Analisis Nurhuda da Costa Gomes di sebuah koran tentang dilemma penggunaan bahasa Portugis bagi masa depan generasi muda Timor Leste memang menarik. Meski bahasa Indonesia yang dipakainya masih kacau (cara menulis kata kerja dan kata benda yang tidak tepat), Koordenador Peskiza no Dezenvolvimento di “Klibur Instituisaun Ensino Superior Timor Leste” (KIESTL) itu pada gilirannya hanya ingin membangun ide bahwa penggunaan bahasa Melayu lebih masuk akal dan pragmatis dibandingkan dengan bahasa Portugis.
Namunn yang lebih sedih ialah bahwa Nurhuda menunjukkan sebuah gejala yang “haram” dalam dunia pendidikan, ialah, berpikir pessimis dalam konteks scientific ethos. Seorang pendidik tidak seharusnya melihat tantangan bahasa Portugues sebagai hambatan (bahkan kunci kehancuran pendidikan), melainkan ujian yang harus dimenangkan. Dalam filsafat, model berpikir Nurhuda dinamakan “psychological fallibilism”: satu kesulitan saja telah membuat kita berpikir tentang kesalahan/ kehancuran total. Tetapi Nurhuda bukan yang pertama. Sebelum dia, sudah muncul banyak orang (termasuk dari kalangan para pastor/ suster). Dan sesudah Nurhuda masih akan ada orang yang berpikir dengan nada sumbang!
Artikel ini ingin menunjukkan bahwa bahasa sebagai “alat komunikasi sehari-hari” (entah formal maupun informal) harus dibedakan dari bahasa sebagai “scientific ethos” (tata cara keilmuan). Seseorang yang bisa berbahasa Inggris tidak dengan sendirinya pandai menulis atau menjadi seorang jenius di seluruh dunia. Demikian pula seorang yang fasih berbahasa Portugues tidak selamanya menjadikan negaranya tertinggal. Tidak juga benar jika seseorang lancar berbahasa Indonesia lalu akan pergi ke bulan dengan jalan kaki saja. Misalnya, Prof. Dr. Ir. B.J. Habibie pernah berkata bahwa dirinya merasa lebih lancar bekerja secara ilmiah dan berpikir serta berbicara di tingkat tinggi dalam bahasa Inggris dan Jerman daripada bahasa Indonesia. Dengan kata lain, berbicara secara fasih sebuah bahasa tidak pernah menjadi jaminan dan ukuran bahwa orang tersebut lancar bekerja secara ilmiah dalam bahasa tersebut.
Dalam kerangka sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge), sesungguhnya Nurhuda telah mencampur-adukkan “objektivitas keilmuan” dengan “prasangka sosial” (budaya). Dengan demikian, pengetahuan kita tentang interaksi dalam sebuah masyarakat terkena bias. Menurut saya, bias yang dilakukan oleh Nurhuda karena ia lebih cenderung melakukan orasi politik dan terlalu lemah untuk berpikir secara konseptual bagi seorang peneliti yang profesional.
Posisi saya ialah – dalam sebuah scientific ethos pemilihan bahasa tidak pernah bisa dibatasi. Semakin kita berbicara lebih dari satu bahasa modern, semakin kita mengembangkan kecerdasan dan kepintaran. Memang, satu bahasa resmi akan sangat menentukan sebagai titik tolak. Dan bahasa Portugues, suka atau tidak suka, telah menjadi patokan nasional. Tetapi tidaklah fair jika kemerosotan pendidikan di Timor Leste ditimpakan kepada bahasa resmi itu sebagai kambing hitamnya (bode do expiatorio)!
