VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20101014

INTELEKTUAL DALAM PARTAI: ANTARA PERUBAHAN DAN STATUS QUO

Oleh )* Jose Maria Guterres

Tidak dapat disangkal bahwa banyak peristiwa penting di dunia terjadi karena peran kaum intelektual. Kaum intelektual telah banyak berkontribusi dalam menciptakan perubahan-perubahan signifikan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Munculnya kesadaran atau kebangkitan nasional dan lahirnya bangsa TL juga karena peran kaum intelektual. Timor-Leste merdeka pun karena sinergi antara masyarakat, kekuatan bersenjata dan intelektual. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa betapa dahsyat kekuatan intelektual dalam melakukan perubahan.

Gerakan kaum intelektual TL mulai nampak setelah terjadinya revolusi Bunga di Portugal pada tanggal 25 April 1974. revolusi tersebut dikomandoi oleh sejumlah tentara perwira menengah pimpinan Antonio Spinola yang berhasil menumbangkan pemerintahan diktator Salazar dan Marcelo Caitano. Pemerintahan baru bentukan Antonio Spinola segera saja memberikan kebebasan kepada bekas koloninya termasuk Timor sebagai salah satu propinsinya untuk menentukkan nasib sendiri. Euforia kebebasan yang baru saja dinikmati oleh masyarakat Portugal dan bekas koloni-koloni ini segera dimamfaatkan oleh sejumlah mahasiswa Timorense yang belajar di Portugal saat itu untuk kembali ke Timor dengan tujuan untuk mempersiapkan diri. Sejumlah mahasiswa yang menonjol pada saat itu antara lain: Sahe, Abilio Araujo, Carvarino, Solan, Chai, Cesar Maulaka, Manuel Cruz dan lain-lain. Ditambah lagi dengan beberapa mahasiswa dan intelektual muda yang menetap di Timor yaitu: Fransisco Xavier do Amaral, Nicolau Lobato, Jose Ramos Horta, Mari Alkateri, Mauhunu, Abel Larisina, Filomeno Paixao dan lain-lain. Berawal dari sepak terjang para intelektual inilah yang nantinya menjadi pionir partai FRETELIN (sebelumnya ASDT) dan berhasil mempengaruhi dan mendapat simpati mayoritas rakyat Maubere untuk memproklamirkan Timor sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat yang diberi nama Repebulica Democratica Timor-Leste (RDTL) secara unilateral pada tanggal 28 November 1975. Meskipun sebagian besar intelektual muda itu bernaung dibawah partai Fretelin untuk memperjuangkan cita-cita luhur rakyat Maubere yang paling mulia yaitu “mate ka moris, ukun rasik-an”. Namun demikian, masih ada sejumlah intelektual yang memilih jalan berbeda dengan membentuk partai lain, dengan prinsip dan idiologi yang berbeda pula. Nama-nama seperti: Mario Carrascalao, Joao Carrascalao, Fransisco Lopes Da Cruz (partai UDT) ingin federasi dengan Portugal, sementara Jose Osorio Soares, Guelerme Gonsalves, Arnaldo dos Reis de Araujo (APODETI) ingin bergabung dengan Republik Indonesia (RI). Meskipun demikian, mereka semua telah menhiasi dan berkontribusi dalam sejarah perpolitikan TL semenjak 1974 sampai sekarang.

Merujuk kembali pada kaum intelektual yang ada di Fretelin, penulis mencoba membagi dalam beberapa fase. Pertama, dari tahun 1975-1977, sosok Xavier do Amaral begitu menonjol dalam proses pergerakan. Setelah era Xavier, tahun 1977-1979, Figur Nicolau Lobato yang lebih dominan. Setelah kematian Nicolau, di tahun yang sama (1979), “base de apoio hancur lebur karena operasi represif besar-besaran yang dilakukan oleh TNI terhadap Falintil dan masyarakat sehingga menyebabkan mayoritas masyarakat turun gunung dan menyerahkan diri. Pada saat yang sama kita kehilangan sejumlah putra terbaik, diantaranya adalah beberapa anggota comite central Fretelin yang sebagian kehilangan nyawa dan sisanya menyerahkan diri. Tahun1979-1980 adalah masa transisi dimana terjadi kevakuman kepemimpinan. Dari periode inilah sosok Xanana mulai muncul untuk mengorganisir kembali proses perjuangan. Mulai dari 1981-1999 adalah periode keemasan Xanana sebagai Fidel Castro-nya povu Maubere. Pada fase ini Xanana mulai melakukan adaptasi serta perubahan-perubahan berarti dalam tubuh Fretelin. Perubahan nama dan idiologi dari partido Marxista-Leninista FRETELIN (PMLF) menjadi Conselho Resistencia Revolucionario Nasional (CRRN), lalu dari CRRN menjadi CNRM (Conselho Nasional da Resistencia Maubere) kemudian dari CNRM menjadi CNRT serta pemisahan FALINTIL dari FRETELIN adalah buah dari hasil jerih payah pemikiran Kayrala Xanana Gusmao. Walaupun dalam perjalanannya Xanana mendapat inspirasi dan masukan dari berbagai pihak termasuk hirarki gereja Katolik dalam hal ini almarhum Bispo Dom Martinho, Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, Carrascalao bersaudara, para senior dan junior Xanana (Mauhunu, Mauhudo dan lain-lain).

