“Siluman”
Perkosa Kebebasan Berekspresi
Oleh David Hugo
Pengecut. Kata
ini akan sangat pantas untuk disematkan kepada orang-orang yang berani mengonggong
bagai anjing di malam hari, dan bersembunyi bagai tikus di siang bolong. Ada
juga kata lain yang cocok untuk para penguna media social dengan nama samaran
atau identitas palsu. Sakit psikis, munafik, dan dapat memposisikan mereka
sebagai orang yang tidak bertanggunggjawab, lempar batu sembunyi tanggan. Mungkin
masih ada banyak predikat lain yang dapat diberikan kepada mereka.
Suatu ekspressi akan ketidaksenangan, ketidakpuasan
ketika melihat para penguna media social terutama Facebook di Timor Leste, yang
suka mengunakan identitas palsu untuk melontarkan, mengupload dan mengupdate
status berupa kritikan, tangapan dan pendapat yang tidak bermoral dan beretika.
Kadang-kadang hasil upload para siluman ini mengundang reaksi kurang senonoh
dari para pembaca. Bahkan kadang-kadang terungkap kata-kata fitnah, jorok,
hujatan tanpa mempedulikan status social orang yang mereka perbincangkan.
Orang-orang yang memiliki tipikal pengecut kerjanya hanya menyerang orang tanpa
argumentasi dan solusi tajam. Tindakan ini merupakan perilaku orang-orang yang
hanya mampu bersembunyi dalam lemari.
Harus diakui bahwa pengunaan identitas palsu atau nama
samaran meraja di Timor Leste pada masa perjuangan melawan penjajah Indonesia.
Pada masa itu baik gerilyawan maupun para klandestin atau kelompok jaringan
bawah tanah di Timor Leste mengunakan nama samaran hanya dengan satu alasan
agar tidak dikenal oleh tentara Indonesia yang saat itu berada di mana-mana.
Dengan adanya identitas palsu, dapat memperlancar penyampaian informasi dari
para gerilyawan kepada para klandestin dan rakyat ataupun sebaliknya. Selain
itu, dengan nama samaran ini, akan mempersulit TNI dan konco-konconya dalam melacak keberadaan para pejuang. Pada
masa perjuangan, identitas palsu kerapkali dipakai untuk mengelabui TNI dan
melacak serta memonitor kegiatan para target. Dengan satu alasan, agar
pendukung pemerintah Indonesia entah sipil maupun militer tidak mengetahui
rencana yang dikerjakan oleh para gerilyawan dan klandestin demi mencapai
kemerdekaan.
Pada masa perjuangan orang-orang dengan identitas palsu
dapat dihitung dengan jari, karena pada jaman itu, para penguna nama samaran
adalah orang-orang kepercayaan dari para gerilyawan dan kelompok klandestin.
Mereka mengembang tugas penting, tugas kenegaraan. Mereka dapat ditugaskan
sebagai pembawa informasi atau pun pencari berita dari orang-orang penting yang
ditargetkan. Mereka juga menjalankan tugas sebagai intelejen dalam berbagai
kubu maupun kelompok masyarakat.
Dalam buku “By Way of Deception” karya Victor
Ostrovsky, menjelaskan tentang pengunaan nama samaran oleh para intelejen dalam
dunia maya. Dalam buku tersebut menyatakan bahwa para intelejen mengunakan
identitas palsu dengan tujuan untuk memonitor tingkah laku orang-orang yang
menjadi target mereka. Selain itu untuk memonitor arus informasi dari dan ke
tokoh-tokoh yang dibidik itu. Misalnya
tokoh-tokoh politik. Tindakan ini merupakan suatu tugas Negara, demi menjaga
kerahasiaan dan keamanan serta estabilitas Negara. Para intelejen tidak akan
membuang waktu untuk menguntit orang-orang yang tidak berkepentingan, kecuali
orang-orang itu memiliki kedekatan dengan tokoh-tokoh yang menjadi target
mereka.
Hal yang sangat kebalikan terjadi, ketika Timor Leste
sudah mendapatkan kemerdekaan. Karena, pada saat semua orang di Timor Leste
sudah bebas dari tekanan otoriter pemerintahan orde baru Indonesia, justru
identitas palsu kini meraja lela di media social terutama facebook. Apakah
mereka takut kedoknya akan terbongkar? Ataukah akan mendapat intimidasi, jika
kritikan pedas mereka terbaca oleh orang yang mereka kritik? Jika demikian,
janganlah mengkritik atau menguplaod pendapat atau ide-ide yang tidak
bertanggunggjawab dan tidak beretika, tanpa argumentasi tajam. Dengan identitas
palsu, orang-orang ini bukannya akan membantu pihak yang dikritik ataupun
dihujat, melainkan akan menambah kemarahan orang, sehingga dapat memunculkan dendam
dan konflik. Bahkan kritikan, pendapat ataupun argumentasi para siluman sangat
positif dan bermanfaat bagi kehidupan bersosial, berbangsa dan bernegara, namun
ini hanya akan sia-sia, karena tidak memiliki pengaruh sama sekali. Karena
orang tidak akan memperhatikan ide, pendapat, kritikan atau pun hujatan dari
orang-orang yang mereka anggap sebagai pengecut.
