VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20080804

NEGARA KITA MENATAP WAJAH HUKUM YANG SURAM

Sebuah refleksi dari penulis dalam perspektif hukum atas pemerintahan AMP yang sebentar lagi genap satu tahun.

*). J. MONTEIRO (monteiro.87@hotmail.com)

“Paradigma hukum bisa berubah-ubah, tapi hukum tetap merupakan permainan dari kepetingan kelompok”, inilah kalimat apresiasi dari Prof. DR. Arief Budiman, Guru Besar pada Melbourne University of Australia terhadap thesis Pramudia (Magister Hukum-UNDIP, Semarang, Indonesia) yang dibukukan dengan judul “Hukum adalah Kepentingan”. Apakah benar bahwa di negara kita, TL hukum adalah kepentingan juga? Tentu penulis dengan riang dan senang hati ingin mengajak semua lapisan masyarakat agar berhening sejenak terhadap semua kebijakan dan keputusan politik untuk negara, terutama masyarakat dalam masa kekuasaan Mr. Xanana-Horta. Penulis sendiri terasa dicambuk saat membaca isi dari buku yang ditulis oleh seorang Pramudia, yang telah 20 tahun menjalankan profesinya sebagai advokat kondan di Solo, Jawa Tengah.

Sejujur-jujurnya, penulis bukanlah siapa-siapa, bukan apa-apa, dan bukan pula seorang ahli hukum. Tapi, sebagai seorang warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban terhadap negara kita, penulis ingin memberi ilustrasi dan wancana sedikit seputar persoalan hukum yang tampaknya cukup pelik di negara kita ini. Paradigma hukum dalam public polices di negara kita yang berakhir pada suatu keputusan hukum dari masa ke masa masih kelihatan rancu dan kabur. Ibarat manusia, masih sangat sulit untuk ditentukan jenis kelaminnya, apakah laki atau wanita. Inilah persoalan hukum negara kita yang saat ini kita alami dan akan terus-menerus seiring dengan rotasi waktu. Kesilapan dari berbagai macam political policies yang dieksekusi oleh para petinggi kita rupanya masih terus didiamkan. Banyak orang yang merasa apatis dan tanpa peduli seakan melihat semua keputusan itu adalah keputusan Tuhan yang digosipkan oleh sang-malaikat kepada sang petinggi negara kita. Namun, sebaliknya ada juga kalangan tertentu yang merasa political polices yang ditempuhi para petinggi dari waktu ke waktu sejak TL didaulat sebagai negara RDTL masih terlihat skoliolis dan labil bahkan lumpuh total.
Terlepas dari pemikiran egaliter seorang Pramudia terhadap kebijakan politik para petinggi negara Indonesia pada masa kedigdayaan rezim otoriter Soeharto, dan pemimpin-pemimpin Indonesia lainya, penulis sendiri memandang terlihat adanya lahan kesuburan political polices tendentional invidual yang terjadi di negara kita saat ini. Tanpa dipungkiri, hampir setahun pemerintah AMP, pimpinanan Xanana featuring Horta masih menonjolkan keputusan politik yang berbaur kepentingan individu belaka, tanpa memandang kepentingan rakyat Timor Leste. Namun bukan berarti bahwa, semua keputusan politik yang sejauh ini diemba tidak berdampak positive bagi negara dan rakyat terutama. Ada banyak aspek politik yang dinilai, keputusannya sangat procedural dan communal. Tapi, sejujurnya penulis ingin tegaskan bahwa kebijakan dan keputusan politik berakibat hukum yang gagal dan fatal justru porsinya lebih banyak ketimbang kebijakan dan keputan yang berdampak menguntungkan masyarakat Timor Leste. Realita, kasus Alm. Major Alferdo dan Petisioner, pemberian remisi kepada Rogerio, dan pelaporan akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP TL-RI), dan berbagai aspek permasalahan nasional lainnya, ternyata masih sangat menyita perhatian masyarakat internsional bahwa penegakkan hukum dan HAM yang berwawasan nasional dan berperilaku internasional masih terlihat labil dan tertatih-tatih di negara kita. Berbagai aspek permasalahan nasional ini akan terus mencoreng figure negara RDTL di mata negara-negara tetangga dan semua masyarakat internasional bahwa kesiapan negara kita dalam mewujudkan equality before the law masih sangat diragukan. Ujung-ujungnya, masyarakat internasional tetap saja melihat negara Timor Leste dengan sebelah mata. Karena paradigma hukum yang sedang berlaku akan menjadi warisan yang turun-temurun apabila tidak dilakukan reformasi kebijakan politik yang berkeputusan hukum serta benar-benar responsive dan fairness terhadap tuntutan masyarakat kita.
