Traktat Laut Timor (Timor Sea Treaty, 2002) merupakan langkah baru dalam proyek ekplorasi dan eksploitasi di Timor Sea yang sebelumnya diperjanjikan oleh Australia dan Indonesia. Perundingannya cukup alot, namun akhirnya rumusan traktat ini disetujui dan ditanda-tangani pada tanggal 11 Desember 1989 oleh Indonesia-Australia. Konon, proyek penambangan Timor Sea ini ternyata tidak jalan semulus yang diharapkan oleh para pihak dalam traktat itu. Seiring dengan terbitnya Resolusi DK PBB 1272/10/1999 tentang pengakhiran kedaulatan Indonesia atas Timor Leste. Pada saat itu juga, Indonesia sendiri menerbitkan TAP MPR No. V/1999 tentang penentuan nasib sendiri yang ditindak lanjuti dengan pencabutan TAP MPR No. VI/1978 tentang Pengukuhan Wilayah Timor Leste (Timor Timor, waktu itu) ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada saat terbitnya TAP MPR No. V/1999 maka berakhirlah kewenangan Indonesia atas Timor Leste. Dengan berakhirnya kewenangan Indonesia atas Timor Leste, secara otomatis Traktat yang disepakati oleh Indonesia dan Australia pada tanggal 11 Desember 1989 batal demi hukum, berdasarkan prinsip dan azas hukum perdata internasional.
Timor Sea Treaty mengisi kemerdekaan Timor Leste pada usia yang ke-enam
Pada mukadimah dari Traktat Laut Timor (Timor Sea Treaty, 2002) yang disepakati di Dili menyadari dan memperhatikan adanya kepentingan untuk memajukan pengembangan perekonomian di Timor Leste. Melihat akan pentingnya pembangunan sumber daya perminyakan dengan cara tanpa merusak keragaman-hayati yang berkesinambungan secara ekonomis, dengan harapan bisa memajukan penanaman modal yang memberikan sumbangsih pada pengembangan jangka panjang bagi Timor Leste. Persetujuan dan penandatanganan Timor Sea Treaty, 2002 juga memperhatikan adanya Konvensi PBB mengenai Hukum Laut yang disepakati oleh masyarakata internasional di Montego Bay, Jamaica, 10 Desember 1982. Konvensi ini lebih dikenal dengan nama United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, 1982). Pasal 83 UNCLOS, 1982 menetapkan bahwa penentuan batas landasan continental antar negara dengan pesisir yang berhadapan atau berdekatan akan dilaksanakan melalui perjanjian berdasarkan hukum internasional dengan tujuan untuk mencapai suatu penyelesaian yang pantas dan fair.
Perlu diketahui bahwa disaat penandatanganan Timor Sea Treaty, 2002 hingga penandatanganan lanjutan seperti; International Unitization Agreement (IUA), 2003 dan Treaty on Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS), 2006, negara kita belum mempunyai dasar hukum internasional sebagaimana diatur dalam UNCLOS, 1982. Timor Leste belum meratifikasi konvensi ini, namun bukan berarti bahwa kewenangan dan kedaulatan negara setengah pulau ini bisa seenaknya direngut oleh tetangga rakus kita, Australia. Karena di dalam Pasal 83 UNCLOS, 1982 lebih lanjut menyatakan bahwa “negara pesisir yang berhadapan atau berdekatan untuk berusaha masuk ke penetapan sementara yang bersifat praktis selama belum ada persetujuan mengenai penentuan batas landasan continental antara mereka dengan cara yang berkesesuaian dengan hukum internasional”.
Adanya isu-isu politis dalam proyek Timor Sea Treaty, 2002 hingga proyek terkait lainnya, termasuk LNG
Pada saat pelantikan Mantan PM Mari Alkatiri sebagai pimpinan kabinet (pemerintahan) perdana, Mari Alkatiri sepertinya kesambat petir, hingga akhirnya buru-buru menandatangani Trakat Timor Sea dengan Australia di Dili, jelang beberapa menit pelantikan. Dunia dan sebagian masyarakat internasional yang wakthu itu tahu akan maneuver politik Australia di pentas politik luar negeri, sangat berharap-harap cemas semoga Mari Alkatiri tidak terpancing oleh politiknya mantan PM John Howard. Namun, apalah dikata, sejarah Australia dan Timor Leste bahkan dunia sekalipun saat itu langsung tercoreng dengan lukisan politik oleh dua pemimpin negara yang kesannya cukup memperhatikan kepentingan individu semata, tanpa memandang prinsip dan asas kebebesan berkontrak, dalam hukum perdata internasional. Mantan PM John Howard dan jajarannya merasa sesumbar di atas angin karena salah satu motor penggerak ekonomi (Timor Sea) negara Kangguru itu akrhinya berhasil disepakati, dengan cara membodohi pemimpin-pemimpin negara yang termasuk jajaran negara termiskini di dunia saat ini.
