Hampir sepekan, isu “marcha da paz” yang dimotori oleh Sekjen Fretelin Mari Alkatiri bersama militannya menjadi salah satu top news edisi pekan ini. Sebagian dari masyarakat Timor Leste saat ini tengah mewanti-wanti, hal apa lagi yang bakal mencuat menjadi satu terobosan fenomenal, entah fenomena politis dan fenomena yuridis. Sudah setahun beberapa bulan, pemerintah AMP pimpinan Xanana Gusmao memegang kunci kepemimpinan bersama jajarannya, dan hingga detik ini pun pernyataan-pernyataan inskonstitusional terhadap kepiawaian seorang Xanana dan jajarannya terus mewarnai berbagai media local maupun media internasional. Negara TL adalah salah satu dari sekian banyak negara didunia yang menganut azas demoktrasis, sehingga kebebesan berekspresi dan berkempul adalah hal suatu aktivitas lazim yang disakralkan dalam Pasal 40 Undang-Udang Dasar TL. Namun perlu digarisbawahi pula, kebebasan berekspresi dan berkumpul dalam menggagaskan ide harus tetap dalam limitasi kelaziman, sehingga koridor hukum tidak menjadi tempat persemaian ratapan dan tangisan orang lain. Dengan kata lain, setiap masyarakat memiliki hak azasi yang digarantir oleh produk hukum tertinggi kita, namun kewajiban azasi tetap menjadi landasan utama yang harus didahulukan sebelum kita menuntut hak-hak azasi kita.
Reformasi politik?
Krisi politik dan militer yang terjadi pada mediu tahun 2006 dimana hingga detik ini pun masih tetap menjadi isu sentral, bahkan masih menjadi topic diskusi di kalangan awam, praktisi, gereja, leaders, dan akademisi, baik ditingkat nasional, regional hingga global telah menjadikan negara TL menjadi salah satu negara di kawasan ASIA Tenggara yang system dan tatanan pemerintahannya masih indentif dengan beberapa negara baru di ASIA Pasifik seperti Fiji dan Solomon Island. Kedua negara ini, hingga detik ini masih memperlihatkan eksistensi dan dominasi dunia barat (orang asing) terhadap system dan kebijakan politik nasional mereka. Seolah-olah kedaulatan kedua negara ini hanya menjadi sebuah lelucon di mata rakyatnya, bahkan masyarakat internasional sendiri. Intervensi pihak asing terhadap segala kebijakan politik nasional, akan menciptakan suatu reformasi politik mandiri dan berwawasan global yang tumpul dan ambruk. Independensi pemerintahan dalam setiap keputusan secara nasional tidak tampak, sehingga terkesan abu-abu dan silau di mata dunia internasional. Kondisi politik mengenaskan inilah yang saat ini tengah menjadi reformasi politik tendensional yang fenomenal di TL. Reformasi politik yang saat ini tengah dipererubutkan di medang perang akan tetap berakhir dengan reformasi politik yang tidak communal. Alasannya, arogansi dan ego kepemimpinan yang dimiliki oleh para politisi di TL justru dijadikan sebagai barometer dalam meraih reformasi politik itu sendiri. Inti dari reformasi politik individualis dan kelompok akan menjadikan TL sebagai salah satu negara yang gagal dalam menegakan HUKUM dan HAM. Barangkali, sebagian orang tidak sependapat dengan pernyataan ini bahwa TL bukan merupakan merupakan suatu negara yang gagal dalam menegakkan HUKUM dan HAM, mengingat beberapa negara di dunia saat ini pun masih membenahi system penegakkan HUKUM dan HAM mereka, contoh konkritnya tetangga kita Indonesia, Myanmar atau negara-negara lain di Timur Tengah. Usia kemerdekaan negara kita yang masih tergolong muda tidak dapat dijadikan barometer untuk memahklumi kegagalan yang saat ini tengah menjadi tembok raksasa dan penahan kesejahteraan rakyat TL. Gagalnya TL bersama negara Sri Langka menjadi anggota Komisi HAM PBB tahun lalu adalah bukti ketidak becusan para politisi kita dalam melakukan pergerakan politik di negara kita. Reformasi politik secara nasional yang masih terlihat gagal ini akan terus menjadikan image politik luar negeri kita ikut terpuruk. Masyarakat TL saat ini turut andil dan mendukung TL untuk mewujudkan cita-cita bangsa menjadi anggota keluarga ASEAN di tahun 2012, namun kondisi politik yang bobrok secara nasional akan tetap memeberikan efek buruk terhadap system dan pengembangan politik dengan dunia luar, baik itu tingkat regional (seperti ASEAN) atau pun tingkat global. Standar keanggotaan ASEAN yang ditawarkan oleh beberapa anggota (negara pencetus ASEAN), sepertinya belum bisa dipenuhi secara kualitatif maupun kuantitatif. Tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan seketika, seperti yang diimpikan oleh sekelompok orang dimana hobinya suka bermimpi di siang bolong.