Bahasa Melayu: Ironi Sebuah Sistem
Kalau kita melihat dunia pendidikan di Indonesia, kita akan menemukan sebuah fenomena baru yaitu promosi besar-besaran sekitar “Sekolah Internasional”. Setiap tahun ajaran baru, media massa di Indonesia selalu memasang iklan bagi dibukanya sekolah plus dengan taraf dan tarif internasional. Yang dimaksud dengan “plus” ialah bahwa sekolah tidak hanya memakai bahasa Indonesia sebagai pengantar, melainkan juga bahasa asing lainnya. Khususnya bahasa Inggris atau Jepang dan Mandarin. Bahkan anak-anak dari keluarga gedongan cenderung memilih sekolah di Australia, Eropa atau USA. Mengapa terjadi exodus kepercayaan demikian terhadap system pendidikan di Indonesia? Jawabannya sederhana saja: semakin hari pendidikan di Indonesia bukannya tambah maju melainkan mundur. Dengan kata lain, mengagungkan bahasa Indonesia dan system pendidikannya sebagai kiblat bagi Timor Leste adalah analisis yang gegabah. Bayangkan: orang Indonesia sendiri sudah tidak percaya pada bahasa dan system pendidikannya, kok, Timor Leste – seperti dibayangkan Nurhuda – malah mendewakannya. Lucu khan!?
Sesungguhnya, ketika Presiden Soekarno menegaskan arti Sumpah Pemuda seputar “Satu Bahasa” – Bahasa Indonesia, Prof. Dr. Sutan Takdir Alisjahbana sudah mengeluh dan pesimis. Baginya, mengabaikan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi di Indonesia adalah pilihan keliru. Prof. STA sudah meramalkan bahwa pendidikan di Indonesia bakal merosot jika tidak memilih bahasa Belanda atau bahasa Eropa sebagai ukurannya. Sesudah 65 merdeka, harus diakui bahwa Indonesia sudah menuju tangga nada paling rendah dalam politik system pendidikannya. Ketika menjadi aktivis di FKMPPB (Forum Komunikasi Mahasiswa Putra-Putri Baucau), kami mengundang Romo Mangunwijaya untuk datang di Baucau (1998) dan ia berkata kepada kaum muda bahwa “Timor Timur jangan mengikuti model pendidikan di Indonesia, karena sudah merosot di tangan Orde Baru”. Lagi-lagi, kebanyakan pemikir raksasa tentang pendidikan di Indonesia meragukan system pendidikan di Indonesia yang cenderung memasung scientific ethos.
Di Malaysia, memang pilihan dasar ialah menggunakan bahasa Melayu. Tetapi dengan sebuah percampuran apik dengan bahasa Inggris, Malaysia membangun sebuah system komunikasi dan scientific ethos yang khas. Filipina adalah contoh dari gambungan antara Tagalog, Inggris dan Spanyol. India menggunakan bahasa Inggris dan Hindi.
Hanya Jepang, Korea dan China yang memakai bahasa dan hurufnya sendiri dalam membangun system pendidikannya. Di mana kunci kesuksesan pendidikan dengan pola pilihan bahasa khas?
Bahasa: Fondasi Filsafat Pendidikan
Jawabannya: pilihan penggunaan bahasa (Jepang atau China) tidak datang dari alasan “suka tidak suka”, melainkan pada perumusan filsafat bahasa itu sendiri sebagai “insight” ilmu-pengetahuan. Kecenderungan analisis Nurhuda ialah bahwa ia melihat pilihan bahasa Portugis sebagai pilihan yang tidak menyenangkan. Dia lebih suka memakai bahasa Indonesia/ Melayu. Karena rasa suka pada bahasa Melayu maka dia mengira bahwa akademisi yang berkarya dalam bahasa Indonesia jauh lebih pintar daripada dalam bahasa Portugis. Dia memakai perbandingan dengan negara-negara di Afrika sebagai ukuran kesahihan (validity claim) dalam analisisnya. Padahal, Brazil misalnya, jauh lebih maju dibandingkan dengan Indonesia atau Malaysia. Dan mereka menggunakan bahasa Portugis, bukan Melayu. Nurhuda memilih negara pembanding dari Afrika untuk memuaskan rasa ketidaksukaan pada bahasa Portugis. Mengapa Nurhuda tidak memakai pembanding Jepang/ China/ Korea yang menggunakan bahasanya sendiri dibandingkan dengan Indonesia/ Malaysia yang memakai bahasanya sendiri? Sangat sederhana, karena, kemajuan Jepang dan China dan Korea berbanding terbalik dengan kemunduran Indonesia atau Malaysia. Dan itu tidak ditentukan oleh pilihan bahasa dalam system pendidikan, melainkan filsafat bahasanya. Bahasa Jepang dan China memiliki landasan filsafat bahasa (philosophy of language), sedangkan bahasa Melayu lebih pada “pragmatic of reason”.
