Oleh João Noronha
Pertama-tama, saya sangat mengharagai artikel ini (Pilihan “Lingua Portugues” Sebagai Bahasa Resmi: Mencari Kambing-Hitam Keruntuhan Pendidikan di Timor Leste?) yang sangat komprehensif ulasannya dan sangat akademis. Kurang lebih ada beberapa point yang saya sependapat. Namun ada juga sejumlah pemikiran tertentu dari saya, sebagai berikut:
Penentuan dan pemakaian bahasa apa saja yang menjadi bahasa pengantar di dunia pendidikan itu sebenarnya tidaklah bermasalah, asalkan proses pembelajaran itu dapat berjalan dengan baik, bahwa yang terutama adanya komunikasi dan interaksi antara pengajar dan siswa berlangsung secara efektif, guna dapat mengtransfer pengetahuan dari pihak guru kepada siswanya secara baik pula. Inilah yang sebenarnya merupakan pokok dari suatu proses pembelajaran.
Selanjutnya, saya pikir sejauh ini memang belum ada penelitian ilimiah yang khusus mengkaji kedua persoalan berikut: (1) Pendidikan di Timor-Leste mengalami kemerosotan, karena dipilihnya dan dipergunakannya bahasa Portugis sebagai bahasa resmi dan pengantar resmi dalam proses belajar-mengajar di Timor-Leste; dan, (2) Dengan menggunakannya bahasa Tetun, maka sistem pendidikan di Timor-Leste akan mengalami nasib yang sama dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia.
Kembali kepada ulasan yang disampaikan secara komprehensif, dapat disimpulkan bahwa, yang menjadi kendala dalam pendidikan suatu bangsa itu sebenarnya bukan saja karena faktor bahasa. Ternyata ada faktor kultur negatif lainnnya yang ikut berkontribusi dalam kemerosotan suatu sistem pendidikan. Seandainya demikian adanya, maka mengapa mesti ada kecenderungan mengutamakan suatu bahasa tertentu untuk dijadikan perantara dalam dunia pendidikan?
Dalam membandingkan sistem pendidikan di beberapa negara justru terkesan bahwa, keberhasilan sistem pendidikan di suatu negara itu karena dijalankan sesuai dengan realita negara itu. Maka kalau Timor-Leste dipaksakan untuk menjadi sama seperti Brasil, Portugal, Indonesia, dan Australia, dll., pasti akan selalu pula ada kendalanya. Jika ada faktor lain sebagai penyebab kemerosotan suatu sistem pendidikan, maka menjadi pertanyaan pula bahwa apakah kemerosotan sistem pendidikan di Indonesia semata-mata karena tidak menggunakannya bahasa Belanda?
Tetapi, khusus untuk Timor-Leste, harus diakui pula bahwa terjadi banyak persoalan kebahasaan, dan ini wajar karena terlahirnya Timor-Leste sebagai suatu negara yang berbahasa banyak (“multillingualism”). Sekali lagi persoalan bahasa hanyalah salah satu faktor. Namun, salah satu contoh persoalan nyata dalam dunia pendidikan di Timor-Leste saat ini adalah kurangnya pemberian perhatian bagi pengajaran penulisan ‘essay’ yang baik bagi para siswa semenjak mereka memulai pendidikan di tingkat lanjutan. Kekurangan/kelemahan inilah yang terus diwariskan sampai ke tingkat perguruan tinggi. Sehingga, jangankan mereka harus memulai penyusunan suatu skripsi dengan baik, sedangkan untuk menulis suatu ringkasan yang baik dan benar pun kadang sudah tidak gampang bagi mereka. Karena mereka pada dasarnya memang tidak tahu atau barangkali bahkan tidak pernah diajarkan. Yang menjadi persoalan serius ialah bahwa, apa yang menjadi penyebab kesemuannya ini, dan lalu bagaimana membetulkannya?
