, pertanda Tuhan belum jera denganmu, Amo Bispo. Maka hari ini dari loromunu di ujung barat Timor Indonésia, kukirimkan surat terbuka ini untukmu.

Kita pernah duduk minum kopi bersama suatu hari di Istana Keuskupan di Lecidere usai misa pagi. Hari itu saya tak lupa karena saat itu Amo Bispo barusan usai menerima Nobel Perdamaian yang ditentang Indonesia. Salvador J. Ximenes Soares, Pemred Suara Timor Timur, sampai membawaku makan siang de lepas Pantai Motael, bukan karena tiras korannya bakal naik, tetapi karena ia tak habis berpikir, bagaimana saya bisa melakukan wawancara eksklusif dengan Uskup Belo.

Uskup Belo. Saya tahu kala itu tidak semua orang menaruh hormat terhadapmu, tetapi saya mengagumimu. Maka satu pertanyaan yang menurut saya menarik untuk ditulis sebagai kenangan kecil tempo dulu bersama Uskup Belo, adalah: Siapa sih Uskup Belo, sehingga mampu “memborong” perhatian pers dan diperhitungkan pemerintah serta politisi dalam setiap pengambilan kebijakan mengenai Tim-Tim kala itu?

Bagi pers jawaban yang mungkin, barangkali karena beliau seorang public figure dan news maker. Sementara bagi pemerintah dan politisi mungkin karena sang uskup sering membuat peryataan yang kontroversial mengenai Tim-Tim kala itu.

Saya pribadi agak sulit memberikan sebuah jawaban dalam sebuah rumus yang siap pakai. Tetapi jawaban yang paling mungkin karena Mgr. Belo adalah seorang pelintas batas. Atau barangkali bataslah yang melintasi Uskup Belo.

Dan pagi itu sang uskup melintasi batas itu. Ia yang dalam kesehariannya dilayani kopi, hari itu ia menuangkan kopi terbaik dari Same di lereng pegunungan Ramelau dan menyerahkan dengan tangannya sendiri kepadaku. “Ayo Pak Kleden, ini kopi terlezat di Tim-Tim”, katanya waktu itu. Di depannya aku tergugup.

Kembali ke Kantor Suara timor Timur-Timur, di Jl. Gov Alves Aldeia, saya menulis begini: Berhadapan dengan uskup Belo seperti kita berhadapan dengan seorang uskup, Amo Bispo, Sacerdos Magnus, tetapi juga bukan uskup: Seorang manusia biasa dengan segala humor dan kemarahan yang gampang meledak.

Saya pernah melihatnya termenung sendiri di Taman Maria di Lecidere dengan Rosario di tangan ketika senja benar-benar lenyap dan hari mulai malam. Saya juga pernah menyaksikan beliau marah dengan kegeraman yang meledak. Tetapi ia juga dapat melucu dengan jenaka. Dalam suatu makam malam bersama di kediamannya di Lecidere, Mgr. Belo berseloroh, “ kalau tinggal di Díli harus bisa minum Bir, asal tidak mabuk”, ujarnya seraya meminta Amandio, sopir pribadinya memberikan sekaleng tiger kepada saya.

Ia juga sering bertelanjang dada mandi dan bermain sampan de lepas pantai Lecidere. Geneologinya kukuh sebagai orang Tim-Tim. Setiap harinya ia berada di Lecidere, tetapi ia mengenal dengan baik seluruh wilayah Timor Oriental, dari lorosae hinga loromonu seintim ia mengenal daerah kanak-kanaknya, Wailacama. Sebagai seorang pemimpin dan gembala umat, Mgr. Belo tidak hanya menulis surat kegembalaan. Di sana sini ia juga membuat makalah, sambutan atau ceramah untuk berbagai kalangan yang menjangkau hampir semua aspek kehidupan, terutama keprihatinannya yang mendalam terhadap kaum muda, masalah HAM, keadilan, perdamaian dan demokratisasi.

Orang kagum pada luasnya cakupan perhatiannya, tetapi juga bias menganggapnya sebagai seorang “deletant” terus menerus. Lantas siapakah putra Wailacama yang lahir 3 pebruari 68 tahun lalu itu?

Satu hal jelas, beliau seorang uskup, Amo Bispo, Imam Agung, pemimpin dan gembala umat katolik Diosis Díli kala itu. Tetapi satu hal lain yang jelas juga: ia juga sering mengemukakan pendapat yang melampui Gereja Katolik dan tradisi garis-garis tradisi, bahkan sekat geografi meski ia memeliki option yang sangat besar terhadap putra-putri lorosae. Dan orang pun terkejut, atau marah, kala itu saat ia membela atau menyuarakan kepentingan umatnya, the silent mayority seperti ketika ia diberitakan mengirim permintaan referendum ke PBB, atau ketika ia disalah kutip der Spiegel.

