*). J. Monteiro (jmonteiro87@gmail.com)
Peristiwa kekerasan dan konflik terkait dengan aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan maupun pelanggaran pengelolaan dan eskploitasi sumber daya alam di wilayah perbataasan darat Timor Leste – Indonesia sering kali mengakibatkan terganggunnya hubungan bilateral kedua negara. Sebut saja, misalnya penyusupan illegal oleh tiga warga negara Indonesia, masing-masing, Jose Mausorte, Candido Mariano, dan Estanis Maubere yang akhirnya tewas akibat ditembak mati oleh Unidade Patrolhamente Fronteira (UPF) Timor Leste pada tanggal 6 Januari 2006, sempat membuat hubungan Timor Leste - Indonesia sedikit tegang. Peristiwa penyusupan ilegal lagi-lagi menghebohkan masyarakat Timor Leste yang bermukim di perbatasan, tepatnya di Desa Salele, Tilomar, Covalima (CJITL, 04/02/2010).
Peristiwa kekerasan dan konflik terkait dengan aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan maupun pelanggaran pengelolaan dan eskploitasi sumber daya alam di wilayah perbataasan darat Timor Leste – Indonesia sering kali mengakibatkan terganggunnya hubungan bilateral kedua negara. Sebut saja, misalnya penyusupan illegal oleh tiga warga negara Indonesia, masing-masing, Jose Mausorte, Candido Mariano, dan Estanis Maubere yang akhirnya tewas akibat ditembak mati oleh Unidade Patrolhamente Fronteira (UPF) Timor Leste pada tanggal 6 Januari 2006, sempat membuat hubungan Timor Leste - Indonesia sedikit tegang. Peristiwa penyusupan ilegal lagi-lagi menghebohkan masyarakat Timor Leste yang bermukim di perbatasan, tepatnya di Desa Salele, Tilomar, Covalima (CJITL, 04/02/2010).
.
Catatan dari peristiwa di atas memberikan satu indikasi secara seksama bahwa sebenarnya system tata kelola Timor Leste – Indonesia di perbatasan masih belum maksimal. Kegiatan illegal logging, tranksaksi ekonomi illegal seperti pelintas batas dan penyelundupan Bahan Bakar Minyak (BBM) serta sembako dari wilayah Indonesia ke Timor Leste yang bermula pada persoalan ekonomi ini, tidak jarang kemudian menimbulkan komplikasi-komplikasi yang berlanjut dan berujung pada ketegangan hubungan politik kedua negara. Persoalan konflik sporadis akibat lemahnya system tata kelola dan pengawasan keamanan di perbatasan wilayah darat antara Timor Leste – Indonesia tentu memerlukan renspon nyata dari masing-masing pemerintahan sebagai bentuk pertanggung jawaban negara (state liability) terhadap masyarakat, terutama warga yang berdomisili di daerah perbatasan masing-masing wilayah. Sedikitnya dua pendekatan yang penulis rekomendasikan kepada para pihak terkait penyelesaian perbatasan wilayah daratan Timor Leste – Indonesia guna mencapai penyelesaian yang bersifat mutual agreement.
Pendekatan Hukum (legal approach)
Pendekatan hukum (legal approach) dalam mengakhiri aktivitas warga secara illegal dan sporadis di wilayah perbatasan darat Timor Leste – Indonesia mutlak dilakukan guna menjamin kepastian hukum yang bisa mengatur secara de yuri dan de facto mengenai tapal batas wilayah daratan kedua negara. Memang penentuan tapal batas secara hukum antara Timor Leste – Indonesia sudah terindikasi dengan adanya perjanjian sementara (provisional agreement) yang disepakati di Dili pada tanggal 5 April 2005. Namun sebenarnya perjanjian sementara ini masih menyisakan kerawanan konflik dan aktivitas illegal yang sampai detik masih sering dilakukan oleh warga (Timor Leste – Indonesia) di wilayah perbatasan. Perjanjian sementara (provisional agreement) tentang perbatasan darat (land boundary) antara Timor Leste – Indonesia baru menyepakati sebanyak 907 koordinat titik-titik batas atau sekitar 97% dari panjang total garis perbatasan negara di darat sepanjang 268,8 kilometer. Kesepakatan sementara yang dibuat oleh Timor Leste – Indonesia yang mencapai 97% belum mampu menyelesaikan persoalan perbatasan darat secara menyeluruh. Permasalahan ini terkait dengan demarkasi batas wilayah darat, di mana kedua negara belum mencapai kesepakatan bersama terutama di tiga segmen garis batas, yaitu Noel Besi, Manusasi dan Memo/Mota Malibaka, serta satu segmen di Subina yang hingga kini masih belum tuntas dilakukan survei (Lembaga Penelitian Indonesia, 2007).