Terakhir, jika bahasa Portugis bukan sumber penyebab kemerosotan, dan bahasa Indonesia bukan pula jawabannya, kalau begitu patutkah kita secara terus-menerus mengembangkang Tetun dan itulah yang kemudian menjadi solusinya? Ataukah kita diam dan kehilangan arah?***
Pertama-tama, saya sangat mengharagai artikel ini (Pilihan “Lingua Portugues” Sebagai Bahasa Resmi: Mencari Kambing-Hitam Keruntuhan Pendidikan di Timor Leste?) yang sangat komprehensif ulasannya dan sangat akademis. Kurang lebih ada beberapa point yang saya sependapat. Namun ada juga sejumlah pemikiran tertentu dari saya, sebagai berikut:
Penentuan dan pemakaian bahasa apa saja yang menjadi bahasa pengantar di dunia pendidikan itu sebenarnya tidaklah bermasalah, asalkan proses pembelajaran itu dapat berjalan dengan baik, bahwa yang terutama adanya komunikasi dan interaksi antara pengajar dan siswa berlangsung secara efektif, guna dapat mengtransfer pengetahuan dari pihak guru kepada siswanya secara baik pula. Inilah yang sebenarnya merupakan pokok dari suatu proses pembelajaran.
Selanjutnya, saya pikir sejauh ini memang belum ada penelitian ilimiah yang khusus mengkaji kedua persoalan berikut: (1) Pendidikan di Timor-Leste mengalami kemerosotan, karena dipilihnya dan dipergunakannya bahasa Portugis sebagai bahasa resmi dan pengantar resmi dalam proses belajar-mengajar di Timor-Leste; dan, (2) Dengan menggunakannya bahasa Tetun, maka sistem pendidikan di Timor-Leste akan mengalami nasib yang sama dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia.
Kembali kepada ulasan yang disampaikan secara komprehensif, dapat disimpulkan bahwa, yang menjadi kendala dalam pendidikan suatu bangsa itu sebenarnya bukan saja karena faktor bahasa. Ternyata ada faktor kultur negatif lainnnya yang ikut berkontribusi dalam kemerosotan suatu sistem pendidikan. Seandainya demikian adanya, maka mengapa mesti ada kecenderungan mengutamakan suatu bahasa tertentu untuk dijadikan perantara dalam dunia pendidikan?
Dalam membandingkan sistem pendidikan di beberapa negara justru terkesan bahwa, keberhasilan sistem pendidikan di suatu negara itu karena dijalankan sesuai dengan realita negara itu. Maka kalau Timor-Leste dipaksakan untuk menjadi sama seperti Brasil, Portugal, Indonesia, dan Australia, dll., pasti akan selalu pula ada kendalanya. Jika ada faktor lain sebagai penyebab kemerosotan suatu sistem pendidikan, maka menjadi pertanyaan pula bahwa apakah kemerosotan sistem pendidikan di Indonesia semata-mata karena tidak menggunakannya bahasa Belanda?
Tetapi, khusus untuk Timor-Leste, harus diakui pula bahwa terjadi banyak persoalan kebahasaan, dan ini wajar karena terlahirnya Timor-Leste sebagai suatu negara yang berbahasa banyak (“multillingualism”). Sekali lagi persoalan bahasa hanyalah salah satu faktor. Namun, salah satu contoh persoalan nyata dalam dunia pendidikan di Timor-Leste saat ini adalah kurangnya pemberian perhatian bagi pengajaran penulisan ‘essay’ yang baik bagi para siswa semenjak mereka memulai pendidikan di tingkat lanjutan. Kekurangan/kelemahan inilah yang terus diwariskan sampai ke tingkat perguruan tinggi. Sehingga, jangankan mereka harus memulai penyusunan suatu skripsi dengan baik, sedangkan untuk menulis suatu ringkasan yang baik dan benar pun kadang sudah tidak gampang bagi mereka. Karena mereka pada dasarnya memang tidak tahu atau barangkali bahkan tidak pernah diajarkan. Yang menjadi persoalan serius ialah bahwa, apa yang menjadi penyebab kesemuannya ini, dan lalu bagaimana membetulkannya?
Terakhir, jika bahasa Portugis bukan sumber penyebab kemerosotan, dan bahasa Indonesia bukan pula jawabannya, kalau begitu patutkah kita secara terus-menerus mengembangkang Tetun dan itulah yang kemudian menjadi solusinya? Ataukah kita diam dan kehilangan arah?***
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.