Jika kita membaca filosof bahasa seperti Ludwig Wittgenstein, Martin Heidegger, Hans Georg Gadamer, Karl Otto Apel, Umbero Eco, maka tesis dasarnya ialah bahwa bahasa merupakan “a key to the world”, “lifeworld”, “ideal community of communication”, bahkan “being that can be understood is language”. Pendek kata, pilihan bahasa dalam dunia kampus/ akademika haruslah filosofis, bukan “suka-tidak-suka”. Biasanya dalam tingkat ini bahasa dipahami sebagai “subtilitas intelligendi”, “subtilitas explicandi” dan “subtilitas applicandi” (semua konsep ini adalah dari bahasa Latim dan diterima sebagai kata-kata ilmiah secara internasional).
Pertama, sebagai “subtilitas intelligendi” maka bahasa merupakan landasan bagi pemahaman, perumusan dan pengertian terhadap gugus gagasan pengetahuan. Pada tataran ini rasanya terlalu sulit menerima pikiran Nurhuda bahwa bahasa Inggris lebih baik dari Portugues, atau bahasa Melayu lebih pintar dari bahasa Portugues. Alasannya, seorang yang terbiasa berpikir dalam konsep Portugues (mirip Perancis, Espanhol, Italiano) akan menemukan kesulitan sangat berat untuk merumuskan pemahamannya dalam bahasa Melayu. Sebaliknya, seseorang yang terbiasa menjalani kuliah dalam bahasa Indonesia akan berjalan tertatih-tatih ketika mulai kuliah dalam bahasa Eropa. Pada kenyataannya, konsep-konsep dalam bahasa Jerman atau Neo-latina (Portugues, Espanhol, Perancis dan Italia) pun akan sulit diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Bahkan seseorang dari Singapura atau India yang berbicara bahasa Inggris akan menimbulkan banyak kesulitan bagi seseorang yang berasal dari Australia atau Inggris atau USA untuk memahami maksud-maksud ucapannya. Pendek kata, setiap bahasa memiliki inteligibilitas-nya sendiri sehingga argumen Nurhuda untuk membandingkan Inggris, Portugues dan Melayu terlihat sangat semberono.
Kedua, sebagai “subtilitas explicandi” terlihat bahwa bahasa menjadi alat komunikasi yang mengubah sebuah pikiran menjadi sebuah materi pengetahuan lewat proses penguraian. Kalau seorang ilmuwan mengatakan tentang H2O atau O2, maka dia harus berbicara tentang “air” dan “udara” sedemikian rupa sehingga orang biasa pun dapat memahaminya. Dalam hal ini, di belahan dunia manapun H2O dan “air” menggunakan bahasa yang berbeda. H2O ialah “intelligendi”, sedangkan “air” (Melayu), “agua” (Portugues/ Espanhol) atau “water” (Inggris) ialah “explicandi”-nya. Tidak mungkin Nurhuda bisa membuktikan bahwa kata “air” lebih hebat dari kata “agua”, dan tidak akan terjadi bahwa seorang ahli berbicara tentang “water” akan berbeda secara kualitatif dengan “agua”. Argumen seperti itu terlalu konyol.
