*). J. MONTEIRO (monteiro.87@hotmail.com)
Ditengah gencarnya isu pembubaran lewat “marcha da paz” yang saat ini dimotori oleh mantan PM Mari Alkatiri bersama militannya terhadap pemerintahan AMP pimpinan PM Xanana Gusmao, ternyata tidak menguras semangat dan kredibilitas pemerintahan aktual untuk tetap tegak dalam menjalankan system dan tatanan pemeritahan. Tanpa harus menyoroti secara subjektif ataupun sampai mengung-agungkan kepemimpinan PM Xanana, penulis ingin berpendapat bahwa leadership action yang ditempuhi oleh PM Xanana merupakan suatu bentuk indikasi, bahwa PM Xanana telah menjadi seorang pemimpin yang harus selalu siap siaga dalam mengambil setiap kebijakan politik secara nasional dan bahkan internasional dengan skala resiko yang bisa tergolong cukup fatal apabila ujung-ujungnya, kebijakan politik itu ternyata berakhir dengan tidak memberi sumbangsih terhadap kepentingan khalayak publik.
Konferensi pers di Dili, Timor Leste yand dirilis oleh Forum-Haksesuk (FH) edisi 24 oktober 2008 mengenai “Proposed law to establish the Anti-Corruption Commission” oleh PM Xanana adalah bukti dan itikat baik oleh pemeritahan AMP yang menjanjikan. Semangat demokratis yang saat ini tengah mengalami kebobrokan atas ulahnya segelintir orang lewat tindak pidana korupsi sekiranya akan diminimalisir, atau bahkan dilenyapkan di suatu hari dari wajah negara TL. Mengingat, proposal pembentukan Undang-Undang Komisi Anti-Korupsi yang telah disodorkan oleh PM Xanana ke lingkungan DPR akan segarah terwujud. Memang, pembentukan suatu produk hukum, dalam hal ini suatu Undang-Undang pada tahap rancangan (RUU) hingga nantiya akan disahkan oleh DPR atas persetujuan bersama dengan Presiden Republik guna menjadi suatu hukum positif tidak segampang dan semudah membalik telapak tangan setika yang dibayangkan oleh sebagian orang. Tentunya, suatu RUU tersebut akan mengalami pengodokan dan perundingan yang cukup alot sebelum diamini oleh DPR bersama Presiden Republik.
Terwujudkah cita-cita hukum Pasal 43 (ayat 1, 2, dan 3) tentang UU Tindak Pidana Korupsi (TPK)?
Jika DPR berhasil menggolkan UU Komisi Anti-Korupsi; terwujudlah cita-cita hukum dari Pasal 43 (ayat 1, 2 dan 3) tentang UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) milik Indonesia yang hingga detik ini masih tetap pakai oleh negara kita sebagai landasan hukum dalam memberantas tindakan pidana korupsi. Tentunya banyak khalyak umum yang tengah hip-hip hura dan menantikan kehadiran UU khusus yang bisa mengatur lembaga independen, Komisi Anti-Korupsi ini sehingga wilayah hukum secara lembaga dapat benar-benar independen tanpa mendapatkan sentuhan dan intervensi dari pihak luar. Harapan penulis semoga tugas, wewenang dan fungsi dari Komisi Anti Korupsi akan secara explisit diikrarkan dalam UU Komisi ini sehingga praktek Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap semua tindak pidana yang diduga adanya indikasi pidana korupsi yang merugikan uang negara (uang rakyat) dapat langsung dikomandani oleh Komisi Anti-Korupsi sendiri, dengan tanpa memperhatikan intruksi politik dari siapa pun.
