Ade Rostina Sitompul lahir pada 12 Desember 1938 di perkebunan the Klapa Nuggal milik kakeknya yang terletak di Cibadak, Parungkuda, Sukabumi. Rostina adalah bungsu dari tiga bersaudara, anak dari psangan Kasianus Sitompul yang berasal dari suku Batak dan Maartje Takapente yang berasal dari suku Borgo, Menado. Karena tinggal berpindah-pindah mengikuti ayahnya ke Jakrta dan di beberapa perkebunan teh di Sukabumi, Rostina bersekolah di beberapa tempat, termasuk di Dai Suci yang sekarang namanya Perguruan Cikini, sekolah alternative yang didirikan oleh Ibu Bas Simorankir-Simandjuntak di Jl. Tangkuban Perahu, sekolah milik perkebunan, Taman Siswa, dan PSKD.
Kepeloporan Ade Rostina dalam aktivisme hak asasi manusia banyak dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya sejak kecil. Rostina menyaksikan, dan bahkan secara langsung dilibatkan, dalam aktivitas perjuangan kemerdekaan oleh ayahya. Ia mulai belajar ‘gerakan tutup mulut’ dengan merahasiakan tempat persembunyian yang dibangun ayahnya di rumah, dan dilibatkan sebagai kurir bagi para gerilyawan dengan membawa pesan di balik lipatan. Dari ayahnya juga Rostina belajar tentang kesetaraan dan keadilan sosial, melalui pergaulan degan kalangan kuli perkebunan. Dari kakeknya, Rostina belajar tentang nilai kemanusiaan, di mana musuh pun harus diperlakukan secara manusiawi. Kepekaan pada persoalan sosial semakin terasah ketika Rostina dan keluarga harus mengungsi ke perkampungan kuli perkebunan pada masa perang kemerdekaan. Ibu dari Rostina adalah sosok perempuan yang disipiln, tidak banyak bicara, dan tegar dalam mendampingi suaminya semasa perang dan ketika harus menjadi orang tua tunggal dalam usia yang relatif muda. Semua pengalaman itu mempengaruhi sikap Ade Rostina ketika ia memutuskan untuk terlibat dalam perjuangan penegakkan hak asasi manusia, termasuk untuk medukung gerakan pembebasan Timor Leste.
Ade Rostina menikan dengan Yohanes Suyanto pada 19 Juni 1959. Suyanto adalah seorang sarjana hokum yang kemudian menjadi staf penerangan Angkatan Laut. Dari perkawinan ini, ia dianugerahi dua putra dan tiga putri, yaitu Rocky Togus Sugih Wibowo, Lucky Lili Liana Tresnwati, Ezky Tri Rezeki Widianti, Vicky Aria Muda Wirawan, dan Meicky Shoreamanis.
Pada lima tahun pertama pernikahan mereka, Rostina mengikuti suaminya yang bertugas di Surabaya. Di sana Rostina mulai aktif terlibat dalam sejumlah organisasi. Rostina memilih aktif di Wanita Partindo dan menjadi salah satu ketua Gabungan Organisasi Wanita Surabaya (GOWS). Ia juga bekerja sebagai wartawan Harian Indonesia, sebuah Koran pro-Sukarno. Lewat berbagai kegiatannya itu, Rostina kenal dengan pimpinan-pimpinan Gerwani, seperti Sudjinah dan Sulami.
Peristiwa 1965 menjadi titik penting untuk komitmennya dalam gerakan perjuangan kemanusiaan. Abangnya yang adalah salah satu pimpinan Persatuan Wartawan Indoesia yang pro-Sukarno ditangkap dan ditahan selama Sembilan tahun. Sahabat-sahabatnya juga mengalami nasib serupa, termasuk Sudjiah dan Sulami. Menghadapi situasi ini, Rostina terdorong untuk menggalang bantuan berupa obat-obatan, mengirimkan makanan ke penjara, mengurus keluarga tahanan politi, dan denagn berbagai cara berupaya menyelamatkan orang-orang yang diburu. Aktivitas ini menyebabkan ia diinterogasi berulang kali oleh militer. Pada awalnya semua ini ia lakukan sendiri dengan dukungan suaminya. Ia kemudian membangun kerjasama dengan berbagai aktivis kemanusiaan lainnya, seperti Sr. Inez Pdt. Marantika dan Pdt. Eddy Raintung. Pada 1980, Rostina aktif terlibat dalam pendirian dan kerja Humaika, kelompok kerja untuk tahanan politik yang dibebaskan secara missal dari Pulau Buru dan Plantungan.