Ketiga, “subtilitas applicandi” mengandaikan bahwa konsep pengetahuan yang dipahami dengan jelas akan diwujudkan dalam hidup. Tentu saja seorang ilmuwan tidak akan mengatakan kepada anaknya bahwa ia memberi H2O agar diminum supaya sehat. Anaknya pasti mengira ayahnya sudah gila. Ia pasti mengatakan pada anaknya agar minum air. Sama dengan seorang di Timor Leste memberikan “agua” (Portugues), “water” (Inggris) atau “we” (Tetum) untuk anaknya. Tidak berbeda sama sekali dengan seorang Indonesia memberikan air minum buat anaknya. Pada tataran ini, “applicandi” sebuah bahasa tidak bisa menjadi ukuran IQ seseorang. Sekali lagi, terlalu enteng berpikir bahwa bahasa Indonesia lebih canggih dibandingkan dengan bahasa Portugues.
Pendidikan di Timor Leste: Di Mana Letak Keruntuhannya?
Dari profesi sebagai guru SD (waktu masih frater), terus ke SMP dan SMA sampai menjadi dosen, saya melihat perkembangan yang menyedihkan, bahwa, pendidikan di Timor Leste cenderung mengalami keruntuhan “illiteracy” atau – buta huruf makin bertambah. Pertambahan itu secara aneh dialami oleh guru-murid dan dosen-mahasiswa. Saya yakin bahwa guru-dosen, siswa-mahasiswa di Timor Leste (juga Indonesia) banyak yang buta huruf.
Pertanyaan saya sangat sederhana: untuk 1 tahun, berapa buku yang dibaca oleh guru dan siswa, atau dosen dan mahasiswa? Barangkali akan sangat menyenangkan untuk disimak jika Nurhuda bisa membuat penelitian tentang budaya membaca tersebut. Apakah pendidikan kita telah mempromosikan “scientific ethos” (budaya akademis; sikap ilmiah): membaca-menulis, atau sekedar tugas yang membosankan? Atau “copy and paste” skripsi dan/ atau membeli ijazah di Indonesia untuk kembali ke Dili? Soalnya di Indonesia, membeli ijazah palsu dan wisuda gadungan di vila-vila mewah luar kota sudah menjadi bisnis yang menguntungkan bagi para pelajar-mahasiswa yang memang malas (sehingga bodoh), tetapi banyak duit.
Saya membimbing mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Dili, dan saya sangat terkejut bahwa kelompok saya yang terdiri dari 12/ 14 orang itu tak ada yang pantas untuk melewati “syarat pertama” dari saya. Sederhana saja: saya minta supaya mendaftar judul buku yang dipakai dalam mencetuskan ide dasar skripsinya. Tulisan pertama itu jangan lebih banyak dari 10 halaman saja. Dan mereka tidak paham sama sekali apa yang harus dilakukan. Apalagi tulisan mereka tumpang-tindih dengan bahasa Indonesia yang cukup “mengerikan”. Ada pula mahasiswa dari perguruan tinggi lainnya meminta tolong supaya saya membaca draft skripsi-nya dan memberikan komentar. Alangkah terkejutnya saya bahwa susunan skripsinya mirip, seolah-olah hanya satu orang yang menulis.
Menghadapi situasi tersebut, saya pernah berbicara secara pribadi dengan Ministro da Educação DR. João Cancio Freitas, supaya menyediakan lebih banyak dana bagi lomba karya ilmiah. Saya sangat kecewa karena, banyak perguruan tinggi di Timor Leste merayakan dies natalis-nya dengan lomba volley, basket-ball, lari karung, renang atau membersihkan kotoran/ sampah di jalanan kota dan campus idol. Jenis lomba semacam itu hanyalah mencerminkan betapa tidak kreatif-nya perguruan tinggi untuk membangun citra-nya sendiri sebagai civitas academica (masyarakat keilmuan).
Pendidikan yang bermutu terlihat manakala pergurun tersebut membangun budaya “membaca-menulis”. Dengan sendirinya, “bahasa” keilmuan menjadi lancar. Sama seperti seorang mahasiswa elektronik harus ada practicum, demikian juga seluruh pemikiran dan pekerjaan di dunia kampus harus melalui practicum tunggal: “membaca-menulis” karya ilmiah. Bahasa apa saja yang dipakainya pasti lancar – entah Melayu, entah Portugues, Inggris, Italiano, Espanhol, Perancis, Jerman, Korea, China, Jepang, dst. Termasuk Tetum, jika kita mampu mengembangkannya. Hanya satu criterium-nya: membaca-kritis dan menulis-analitis. Titik. Kurang dari itu saya tidak yakin. Lebih dari itu, saya belum tahu.