Kebijakan negara adalah keputusan untuk memilih yang nilai terbaik dari sekian banyak nilai yang ada di masyarakat, (Pramudia, Hukum adalah Kepentingan, hal. 2)
Tentu tidak selalu mulus dan sesuai dengan kehendak semua orang, bila seorang penguasa menempuh suatu keputusan dalam suatu hirarki tertentu. Tapi, bukan berarti bahwa suatu keputusan itu selalu dilakukan secara sepihak, karena akumulasi dari aspirasi setiap komponen dalam suatu hirarki justru lebih terwakilkan dan lebih maioritas ketimbang keputusan individual yang justru sering melahirkan konflik dan bahkan mala petaka. Banyak negara-negara demokratis di penjuru dunia membagi kekusaaan dan struktur kepemimpinannya dalam tiga kelompok dasar, yakni legislative, eksekutive dan yudikatif. Namun, tidak ada jaminan bahwa ketiga lembaga ini bakal menjalankan wewenang dan tanggung jawab secara independent. Karena bila mana intuisi politik masuk, terutama lembaga legislative dan eksekutive itu ke ranah yudikatif, tentu negara akan kelihatan kocar-kacir. Secara struktur, di dalam system ketata-negaraan suatu negara, lembaga yudikatif bukanlah lembaga tertinggi di negara tersebut. Tapi, peran lembaga yudikatif dalam menjadikan negara sebagai payung bagi lapisan masyarakat adalah sangat amat diperhitungkan. Diakui bahwa, peran serta yudikatif adalah tergolong peran sekunder ketimbang lembaga legislative dan eksekutive yang cenderung lebih primer. Dalam artian, hukum adalah produk politik. Di negara-negara lain yang sampai saat ini kondisi perekonomian masih morat-marit, termasuk Timor Leste, selalu menganak-tirikan hukum, ketimbang politik. Namun, sebenarnya pandangan negara-negara yang menganak-tirikan hukum justru dilibas oleh Roscopone (ahli sosioloi hukum-Perancis) bahwa hukum adalah panglima tertinggi di sebuah negara. Barangkali, konsep pemikiran Roscopone ini susah diterima secara rasional dan bahkan tidak gampang untuk diterapkan di negara yang menanut asas kebebasan dan demokrasi yang ambur-adul. Tapi, justru teori Roscopene sangat amat member kontribusi besar terhadap negara seperti di kawasan Asia Pasifik; China, Korea Selatan, dan India, atau juga di kawasan ASEAN seperti Singapore, Malaysia, Brunei, Thailand. Negara-negara tersebut di atas telah membuktikan keberhasilan bangsanya dengan menjadikan hukum sebagai penguasa. Paradigma hukum yang diterapkan di negaranya masing-masing adalah hukum yang benar-benar responsive, communal dan bukan individual.
Fiat justitia ruat coelum (tegakkan hukum sekalipun langit akan runtuh)
Dari substansi tulisan Pramudia “Hukum adalah Kepentingan” tentu mempunyai cita-cita terhadap negara Indonesia sendiri. Seorang Pramudia yang berprofesi advokat ini berharap agar ke depan nanti, negara Indoensia bisa menganut asas fiat justitia ruat coelum. Tidak salah, kalau kita sebagai seorang warga negara Timor Leste yang memiliki hak dan kewajiban, membuka diri dan menanamkan asas fiat justitia ruat coelum di benak dan pikiran kita. Namun, aplikasi dari asas yang dicita-citakan oleh seorang Pramudia dan tentu penulis sendiri juga inginkan ini, tidak gampang untuk diterapkan di negara kita. Sebab, bagaimana pun konsep dan daya nalar dari seorang petinggi dalam mengambil keputusan politik yang tidak bernurani akan selalu berakhir rancu dan meninggalkan preseden yang fatal untuk hari esok. Asas fiat justitia ruat coelum juga mengingatkan penulis pada artikel “Hukum dikalahkan politik” yang dipublikasikan oleh STL, dalam menanggapi kasus Alm. Major Alfredo. Jelas, banyak orang yang tidak setuju karena pada saat itu pelaksanaan hukum acara pidana terhadap kasus Alm. Alfredo masih belum dieksekusi, tapi ternyata dugaan penulis dalam membaca kasus Alm. Alfredo akhirnya berakhir dengan sebuah realita. Terbukti bahwa, hingga saat ini kasus Alm. Alfredo dan petisioner yang merupakan titik permasalahan nasional masih terlihat rancu. Artinya, sekalipun hukum adalah panglima tertinggi menurut teori sibernetika hukum, tapi jikalau intrusi politik masuk ke ranah hukum, semua keputusan hukum akan dimentahkan oleh keputusan politik yang tendensius, ambisius dan gegabah. Decision maker yang mengeksekusi keputusan politik ini seolah memandang dirinya paling benar, sehingga aspirasi dan kepentingan rakyat yang dikodifikasi dan diunifikasikan dalam suatu produk hukum positif (ius constitum) justru ditanggalkan. Sehingga, aski ketidak puasan dari keputusan decision maker pun datang bertubi-tubi dari berbagai arah dan kalangan, tanpa dipungkiri kalau para decision maker kita justru amat sangat sering dengan trik jitunya mereka, yakni tidak lain adalah mengundurkan diri dari jabatan. Alasan penguduran diri dari jabatan boleh-boleh saja didasari dengan pertimbangan-pertimbangan musyawarah dan mufukat, tapi tetap saja hal ini tidak segampang yang dipikirkan oleh para decision maker. Ujung-ujungnya, apabila kiat untuk menghindar dari tanggung jawab atas keputusan ini tidak berhasil, mereka (para decision maker) mulai pandai berdalil bahwa tiada seorang yang sempurna di dunia ini. Ungkapan seorang decision maker ini hanya didasarkan pada keputusan manusiawi yang lumrah dan ungkapan ini pula yang sering dilakukan oleh para decision maker di negara lain untuk membaptis kesalahan-kesalahan mereka terhadap bawahan (dalam hal ini rakyatnya).
Cita-cita negara kita, terkait dengan “Hukum adalah Kepentingan”
Hodi mihi cras tibi (ketidak-adilan yang menyentuh perasaan tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat). Bukan tidak mungkin, kalau ternyata keputusan public yang berbaur politis sangat menyandera rakyat, baik secara fisik, psikis maupun materil. Tentu, rakyat akan merasa apatias terhadap keberadaan dan system tatanan bangsa karena, tanggung jawab sebagai seorang warga negara yang memiliki hak dan kewajiban justru tergerogoti oleh keserakahan para pempimpin. Berhubung, ibis ius, ibis societas (di mana ada masyarakat, di situ hukum) maka, keputusan para decision maker harus dibenahi sedini mungkin. Pembenahan diri ini bukan hanya menumpuk tangan dan kaki semata, namum butuh realita konkrit yang nyata. Rakyat Timor Leste sudah merasa muak dengan berbagai manufer politik petinggi negeri ini. Aplikasi dari unsur law enforcement seperti substansi hukum, kultur hukum dan sosiologi hukum dapat menjadi suatu pergerkan moral (moral movement) yang betul-betul berwujud, bukan iming semata. Dengan begitu, negara kita yang masih termasuk jajaran negara termiskin dan terkorup di dunia ini bangkit dari keterpurukan bangsa dan mengembalikan image RDTL yang selama ini terasa alergi di mata dunia internasional, akibat political policies yang rapuh, sehingga law enforcement berakhir dengan sebuah kesan diskriminatif alias tebang pilih. Akhirnya, semoga pergeseran dan pembaharuan paradigma hukum dalam piranti hukum negara kita akan secepatnya bisa menjawab kebutuhan dan kesejahteraan bagi rakyat kita. Dengan begitu, kehendak rakyat yang justru tertampung dalam kebijakan public, tapi bukan lagi kehendak penguasa atau kelompok partai politik manapun.

*). MAHASISWA FAKULTAS HUKUM (SEMESTER V)
UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA, INDONESIA
KOLABORADOR FORUM HAKSESUK

Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.