Reformasi Hukum?
East Timorese’ government has failed in law enforcement. Kalau ada ahli hukum yang berani dan mengeluarkan pendapat bahwa TL sedang mengalami reformasi hukum adalah suatu pernyataan murahan dan konyol. Sekalipun penulis bukanlah ahli hukum, namun dengan kondisi dan tatanan system hukum yang jalannya rapuh tertatih-tatih di negara kita, bisa memberikan suatu gambaran jelas bahwa reformasi hukum masih tetap menjadi tirai semata. Memang, law is a political product, namun reformasi politik hanya akan bisa diwujudkan apabila diawali dengan suatu reformasi hukum yang menyeluruh dan berwawasan demokratis, bukan sosilalis atau pun komunis. Arus globalisasi dan modernisasi telah mengubah gaya hidup dan mindset masyarakat di negara-negara komunis sepert China dan Vietnam, di mana persiapan dan perjuangan keras menuju negara demokratis tengah digalakkan. Kedua negara ini, tengah membuka diri kepada dunia luar yang menganut azas demokratis. Kalaupun, di negara setengah pulau seperti TL terdapat ideology-ideologi komunis dan sosialis, mungkin penulis bisa berasumsi bahwa pemikiran primitive seperti itu telah basi, sejak runtuhnya Soviet Union. Sejak saat itu lenenisme dan marxisme yang marak-maraknya dipelajari dan menjadi dasar ideology sejumlah negara justru bobrok dan aus perlahan-lahan. Oleh karenya, terlepas dari pemikiran lenenisme dan marxisme sendiri penulis menantikan suatu reformasi hukum yang sesuai dengan tuntan zaman dan masyarakat karena sebagian produk hukum peninggalan negara colonial dan produk hukum ciptaan negara kita sendiri sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan perilaku umat manusia di TL. Apalagi, perkembangan dan kehidupan manusia selalu mengalami perubahan dan warna baru setiap saat dan setiap waktu, ini tentu menuntut adanya amandemen terhadap hirarki hukum tertinggi kita dan perubahan-perubahan terhadap produk hukum lainnya. Sehingga pemikiran orang awam dan oknum politikus tertentu yang mendogmatisasikan hukum sebagai perintah dari Sang Khalik yang tidak bisa dikotak-katikan sedapat mungkin tereliminir di TL. Oleh karenaya, scenario “marcha da paz” yang saat ini tengah dipersiapkan untuk diperankan oleh para aktornya boleh jadi berakhir menjadi sebuah malapetaka bagi banyak orang, karena para pemain yang nongol dalam alur cerita ini tampangnya memang suka dan senang hidup keta-ketiwi di atas ratapan orang lain.
Pemimpin (terutama politikus) harus merespon masalah secara “real time”
Kondisi ekonomi dunia yang tengah mengalami krisis tentu memberi dampak negative yang cukup para terhadap system dan kondisi perekonomian negara TL yang sampai saat ini masih terdaftar dalam jajaran negara-negara termiskin di dunia. Pada situasi seperti ini, para pemimpin bangsa, terutama politikus harus pro-active dalam merespons permasalahan nasional secara real time, tanpa memandang suku, agama, rasa, kelompok atau partai. Perselisihan pendapat adalah suatu bentuk dan wujud satu negara yang bernuansa dan beratmosfir demokratis. Namun, ada saatnya para pemimpin (terutama politikus) harus mengubur dalam-dalam egonya masing-masing dan bahu-membahu untuk menanggapi permasalahan rakyat secara gotong royong yang didasari dengan suatu diskusi musyawarah untuk mencapai mufakat. Fenomena inilah yang masih kelihatan sukar untuk ditanamkan di kalangan para pemimpin (lebih-lebih politikus) TL di masa kini. Keragaman karakter dan mindset para politisi dari setiap partai politik yang memiliki cita-cita yang berbeda ini tentu tidak akan pernah menemukan konsep dan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan tuntutan rakyat TL. Dengan begitu, reformasi hukum nasional yang berwawasan global, dan ditindak-lanjuti dengan reformasi politik nasional, regional atau pun global akan tetap menjadi suatu kefatalan yang turun-temurun, sehingga konsep kepemimpinan yang ambur-adul justru akan lahir dan menjadi barometer kepemimpinan para pemimpin TL masa kini dan masa yang akan datang. Akankah? Biarkanlah waktu yang menjawabnya.
(*). MAHASISWA FAKULTAS HUKUM (SEMESTER V)
UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA, INDONESIA
TELEPHONE: +6281 353 898 552
UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA, INDONESIA
TELEPHONE: +6281 353 898 552
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.