Ada dua jenis intelektual yaitu satu intelektual idealis dan kedua intelektual pragmatis. Pertama, intelektual idealis adalah sosok intelektual yang selalu menomorsatukan spirit kepakaran (expertise) intelektual. Expertise ini mesti memenuhi nilai-nilai otoritas, otonomi, otentisitas dan integritas. Sosok intelektual ini tidak tergoda dengan kekuasaan apalagi masuk dalam ranah kekuasaan. Tipe intelektual idealis biasanya dijumpai di lembaga akademis. Karena kampus menjadi satu-satunya lembaga yang dianggap memiliki kredibilitas intelektual. Hal ini terjadi sebab setiap produk penelitian yang diolah dan dikeluarkan dari perguruan tinggi dapat menelurkan ide dan gagasan baru yang orisinil. Dari produk penelitian ini akan dijadikan rekomendasi bagi pemerintah yang selanjutnya diproses menjadi suatu kebijakan yang berkualitas serta membawa mamfaat bagi masyarakat. Sok Hok Hie adalah salah seorang intelektual idealis dan non partisan Indonesia yang pernah ada pada zamannya. Sosok Gie merupakan sebuah fenomena yang kerap menjadi batu sandungan bagi eksisnya sebuah kekuasaan. Dimulai dari demonstrasi anti pemerintahan rezim Orde Lama yang dinilai korup oleh Gie, hingga sentilan dan kritikan yang pedas terhadap rezim Orde Baru pun tidak luput dari aksi Gie yang begitu merajai pada zamannya. Dia (Gie) adalah sosok intelektual “idealis” yang menyerukan kepada generasinya untuk berkata “tidak” terhadap kondisi yang inconsistent terhadap cita-cita revolusi ’45. menggelorakan api perjuangan membela kaum proletar yang tersisih secara ekonomi dan politik. Manusia baru adalah generasi yang berani mengatakan “tidak”, generasi yang sangat bangga dan sadar akan “sense of mission dan sense of commitment.” (artikel; Manusia Baru, Agustus1969).

Kedua, intelektual pragmatis. Intelektual pragmatis adalah tipe intelektual yang mengadaikan intelektual demi kekuasaan. Godaan kekuasaan sulit dihindari untuk bisa tetap berdiri di ranah netral. Karakter intelektualnya sudah tercerabut dari akarnya sebagai makhluk yang “tercerahkan dan mencerahkan.” Para intelektual ini sibuk mencari jabatan, mengurus proyek dan berebut untuk berdiri di lapisan terdepan kekuasaan. Nilai-nilai idealistik ditanggalkan sementara sikap pragmatis ditampilkan berbarengan dengan watak arogansi pemegang otoritas tunggal intelektual. Pengabdian terhadap penguasa jadi tindakan pragmatis atas nama status sosial dan material.

Trend masuknya intelektual dalam lingkarang kekuasaan dimulai sejak pembentukan pemerintahan konstitusional pertama yang dimotori oleh perdana mentri DR Mari Alkateri pada tahun 2002 . Gejala ini ditandai dengan banyaknya aktivis dan intelektual yang berbondong-bondong masuk dalam gerbong kekuasaan, baik melalui jalur politik formal semacam partai politik maupun non formal. Kecenderungan ini meningkat semenjak Xanana Gusmao memimpin pemerintahan koalisi (AMP).

Penulis mencoba membedah dan menganalisis kinerja beberapa pembantu perdana mentri selama kurang lebih tiga setengah tahun berkarya dibawah payung AMP. Pertama, DR Joao Cancio Freitas. Beliau adalah salah satu intelektual muda yang selain memiliki pengalaman kerja mengunung selama menjadi pegawai negeri (PNS) di zaman Indonesia (baca sebelum merdeka), DR Joao juga memperoleh gelar master degree (S2) serta gelar doctorate atau PhD di luar negeri. Jadi, sebenarnya kadar intelektulitas DR Joao Cancio sebagai insan akademis tidak dapat di ragukan lagi. Lalu, apa kontribusi mentri pendidikan ini terhadap kementriannya? Salah satu contoh sederhana yang selama ini publik ikuti dan amati via media cetak dan elektronik adalah jeritan para guru se-seantro TL atas minimnya infrastruktur dasar yang mereka hadapi seperti meja, kursi, papan tulis, marker dan lain-lain. Ditambah lagi dengan rusaknya gedung-gedung-sekolah; mulai dari atap, dinding sampai lantai. Di sejumlah sekolah saat hujan, siswa harus berguyurang air hujan sambil menjalani proses belajar mengajar. Seharusnya masalah infrastruktur dasar seperti ini sudah sepantasnya ditangani dan diselesaikan dari awal tahun partama atau kedua pemerintahan AMP. Bagaimana mungkin kita bermimpi mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara melalui dunia pendidikan sementara hal-hal kecil tidak mendapat perhatian yang serius. Kejadian paling ironis adalah ketika seluruh Civitas Akademika UNTL melakukan demonstrasi besar-besaran selama beberapa hari menentang mentri pendidikan sambil menanduk peti mayatnya gara-gara masalah statuto baru UNTL. Aneh bin ajaib !!! seolah-olah DR Joao Cancio telah berada dialam baka. Dalam kasus ini, penulis tidak menyalahkan PM Xanana. Penulis yakin dan percaya bahwa Xanana selaku pimpinan pemerintahan telah memberikan amanat yang jelas dan tegas kepada para pembantunya dengan prinsip: ”selama anda merasa dan percaya bahwa yang anda lakukan itu baik dan bermamfaat bagi masyarakat, saya (Xanana) berada dibelakang anda”. Kalau boleh meminjam kalimat PM Xanana “ministru Joao Cancio ne kuando koalia, nia ain iha liu kalohan leten, nunka kona rai”.