Opini seputar Timor Sea, khususnya LNG
Sejak saat sebelum dan sesudah ditandatanganinya Timor Sea Treaty (2002) hingga detik ini selalu muncul opini-opini yang kontrakditif antara pemerintah kedua belah pihak (Australia-Timor Leste), masyarakat kedua belah pihak dan bahkan masyarakat internasional yang turut memperhatikan nasib rakyat negara setengah pulau ini. Pada bulan April 2004, dihadapan para peserta negara-negara pendonor untuk Timor Leste, PM Xanana Gusmao yang waktu itu menjabat sebagai Presiden Republik dengan lantang meneriakan kepada dunia bahwa “apabila tetangga kami Austalia terus mencuri uang kami yang justru diperlukan untuk membayar utang-utang Timor Leste, maka kami akan terkubur utang. Kami akan menjadi salah satu negara terperangkap utang di dunia, (Le Monde Diplomatique edisi Desember 2004, dikutip http://www.antara/.) Statement Xanana waktu itu memang membuat Alexander Downer terasa kebakaran jengot. Karena Downer merasa dipermalukan dengan statement Xanana waktu itu. Secara logika, kita bisa tarik satu kesimpulan dari pernyataan Xanana tersebut di atas, di mana jeri payah dan kerja keras AMP bersama Task Force untuk menarik kilang minyak LNG ke Timor Leste, hampir terbukti. Terlepas dan minimnya SDM kita di berbagai sektor dan sub sektor, terutama di bidang pertambangan kiranya tidak mematahkan semangat Xanana untuk mengakali berbagai macam siasat agar sekiranya proyek LNG bisa ditarik ke Timor Leste yang secara geografis dua kali lebih dekat ketimbang harus di tarik ke Australia (Northen Territory). Opini sejalan dengan PM Xanana Gusmao ternyata datang juga dari seorang politikus Vicente Mau Bocy bahwa “tak ada keraguan dengan pembangunan kilan LNG di Timor Leste, secara otomatis akan memicu ledakan bisnis luar negeri ke dalam ekonomi negara. Dalam konteks kinerja ekonomi makro, kehadiran kilan LNG akan menangani dan menyelesaikan isu pengangguran dengan menciptakan secara langsung sekitar 20.000 pekerjaan untuk berbagai tahap konstruksi, (22/10/2007, laohamutuk).
Opini sedap justru terlahir dari mulut seorang politikus senior, mantan PM Mari Alkatiri sebagaimana dirilis oleh Forum-haksesuk (FH), edisi 7 Desember 2008 bahwa “Timor Leste la iha kapasidade argumentu legal, tekniku no ekonomiku ne’ebe bele konvense parseirus esplorasaun Greater Sunrise nian atu dada kanu no hari estasaun prosesamente gaz nian iha Timor Leste nia laran, maske opasaun ida nee mak diak liu ba dezenvolve kampu ne’e. Cobalah kita berhenti sejenek untuk menganalisa ada apa dibalik pernyataan sinis seorang Alkatiri yang kesannya sama sekali tidak berpihak kepada rakyat kecil yang saat ini tengah haus dan lapar akibat krisis ekonomi global? Terbukti bahwa, pernyataan seorang Alkatiri adalah pernyataan barisan orang-orang sakit hati yang sepertinya sulit untuk mewujudkan kekuasaan politiknya lewat trik-trik prmitif yang sudah tidak menjadi rahasia segelintir orang di Timor Leste. Trik konvensional yang dimiliki oleh Mari Alkatiri dan sangat diharapkan agar bisa terrealisasikan untuk mencapai tujuan politik individu dan kelompoknya ternyata berakhir menjadi sebuah retorika di ujung lidah. Mestinya seorang Mari Alkatiri yang waktu itu menjadi wakil pemerintahan sekaligus negara dalam penandatanganan Traktat Laut Timor, 2002 bisa melihat dan memperhatikan esensi dan substansi dari traktat itu, serta manfaat yang nantinya diperoleh masyarakat Timor Leste dari trakat itu sendiri. Azas kebebesan berkontrak dalam pergaulan antar negara berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional saat itu benar-benar tidak menjadi barometer dari seorang Mari Alkatiri.
Tunggu lanjutannya!
*). Mahasiswa Fakultas Hukum (semester V)
Universitas Narotama Surabaya, Indonesia
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.