Ada beberapa alasan, yang mungkin digunakan oleh para
penguna media social untuk memalsukan identitas mereka. Pertama, karena ingin
lebih leluasa memberikan komentar, kritikan, hujatan terhadap pihak-pihak tidak
disukai, sehingga pihak-pihak yang diserang tidak akan mengenal siapa penyerang
mereka. Secara etika, perbuatan ini sebenarnya tidak etis dan tidak
bertanggunggjawab. Kedua, nama asli tetap terjaga bila ada yang memaki atau
menghina. Jika memang para siluman ini tidak ingin dimaki atau dihina dan
diserang, maka janganlah mengkritik orang dengan kata-kata pedas, jorok, kotor,
fitnah, tanpa argumentasi kuat dan berikanlah solusinya. Ketiga, apalah penting
arti sebuah nama, yang penting komentar. Jika alasan ini yang dipilih oleh para
siluman ini, orang yang dikritik pun akan berbalik menyatakan apalah penting
sebuah kritikan dan hujatan yang tidak bermoral dan beretika dari seorang
pengecut. Kritikan itu akan bermanfaat, jika pihak yang dikritik mengenal
pengritiknya. Mungkin masih ada alasan lain dari para pengecut ini untuk
menyamarkan identitas mereka di facebook. Ada kalanya orang-orang yang bisa
dianggap “semi-paranoid” ini menyangka facebook adalah alat intelejen sehingga
menolak baik untuk mengunakan nama sebenarnya maupun mengisi data di facebook
selengkapnya, apalagi ditambah dengan foto diri. Mereka minta di-add, tetapi
tidak setara, karena yang di-request, tidak mengenal mereka. Sehingga orang
yang mengkonfirmasinya ternyata berteman dengan seorang hantu.
Dalam Konstitusi Republik Demokratik Timor Leste pasal 40
dan 41 menjamin setiap warga Negara untuk mengeluarkan pendapat dan mengunakan
mekanisme atau instrumen apa pun dalam menyampaikan pendapatnya termasuk
melalui media sosial. Kedua pasal tersebut juga menjamin agar public dapat
memperoleh informasi yang benar dan kredibel dari siapa pun. Munculnya kedua
pasal ini, bertolak belakang ba pembukaan konstitusi dan pasal satu yang
menyatakan Timor Leste menganut sistem demokrasi dengan memberikan kebebasan kepada setiap
orang, namun kebebasan yang bertanggunggjawab. Dengan adanya jaminan dari
konstitusi ini memberikan keleluasan yang lebih bahkan kebebasan sepenuhnya
kepada setiap orang untuk mengeluarkan pendapat entah itu opini, kritikan atau
pun pandangannya terhadap setiap kebijakan pemerintah atau pun terhadap
orang-orang berpengaruh di Negara ini.
Harus diakui bahwa dalam konstitusi RDTL, bahkan dalam
media social maupun hak-hak universal pun tidak melarang seseorang untuk
mengunakan nama samaran. Namun demikian, pengunaan identitas palsu ini haruslah
bertanggunggjawab. Jika identitas palsu ini digunakan sesuai dengan etika
terutama dalam memberikan komentar, kritikan atau pun pendapat, mungkin ini
tidak akan menjadi masalah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, jika
mengunakan nama samaran dalam media social, diantaranya bersikap baik dan
memiliki niat baik dalam memberikan komentar, kritikan atau pun pendapat dengan
berpegang teguh pada etika dan janganlah menghujat, menghina atau pun
mengunakan kata-kata kotor tanpa argumentasi yang kuat.
Kebebasan berekpresi merupakan hak fundamental yang
telah disahkan dalam hak universal. Dengan demikian setiap orang memiliki kebebasan
untuk mengeluarkan pendapat, ide maupun kritikan. Namun, kebebasan ini haruslah
kebebasan yang bertanggunggjawab.***
David Hugo
Jornalista RTTL,EP
HP: +67078173397
Email: dhugos01@yahoo.com.au
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.