Pendekatan Hukum (legal approach)
Pendekatan hukum (legal approach) dalam mengakhiri aktivitas warga secara illegal dan sporadis di wilayah perbatasan darat Timor Leste – Indonesia mutlak dilakukan guna menjamin kepastian hukum yang bisa mengatur secara de yuri dan de facto mengenai tapal batas wilayah daratan kedua negara. Memang penentuan tapal batas secara hukum antara Timor Leste – Indonesia sudah terindikasi dengan adanya perjanjian sementara (provisional agreement) yang disepakati di Dili pada tanggal 5 April 2005. Namun sebenarnya perjanjian sementara ini masih menyisakan kerawanan konflik dan aktivitas illegal yang sampai detik masih sering dilakukan oleh warga (Timor Leste – Indonesia) di wilayah perbatasan. Perjanjian sementara (provisional agreement) tentang perbatasan darat (land boundary) antara Timor Leste – Indonesia baru menyepakati sebanyak 907 koordinat titik-titik batas atau sekitar 97% dari panjang total garis perbatasan negara di darat sepanjang 268,8 kilometer. Kesepakatan sementara yang dibuat oleh Timor Leste – Indonesia yang mencapai 97% belum mampu menyelesaikan persoalan perbatasan darat secara menyeluruh. Permasalahan ini terkait dengan demarkasi batas wilayah darat, di mana kedua negara belum mencapai kesepakatan bersama terutama di tiga segmen garis batas, yaitu Noel Besi, Manusasi dan Memo/Mota Malibaka, serta satu segmen di Subina yang hingga kini masih belum tuntas dilakukan survei (Lembaga Penelitian Indonesia, 2007).
Perjanjian sementara yang disepakati di Dili pada tanggal 5 April 2005 oleh Timor Leste – Indonesia perlu secepatnya ditindak lanjuti oleh para pihak guna mencapai suatu kesepakatan akhir (final agreement) antara kedua negara. Kalau pun perjanjian 5 April 2005 ingin ditindaklanjuti sepertinya diperlukan identifikasi ulang terhadap titik-titik batas yang sudah disepakati. Hal ini cukup beralasan karena, perjanjian sementara 5 April 2005 telah berlangsung hampir 5 tahun dan probabilitas terjadinya perubahan struktur topografi wilayah perbatasan bisa terjadi. Tampaknya, pekerjaaan rumah yang ditanggalkan oleh PR Horta sewaktu mejabat sebagai Menteri urusan luar negeri Timor Leste dan mantan Menteri luar negeri Indonesia Hasan Wirayuda wajib ditindak lanjuti oleh Menteri luar negeri actual kedua negara, masing-masing, Zacarias Albano (TL) dan Marti Natalegawa (ID).
.
Penyelesaian persoalan perbatasan di wilayah daratan antara Timor Leste – Indonesia bisa dicapai titik temu lewat boarders’ diplomacy yang solid dengan tetap menghargai kedaulatan masing-masing negara sesuai dengan azas dan prinsip penyelesaian sengketa internasional secara non litigasi, guna tercapainya penyelesaian yang bersifat simbiosis mutualisme.
Pendekatan Kesejahteraan (welfare approach)
Perlu diakui bahwa Timor Leste masih tergolong salah satu negara paling miskin di kawasan ASIA Tenggara. Apalagi laporan UN World least developing countries 2007, masih mencantumkan Timor Leste masuk dalam daftar 50 besar negara termiskin di dunia. Validitas dari data tersebut di atas mungkin terkesan kurang relevan untuk indikasi bagi negara Timor Leste saat ini, mengingat laporan Bank Dunia tahun lalu sempat memposisikan Timor Leste sebagai salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup bagus, yakni mencapai sekitar 12 % di tengah wabah krisis ekonomi yang menghantam negara-negara maju dan negara-negara berkembang di seluruh dunia. Pastinya hingga saat ini, pertumbuhan ekonomi Timor Leste yang mencapai 12 % masih tetap perlu diperdebatkan karena kenyataan ekonomi negara kita, baik makro maupun mikro sangat bertolak belakang dengan indikasi laporan Bank Dunia tersebut.