Orang terkejut, marah, saya kira itu karena tak selamanya jelas Uskup Belo adalah seorang manusia par exelence. Ia bukan saja mengemukakan pikiran dan pandangannya dengan bagus dalam surat-surat gembala, tetapi ia juga selalu terpanggil untuk tampil denga wacana alternative yang merangsang perdebatan publik, terutama dalam soal politik mengenai nasib tanah kelahirannya, seraya meningkatkan kualitasnya, karena ia sadar ia bukan politikus kaliber. Sebagai Penerima Nobel Perdamaian, ia punya komitmen yang penuh resiko ke arah penegakan keadilan, perdamaian dan demokratisasi di Timor Lorosae.

Tetapi juga diakui atau tidak, menurut saya Mgr. Belo juga seorang pemimpin gerakan. Dalam artinya yang longgar, ia seorang politikus. Karena bagaimanapun juga Gereja Katolik sebagai sebuah lembaga dalam dunia, jelas mempunyai dampak terhadap masyarakat  dan politisi. Mengisolasikan iman katolik dari keterjalinannya dengan realitas masyarakat Tim-Tim kala itu, adalah menebas relevansi praktisnya bagi kehidupan dan masa depan umat lorosae. Karena itu ia bahkan tak segan-segan melakukan intervensi politik secara aktif kalau tema politiknya tidak politik murni lagi dan mengandung pertanyaan implisit: kemanusiaan mana yang mau dipilih.

Namun disisi lain ia juga menyadari sepenuhnya batas-batas yang tak boleh dilanggar antara Gereja katolik dan negara. Sebab mencampuradukan iman katolik menjadi keterlibatan politik praktis tertentu berarti melunturkan identitasnya. Karena itulah ia juga pandai mengayuh biduk diantara kompromi-kompromi. Mungkin karena itu pulalah pikiran-pikiran yang disampaikanya sering lebih mengarah kepada sebuah konsientisasi, penyadaran sosial menuju perombakan struktur untuk pembasmian alienasi sosial dan politik, seakan beliau tak sabar dengan penalaran yang rigorous seorang filsuf dan kehati-hatian yang nyelimet dari seorang ahli teologi.

Pelipatanya atau intrvensinya dalam pergerakan politik Timor-Leste itulah yang baragkali yang membuat dirinya dinilai secara salah kaprah. Seorang politisi Indonesia kala itu pernah menilai Mgr. Belo, sebagai “orang yang tak bisa di pegang” sebab dalam politik antara kenyataan dan persepsi hampir sama benarnya.

Mungkin ada benarnya. Tetapi bagi saya, Mgr. Belo tentu tidak bisa di pegang. Ia tidak bisa dimasukkan kedalam kandang kategorisasi. Uskup Belo adalah sosok yang melawan stereotip. Terlahir dan besar diwilayah jajahan, pernah mengalami nasib sebagai pengungsi, belajar di Eropa dengan segala alienasi kultural, Uskup Belo tahu benar apa yang disebut para ahli sosiologi sebagai “pedihnya stereotip”.

Kala itu membingungkan semua orang, karena ia anti deret. Ia adalah suatu proses dekonstruksi untuk masa depan Timor Lorosae yang tak habis-habisnya.  Dan ia mengemukakan semuanya itu dengan dengan konsisten tanpa kehabisan kekayaan yang menyenangkan atau menjengkelkan sebagai seorang anak manusia yang penuh dengan humor dan kemarahan.

Pada momen Uskup Belo adalah Uskup Belo, ia manusia merdeka. Pada saat seperti itu yang lain dihormati sebagai yang lain seperti ia menerima untuk minum kopi pagi bersamanya. Pada moment itu politik dibuatnya menjadi sesuatu yang tak kehilangan manusia. Dan kehidupan masyarakat Tim-Tim, dibuatnya tak kehilangan rohnya sebagai Bumi lorosae, The Land Of  Rising Sun. karena matahari adalah harapan.

Dalam masa itu, dari istana keuskupannya ia membangun Rai Timor dengan caranya menjadi Terra Esperança. Tanah pengharapan! Ia terus menumbuhkan pengharapan di bumi matahari terbit itu karena ia yakin tanpa pengharapan, hidup tak lagi punya arti dan lorosae tak lagi punya tanah. Mungkin karena itulah ia dianugerahi Nobel Perdamaian. Aku tak tahu. Yang pasti entah sedikit entah banyak, Uskup Belo telah turut menulis sejarah Timor-Timur kala itu, menjadi Timor-Leste hari ini.

PARABENS Amo Bispo Dom Carlos Filipe Ximenes Belo. One day long-long time ago kita pernah duduk minum kopi bersama usai misa di gereja di Istana Keuskupan Díli sambil memandang laut yang terhampar di depan kita. Masih segar dalam ingatanku, ketika itu aku masih setia melintasi jalan-jalan di kota Díli memburu berita, menulis warta. Terima kasih Rosa Garcia dos Santos, titip salam buat Amo Bispo jika berkomunikasi dengan beliau. Katakan salam hormat dari JB Kladen di sertai permohon doa, misa dan berkat.

JB Kleden
Mantan wartawan Suara Timor-Timur

Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.