Praktek Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tadinya diambil alih oleh aparat kepolisian dan kejaksaan; mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan akan dengan secara otomatis dialih-fungsikan kepada Komisi Anti-Komisi, apabila Komisi ini nantinya bisa diberi wewenang khusus untuk menjadi aparat/team penyelidik dan penyedik terhadap semua perkara tindak pidana korupsi. Salah satu tugas pokok dari aparat kepolisian dan kejaksaan ini apabila nantinya benar-benar diambil alih oleh Komisi Anti-Korupsi, maka kinerja dan kapabilitas dari Komisi independent ini akan tetap terjaga, karena ada landasan hukum yang mengaturnya. Dengan begitu, praktek Hukum Acara Pidana (KUHAP) khusus mengenai tindak pidana korupsi akan menjadi yuridiksi tersendiri bagi Komisi ini. Dan, kesan akhir dari terpisahnya fungsi, wewenang dan tanggung jawab oleh aparat penegak hukum tersebut di atas (kepolisian, kejaksaan dan Komisi Anti-Korupsi) akan secara terpisah dan tidak terlihat rebutan.
Struktur organisasi dan anggota dari Komisi Anti-Korupsi harus benar-benar murni independent dan tidak tercela
Barangkali, salah satu persoalan berat dalam mendirikan Komisi Anti-Korupsi adalah memboyong Sumber Daya Manusia (SDM) yang mapan, professional, integritas tinggi dan murni tidak berasal dari kalangan politisi atau partai politik manapun. Barometer ini sengaja dipakai untuk tetap menjaga kemerdekaan dari lembaga ini. Penunjukan struktur kepimpinan dalam Komisi Anti-Korupsi, adakalanya diusulkan lewat tim panelist independen khusus yang diwakili dari masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi hukum/ekonomi dengan harapan aspirasi dan unek-unek dari setiap elemen bangsa, terutama rakyat TL bisa terwakilkan. Sehingga, pejabat structural dari Komisi Anti-Korupsi; mulai dari Top manager hingga para staff pun tidak terkesan amatiran, namun memang pantas untuk menduduki Komisi yang ditugaskan untuk melindungi uang negara (uang rakyat) dari para koruptor kelas kakap yang saat ini tengah meramaikan panggung politik kotor di belakang layar.
Korupsi telah menjadi tindak pidana trans-national
Tindak pidana trans-national seperti, penyelundupan/pengedaran narkoba, human trafficking, dan bahkan terorisme yang saat ini marak di forum debat internasional dimana terus diupayakan untuk dieliminir oleh berbagai negara di belahan bumi memang terlihat hangat. Namun, salah satu kejahatan tindak pidana trans-national, seperti korupsi juga ternyata tidak kalah trend dalam pembahasan ramai pada forum-forum di kancah internasional. Terbukti bahwa, tepat pada tanggal 28 January 2008 PPB - United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) melakukan suatu konferensi akbar di Bali-Indonesia, yang dihadiri oleh delegasi dari 140 negara dalam membahas suatu tema yang sangat krusial dalam agenda waktu itu, yakni pemberantasan korupsi nasional dan global, (Jawapos, 30/01/08).
Kejahatan, seperti tindak pidana korupsi telah menjadi tindak pidana trans-national yang sangat fenomenal dan hal ini bisa mentukan maju-tidaknya dunia pembangunan ekonomi (dalam hal ini masyarakat) suatu negara, termasuk negara kita. Oleh karenanya, kerjasama internasional oleh Komisi Anti-Korupsi nantinya, terhadap negara-negara dan lembaga-lembaga internasional lainnya (International Transparency, Political Economic Risk Consultancy, dll) akan amat sangat membantu negara kita untuk bisa menyelamatkan asset negara yang saat ini tengah dikerok oleh para oknum birokrat yang gila harta haram dan merasa senang diatas ratapan dan rintihan masyarakat TL.