Kembali lagi pada persoalan perbatasan di wilayah daratan Timor Leste – Indonesia, bahwa sebenarnya potensi ancaman terhadap munculnya konflik sporadis, transaksi ekonomi illegal, illegal logging, penyelundupan Bahan Bakar Minyak (BBM) secara illegal, semuanya disebabkan oleh status perekonomian kedua warga dan masyarakat (TL – ID) yang masih tergolong sama-sama miskin. Misalnya, tingkat pendapatan domestic bruto yang dilaporkan lewat riset yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Indonesia, 2009 bahwa ternyata angka Human Development Index (HDI) di Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya 60,3, lebih rendah kalau dibandingkan dari HDI rata-rata Indonesia 65,8, meskipun di propinsi NTT, Kota Kupang masih tergolong memiliki HDI relatif baik. Sementara kondisi Kabupaten lainnya, terutama Belu, 58,3, Timor Tengah Utara 59,5 dan Kupan 56,9 yang berbatasan langsung dengan Timor Leste.
Pendekatan Kesejahteraan (welfare approach)
Perlu diakui bahwa Timor Leste masih tergolong salah satu negara paling miskin di kawasan ASIA Tenggara. Apalagi laporan UN World least developing countries 2007, masih mencantumkan Timor Leste masuk dalam daftar 50 besar negara termiskin di dunia. Validitas dari data tersebut di atas mungkin terkesan kurang relevan untuk indikasi bagi negara Timor Leste saat ini, mengingat laporan Bank Dunia tahun lalu sempat memposisikan Timor Leste sebagai salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup bagus, yakni mencapai sekitar 12 % di tengah wabah krisis ekonomi yang menghantam negara-negara maju dan negara-negara berkembang di seluruh dunia. Pastinya hingga saat ini, pertumbuhan ekonomi Timor Leste yang mencapai 12 % masih tetap perlu diperdebatkan karena kenyataan ekonomi negara kita, baik makro maupun mikro sangat bertolak belakang dengan indikasi laporan Bank Dunia tersebut.
Kembali lagi pada persoalan perbatasan di wilayah daratan Timor Leste – Indonesia, bahwa sebenarnya potensi ancaman terhadap munculnya konflik sporadis, transaksi ekonomi illegal, illegal logging, penyelundupan Bahan Bakar Minyak (BBM) secara illegal, semuanya disebabkan oleh status perekonomian kedua warga dan masyarakat (TL – ID) yang masih tergolong sama-sama miskin. Misalnya, tingkat pendapatan domestic bruto yang dilaporkan lewat riset yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Indonesia, 2009 bahwa ternyata angka Human Development Index (HDI) di Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya 60,3, lebih rendah kalau dibandingkan dari HDI rata-rata Indonesia 65,8, meskipun di propinsi NTT, Kota Kupang masih tergolong memiliki HDI relatif baik. Sementara kondisi Kabupaten lainnya, terutama Belu, 58,3, Timor Tengah Utara 59,5 dan Kupan 56,9 yang berbatasan langsung dengan Timor Leste.
.
Kondisi dan status perekonomian Timor Leste juga sebenarnya tidak jauh berbeda dari kehidupan warga NTT, khususnya di kawasan perbatasan pada umumnya. Tidak bisa dipungkiri, bahwa hingga detik ini, negara kita masih menjadi salah importir kakap bagi Indonesia, khususnya sembako. Entah sampai kapan ketergantungan kita terhadap produk-produk Indonesia akan berakhir adalah menjadi tugas dan tanggung jawab semua elemen bangsa, terutama negara, melalui kementrian terkait sebagai insiator dan fasilitaro. Memang, Timor Leste sebagai negara importir oleh Indonesia, negara kita sering pula mendapat produk imporan dari Thailand dan Vietnam, misalnya beras, namun secara kuantitas dari masing-masing ketiga negara tersebut, Indonesia masih menduduki peringkat pertama eksportir bagi negara kita, mengingat aksesibilitas yang mudah (baik darat maupun laut), bahkan harga produk-produk yang masih tergolong murah bila dibandingkan dengan Thailand ataupun Vietnam. Kondisi lalu lintas perdagangan Timor Leste – Indonesia acap kali ditandai dengan transaksi secara illegal.