Kegiatan pelayanan penjara yang dilalukan Rostina semakin terorganisir setelah ia bergabung dengan Yayasan Hidup Baru (YHB) yang didirikan oleh Jopie Lasut dan Jap Thiam Hien. YHB pada awalnya berfokus pada tapol 1965 di penjara dan keluarga mereka. Kemudian kerja YHB meluas menjadi pelayanan tapol dari kasus-kasus lain, termasuk kasus Timor Lests (dulu Timor Timur). Pada 1989, Rostina dan Lasut membuat marah pemerintah Indonesia karena menginformasikan eksekusi empat narapidana politik Peristiwa 1965 ke komunitas international. Kampanye penghapusan hukuman mati bagi tapol menyebabkan Rostina dan Lasut menjadi sasaran pengawasan ketat dari pihak intelijen dan militer. Pada akhir 1990, Rostina meninggalkan YHB untuk memimpin Pelayan Lembaga Pemasyarakatan Persatuan Gereja Indonesia.
Ade Rostina, bersama Asmara Nababan dan sejumlah tokoh HAM dan keagamaan lainnya, membentuk Joint Committee for East Timorese yang bertujuan untuk merespon situasi darurat akibat Peristiwa Santa Cruz., 12 November 1991. Untuk pertama kalinya Rostina terlibat dalam investigasi pelanggaran HAM. Sejak itu ia secara intensif berkunjung ke Timor Leste. Keterlibatannya yang semakin mendalam dengan korban, khususnya korban perkosaan, dan pengamatannya pada sikap aparat Indonesia di sana membuat Rostina yakin untuk mendukung perjuangan keadilan di Timor Leste, sekalipun itu berarti kawasan tersebut harus terpisah dari Indoensia. Berkali-kali Rostina dikecam dan diancam karena pilihan sikapnya itu, namun ingatannya pada pengalaman masa revolusi kemerdekaan Indonesia semakin meneguhkan pilihannya. Kepeloporan ini mengantarnya menerima penghargaan Yap Thiam Hien pada 1995.
Bukan hanya Peristiwa 1965 dan Timor Leste yang menjadi perhatian tokoh perempuan dibidang kemanusiaan ini. Rostina aktif terlibat dalam advokasi dam kampanye penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM, baik itu yang terjadi di masa Orde Baru maupun sepanjang era reformasi. Ia juga ikut menggalang dukungan bagi korban bencana alam di beberapa daerah di Indonesia. Ia turut membidani sejumlah banyak organisasi HaM, antara lain ELSAM, Kontras, Imparsial, Pokastin, SHMI, dan Setara. Usia dan kesehatan tidak pernah menjadi penghalang baginya untuk aktif. Hal ini kerap membuat keluarga dan para sahabat khawatir. Namun bila diingatkan, ia selalu mnjawab, “Kalau saya istirahat, saya bias cepat meninggal.”
Jumat, 8 Juli 2011, 23.32 WIB, dikelilingi oleh keluarga, para sahabat dan mereka yang terinspirasi olehnya, Ade Rostina menghembus nafas terakhir setelah dua hari koma akibat pendarahan otak kanan. Hampir lima dekade sosok gigih ini tak henti bekerja untuk kemanusiaan. Dedikasi dan karyanya menyentuh hati banyak pihak, dari berbagai kalangan, lintas generasi dan lintas tapal negara.
Selamat jalan Ibu Ade. Percayalah bahwa kami akan melanjutkan benih cinta kemanusiaan yang Ibu telah semai dalam setiap tapak perjuangan yang Ibu lalui.
Jakarta, 9 Juli 2011
Mengenang Ibu Ade Rostina Sitompul
http://www.facebook.com/groups/181112525283678
http://www.facebook.com/profile.php?id=759554504
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.2257917165212.2134352.1166866025
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.