Kedua, kementrian Infrastruktur yang dipimpin oleh Ir. Pedro Lay, selama ini belum menunjukkan hasil yang signifikan, padahal pemerintahan AMP akan berakhir sebentar lagi . Contoh sederhana adalah rusak dan buruknya kualitas jalan raya yang ada di kota Dili. Semestinya semua infrastruktur yang paling mendasar ini dijadikan skala prioritas dan mendesak. Mengingat bahwa kota Dili merefleksikan “jantung ibu kota Negara.” Kita merasa sedih bahkan malu terhadap ibu pertiwi dan diri sendiri. Di kala guyuran hujan dalam beberapa jam saja bisa mengakibatkan tampan ibu kota Dili lenyap ditelan bumi. Pedro Lay telah menunjukkan ketidakmampuannya dalam memimpin kementrian Infrastruktur. Hal ini diperkuat oleh pernyataan wakil mentri Ministerio Infrastruktura (MI), Jose Carrascalao dimedia bahwa” tidak ada garis koordinasi yang baik antara mentri, wakil mentri dan sekretaris Negara pekerjaan umum (PU). Jose Carrascalao menambahkan, dalam banyak kesempatan dia telah hatun despaixu untuk kemudian ditindak lanjuti namun selalu di-pending dan di-tunda oleh ministru Pedro Lay dan Sekretario Estado Domingos Cairo, STL, Jumat (8/10/2010). Ministru Pedro adalah seorang teknisi yang berkompeten namun dalam hal pengambilan keputusan adalah kelemahannya yang paling besar.

Ketiga, DR Deonisio Babo, adalah salah satu intelektual muda sekaligus sebagai Sekjen partai CNRT. Tokoh muda ini lebih dikenal publik karena sering tampil sebagai pembicara di TV dan kadang kala sebagai host atau pemandu acara di TVTL. Akan tetapi dalam perjalanannya sebagai Sekretaris Jenderal partai terbesar kedua setelah Fretelin ini diragukan kemampuannya. Karena menurut pengamatan publik, tokoh paruh baya ini belum menunjukkan performance yang memuaskan. Sosok Xanana sebagai presiden partai masih sangat menonjol karena mesin partai tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kader dan fungsionaris partai semestinya lebih inovatif dan kreatif. CNRT bisa mencontohi Fretelin dalam beberapa hal misalnya, partai Fretelin sering mengadakan leadership training bagi para kadernya dari seluruh pelosok tanah air. Setelah para kader partai dibekali dengan pengetahuan yang cukup, maka program, visi dan misi partai akan lebih mudah diserap oleh masyarakat grass roots melalui kader-kader potensial yang telah dipersiapkan. Karena minimnya kreatifitas dalam berpikir dan bertindak, di jajaran pimpinan CNRT, maka para pengurus partai di daerah-daerah mulai meragukan masa depan partai dengan asumsi; “andaikata tidak ada Xanana, mereka (povu iha base) tidak dapat membayangkan CNRT mau dibawa kemana”? Se katuas Xanana laiha, CNRT oin sa los? CNRT bele hamrik metin ka lae?

Meminjam istilah salah seorang dosen waktu penulis masih duduk dibangku kuliah; “if you have no leadership and no courage to take a risk or a decision, don’t ever try to be a leader”. Intelektual yang terjung dalam ranah politik, memiliki determinasi dan berani mengambil keputusan demi sebuah perubahan adalah intelektual yang membumi. Ciri utama seorang intelektual membumi adalah gerak yang dinamis, visioner dan yang lebih penting selalu berusaha mewujudkan mimpinya dalam tindakan yang nyata. Cendikiawan yang tidak memiliki semangat intelektual membumi dianjurkan jangan memilih menjadi politikus atau birokrat karena scholar ini lebih suka mengintip serta sambil menunggu kesempatan untuk meraih sesuatu demi kepentingan pribadi tanpa pengorbanan sepeser pun, sementara comrade lain melakukan pengorbanan yang luar biasa. Jadilah akademisi, praktisi dan teknisi yang baik karena itulah kavling anda!!!

)* Penulis Alumni Universitas Katolik Atmajaya Jakarta
Eskluzivu ba Forum Haksesuk

Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.