Keprihatinan dasar
Dalam banyak kesempatan saya selalu mengatakan bahwa pendidikan kita sudah masuk ke jurang karena politisi kita tidak sanggup merumuskan pendidikan sebagai strategi kebudayaan. Ketika terlibat dalam organisasi untuk “Sorumotu Alto Nivel” (Maubisse, 21-22 Agustus 2010) bersama banyak intelektual seperti Dom Basilio do Nascimento, Dr. Rui M. Araujo, DR. Benjamin Corte Real, DR. Aurelio Guterres, DR. Rui Gomes, DR. Lidia Gomes, DR. Helder da Costa dan Dulce de Jesus Soares, MA, saya selalu mengatakan bahwa Timor Leste membutuhkan “pensador” (pemikir), “organizador” (pengatur) dan “realizador” (pelaksana). Dan hal itu hanya bisa terwujud jika kita membangun budaya “membaca”. Hampir semua pemimpin bangsa yang popular dan jenius, ialah tokoh-tokoh yang sangat “rakus membaca”.
Segala buku dibaca. Banyak buku dikoleksi. Mereka makan-minum di atas buku, bahkan mereka adalah “kutu buku” sejati. Saya sangat ragu-ragu jika guru-guru atau para dosen di Timor Leste bisa membaca lebih dari 20 buku ilmiah klasik per tahun. Saya tidak terlalu yakin bahwa para dosen bisa membaca lebih dari 40 artikel ilmiah (dalam berbagai bahasa) dan menulis artikel ilmiah setiap tahun. Alasannya: tidak ada sarana, tidak ada fasilitas (bahasa dan jurnal ilmiah), dan tidak ada insentif-nya (uang atau kredit untuk menjadi professor).
Menjadi “pensador” (pemikir) di Timor Leste ialah pekerjaan yang paling “melarat” dan hampir tidak terhormat. Saya yakin, Nurhuda menulis artikel yang bagus. Tetapi dia tidak menerima 1 dollar pun dari jerih-payahnya. Itu yang membuat dunia pendidikan kita runtuh. Karena menjadi pemikir bukan sebuah profesi, melainkan hobby. Karena itu bahasa Portugues tidak bisa dijadikan alasan kemunduran pendidikan kita. Terlalu semberono berpikir ke arah itu.
Kesalahan fatal yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan ialah bahwa kursus-kursus Lingua Portugues tidak menjadi ukuran untuk promosi “pangkat” guru, melainkan untuk isi-waktu liburan sambil dapat uang tambahan. Yang terjadi, para guru ribut karena uang pesangon belum diterima. Tetapi mereka tidak ribut atau frustrasi karena tidak berhasil dalam kursus. Itu benar-benar adalah motivasi yang tidak mendidik dan tidak menunjukkan scientific ethos.
Apalagi, sering saya melihat bahwa seorang yang fasih berbahasa Portugues, tetapi bukan ahli di bidang fisika, kimia atau biologi memberikan kursus. Itu berarti, dia mengajar bahasa Portugues sebagai “alat komunikasi”, dan bukan sebagai “scientific ethos”. Maka berlakulah pepatah, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” … semakin profesionalisme guru/ pendidik tidak bermutu, semakin tidak bermutulah dunia pendidikan kita. Generasi muda dewasa ini menjadi korban dari politik pendidikan yang sangat bersifat pragmatis (mencetak “trabalhador”/ “tukang”), dan kurang menyifatkan intelektual (mendidik “pensador”/ “pemikir”). Dan bahasa Portugues bukan biang-keladinya (bahasa Melayu pun bukan solusinya).
*) Penulis, dosen filsafat di Seminario Maior S. Pedro & S. Paulo, Dili; mantan dosen di ICFP, UNTL dan UNPAZ; Direitor CJP Diocese Baucau!
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.