.
Ironisnya lagi, transaksi ekonomi illegal tersebut sering melibatkan oknum aparat keamanan Timor Leste – Indonesia, sehingga terjadi praktik suap menyuap, terkait dengan biaya bea masuk.
Catatan di atas memberikan satu teguran kepada masing-masing pemerintah pusat untuk secepatnya memberikan respon yang sesuai dengan kebutuhan para pihak, terutama mereka yang intens menggunakan jasa perbatasan, yang secara kontekstual dan factual adalah masyarakat di daerah perbatasan dan aparat keamanan masing-masing negara. Bagi warga Timor Leste – Indonesia di daerah perbatasan, mereka membutuhkan keamanan dan kenyamanan dalam bertransaksi secara ekonomi, sosial maupun budaya, sehingga pemerintah pusat dari masing-masing negara secepatnya memberikan satu upaya solutif yang responsif dengan segerah menyepakati pemberlakuan kartu pas (boarding pass) bagi masyarakat dan warga yang berdomisili di daerah perbatasan.
Catatan di atas memberikan satu teguran kepada masing-masing pemerintah pusat untuk secepatnya memberikan respon yang sesuai dengan kebutuhan para pihak, terutama mereka yang intens menggunakan jasa perbatasan, yang secara kontekstual dan factual adalah masyarakat di daerah perbatasan dan aparat keamanan masing-masing negara. Bagi warga Timor Leste – Indonesia di daerah perbatasan, mereka membutuhkan keamanan dan kenyamanan dalam bertransaksi secara ekonomi, sosial maupun budaya, sehingga pemerintah pusat dari masing-masing negara secepatnya memberikan satu upaya solutif yang responsif dengan segerah menyepakati pemberlakuan kartu pas (boarding pass) bagi masyarakat dan warga yang berdomisili di daerah perbatasan.
.
Tawaran ini bila diterapkan oleh Timor Leste – Indonesia, maka otomatis akan berdampak pada harmonisasi budaya yang saling berdampingan satu sama lain, apalagi budaya dan kultur masyarakat kedua negara di wilayah perbatasan masih hampir sama. Bagi aparat keamanan, di sini penulis hanya titik beratkan pada pihak Timor Leste, diharapkan sebisa mungkin menyediakan sarana dan pra sarana yang lebih layak untuk membantu proses kelancaran keamanan dan kegiatan pengadministrasi di daerah perbatasan. Mengingat, kondisi penginapan dan fasilitas (teknis maupun non-teknis) yang digunakan oleh aparat Timor Leste di perbatasan, baik UPF maupun Polisi Imigrasi masih tergolong sangat memprihatinkan. Secara spesifik, pos-pos penjagaan baik UPF maupun tempat pelayanan administrasi keimigrasian Timor Leste di perbatasan masih tergolong sangat tidak layak, bila dibandingkan dengan pos-pos penjagaan dan tempat pelayanan administrasi keimigrasiannya Indonesia.
.
Pos-pos dan tempat pelayanan administrasi keimigrasian Timor Leste di daerah perbatasan lebih layak dinamai gubuk-gubuk tua yang dipenuhi penderitaan. Seingat penulis, hanya ada satu rumah container dan beberapa gubuk derita beratap daun lontar yang sampai saat ini masih dipakai untuk pelayanan satu atap bagi kebutuhan keimigrasiaan. Itupun masih sangat belepotan ketika turun hujan ataupun panasnya terik matahari, sebab tidak ada ruang tunggu ataupun ruang pelayanan administrasi terstandar sebagaimana dimiliki oleh aparat keimigrasian Indonesia. Oleh karenanya, penyediaan fasilitas yang memadai dan perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan aparat di perbatasan mutlak diperlukan agar dapat menciptakan kinerja operasional yang lebih baik, sehingga system tata kelola di daerah perbatasan dapat terlakasan secara sistematis, akuntabel dan professional. Kita tunggu!
*). Mahasiswa Fakultas Hukum (semester akhir/VII) Universitas Narotama Surabaya, Indonesia dan Kontibutor Forum Haksesuk!
*). Mahasiswa Fakultas Hukum (semester akhir/VII) Universitas Narotama Surabaya, Indonesia dan Kontibutor Forum Haksesuk!
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.