Kerjasama internasional oleh Komisi Anti-Korupsi versi TL bersama negara lain dan lembaga internasional di bidang anti-korupsi diharapkan bisa menghilang suatu tindak pidana korupsi seperti pencucian uang (money laundering) yang saat ini dilakukan oleh para koruptor kakap di Indonesia, di mana uang rakyat Indonesia dikorupsi, lalu dijadikan sebagai uang tabungan di rekening bank di negara lain (e.g. koruptor Indonesia menjarah uang rakyat Indonesia lalu disimpan di Bank-Bank di Singapura) oleh si koruptor dengan anggapan bahwa uang hasil jarahan tersebut adalah uang pribadi. Konon, Singapura yang merupakan tempat penyimpanan uang cucian (money laundering) para koruptor kakap Indonesia ini justru dijadikan oleh lembaga survey internasional (International Transparency) sebagai negara yang paling bersih dari korupsi di kawasan ASIA Tenggara dengan Index Perception Corruption (IPC) 9.0 atau hamper nyaris sempurna pada tahun 2007, dari total 180 negara yang disurvey (Kompas, 27/09/07)
Diperlukan “Hakim Ad hock” dalam mengadili Tindak Pidana Korupsi (TPK) serta juga UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan TIPIKOR)
Apabila kinerja dari Komisi Anti-Korupsi ini diharapkan nantinya bisa memberi dampak positif terhadap kondisi dan system pembangunan ekonomi rakyat dan negara maka, para hakim kondan yang akan dihadirkan untuk mengadili kasus-kasus TPK haruslah “hakim ad hock” bukan hakim-hakim dari lembaga peradilan umum. Hal ini bermaksud untuk tetap menjujung tinggi independensi dan kinerja keseluruhan dari komisi ini, dan kehadiran hakim ad hock di Pengadilan TIPIKOR nantinya diharapkan untuk tidak member putusan yang tebang pilih. Acapkali terjadi dalam praktek sehari-hari bahwa para hakim sering melakukan putusan yang bersifat tebang pilih, misalnya seorang ibu menyusui yang mencuri susu-nestle di Supermarket ternyata hukumanya jauh lebih berat dari seorang koruptor yang mencuri uang negara dalam jumlah ratusan/bahkan ratusa-ribuan dollar. Padahal di sini, seorang hakim justru dituntut untuk tidak hanya menjadi mulut dari setiap UU atau pasal dan ayat yang mau dijatuhkan kepada seorang tersangka; yakni ibu hamil dan koruptor tadi yang memang sama-sama melakukan tindak pidana. Pada kasus-kasus seperti ini, hakim didesak untuk mengetahui teori causalitet/teori sebab akibat (yang lebih banyak diajarkan dalam ilmu kriminolgi). Oleh karenanya, setelah UU Komisi Anti-Korupsi ini sukses digolkan oleh DPR, maka alangkah baiknya PM Xanana tanpa menunda-nunda waktu sejarah yang terus berputar ini dengan mengusulkan kembali UU Pengadilan TIPIKOR ke dewan legislatif untuk sesegera mungkin di RUU-kan dan digodok, selanjutnya disahkan untuk menjadi UU. Tentunya hal ini akan munguras tenaga dan membutuhkan waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Namun, dengan kondisi dan system perekonomian negara yang saat ini masih di ujung tanduk bakal menjadikan moment ini sebagai moment yang benar-benar responsif karena bila UU Komisi Anti-Korupsi dan kalau disusul juga UU Pengadilan Tipikor ini, dengan sendirinya sejarah akan menjadikan PM Xanana sebagai leader yang beraksi pada waktu dan kondisi yang tepat (take action in the real time, with a responsive decision). Apalagi periode kepemimpinan selama lima tahun bukanlah waktu yang tergolong panjang, namun sedikit. Perlu digaris bawahi pula bahwa ternyata, jabatan Perdana Menteri (PM) atau jabatan apapun itu bukanlah abadi dalam suatu negara demokratis.
*). STUDENT OF THE LAW FACULTY (THE FIFTH SEMESTER)
NAROTAMA UNIVERSITY OF SURABAYA (NUS), INDONESIA
TELP. +6281 353 898 525
NAROTAMA UNIVERSITY OF SURABAYA (NUS), INDONESIA
TELP. +6281 353 898 525
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.