VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20080718

TIMOR-LESTE INGIN MENGIKUTI JEJAK KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) INDONESIA

Akankah tindakan bejat ini bisa tereliminir dengan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi versi Timor Leste?

*). J. MONTEIRO (monteiro.87@hotmail.com)

Begitu penuli membaca STL-Online, Edisi 17 Juli 2008, langsung kepincut dengan headline tentang andilnya pemerintahan AMP kepemimpinan Mr. Xanana Gusmão dalam memberantas tindakan bejat yang merugikan rakyat TL, yakni KORUPSI. Penulis merasa tidak pernah kehabisan nyali untuk menuangkan ide-ide kecilnya, yang barangkali tidak secemerlang dan sekalibar para intellectual lainnya di TL atau di manapun mereka berada, mengenai perbuatan melawan hukum lewat tindak pidana korupsi. Penulis sangat berharap agar berbagai lapisan masyarakat, terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang anti-korupsi, dengan segala upaya kerja kerasnya dan pemerintah sebagai team fasiltator dapat mewujudkan cita-cita good governance lewat pemberantasan tindak pidana korupsi yang diharapkan oleh semua lapisan masyarakat, terutama rakyat kecil tidak berakhir menjadi sebuah mimpi di siang bolong.

Hingga saat ini, Negara kita belum bisa menciptakan produk hukum khusus yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi (TPK), dan ini pantas dimahklumi karena berdiri menjadi sebuah negara berdaulat, lalu melahirkan produk-produk hukum dalam jangka waktu yang pendek adalah tidak mudah, ibarat membalik telapak tangan seketika. Belum lagi, produk hukum itu harus dibentuk dalam draft RUU untuk digodok di tingkat legislative yang lazimnya membutuhkan waktu yang cukup panjang. Tanpa dipungkiri kalau ternyata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP) kita juga masih dalam tahap pengdokon di tingat DPR, bahkan Indonesia sendiri, KUHP yang notabene diwariskan oleh negeri Belanda, sampai sekarang masih dalam bentuk RUU, pada hal KUHP yang sekarang dipakai di Indonesia, juga Negara kita sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan simtem tatanan hukum di Belanda, sehingga telah dirubah. Namun, terlepas dari belum mampunya Negara dalam menciptakan produk hukum sendiri, sebenarnya, UUD RDTL pun menghendaki agar UU dan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku di TL akan tetap berlaku, berkaitan dengan semua hal kecuali bila bertentangan dengan UUD atau asas-asas yang terkandung di dalamnya, (Pasal 165 UUD RDTL).

UU No. 31/1999 tentang TPK Indonesia yang masih digunakan oleh TL sebagai UU TPK

Secara substansial, ada pasal-pasal tertentu dari UU No. 31/1999 yang memang dinilai bertentangan dengan UUD kita, seperti pada pasal Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999, bunyinya..”dalam hal tertentu tindak pidana korupsi dapat dijatuhi pidana mati yang merupakan pemberatan terhadap pelaku tindak pidana korupsi". Akan tetapi, dalam di dalam Pasal 32 ayat 1 UUD RDTL “tidak mengakui” adanya hukuman pidana mati di negara kita. Berangkat dari Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999 tentang TPK yang bertentang dengan UUD RDTL, sebenarnya saat UU No. 31/1999 diundangkan, masyarakat dan pemerintah Indonesia mencita-citakan adanya peran serta masyarakat dalam hal pencegahan dan pemberantasan TPK dan dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak UU No. 31/1999 mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 41 dan Pasal 43 UU No. 31/1999). Terbukti setelah UU No. 31/1999 yang diundangkan pada tanggal 16 Agustus 1999, pada pemerintahan mantan Presiden RI B. J. Habibie, ternyata ditindak lanjuti oleh pemerintahannya mantan Presiden RI, Megawati. Sehingga tepat pada tanggal 27 Desember 2002, UU KPK secara sah diundangkan, yakni UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau lebih lazim disebut KPK. Negara RI telah mewujudkan cita-cita UU No. 31/1999 tentang TPK, dan berhasil menciptakan UU No. 30/2002 tentang KPK. Terbukti, kalau beberapa tahun terakhir ini, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) berhasil mengungkapkan berbagai macam tindak pidana korupsi yang dilakukan, mulai dari masyarakat di tingkat daerah hingga mereka-mereka yang berdasi, baik itu anggota DPR maupun para Menteri. Penulis beranggapan bahwa, tidak ada salahnya negara kita menjejaki negara Indonesia dengan mendirikan sebuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versi Timor Leste. Bila TL berhasil mendirikan KPK, berarti terrealisirlah sudah pernyataan anggota parlemen, Ketua sub-Komisi C, bidang anti-korupsi Mrs. Cipriana yang beberapa bulan melakukan kunjugan singkat ke kediaman KPK Indonesia di Jakarta, dimana cita-cita TL dalam mendirikan KPK di negara kita sempat dilontarkan langsung oleh Mrs. Cipriana di hadapan ketua KPK Antasari Azhar.,,……”tujuan kami ke sini karena sangat tertarik dengan KPK. Kami ingin mendirikan KPK di Timor Leste”, (Jawapos, 30 April 2008). Dengan didirikannya komisi khusus yang menangani masalah korupsi, maka secara otomatis salah tugas pokok dan fungsi Provedoria dos Dereitos Humanos e da Justica (PDHJ) yang menangani masalah korupsi akan dialih-fungsikan ke komisi pemberantasan korupsi. Hal mana kita ketahui, hingga saat ini PDHJ masih merupakan gabungan dari tiga lembaga independent seperti KOMNAS-HAM, OMBUDSMAN, KPK seperti yang dialami oleh Indonesia beberapa tahun silam. Seiring waktu, dengan terpilahnya ke-tiga lembaga independent nanti, diharapkan kinerja, tanggungjawab dan wewenang dari masing-masing komisi bisa benar-benar menyeluruh, sehingga dampak positif dari hasil kerja komisi ini bisa merambah ke seluruh lapisan masyarakat di tanah air. Dengan demikian rakyat jelata tidak merasa terus-terusan dijajah oleh kondisi perekonomian bangsa yang hingga saat ini masih di ujung tanduk dan tampak tertatih-tatih.

Beberapa hambatan dalam mendirikan KPK versi Timor-Leste

Semangat pemberantasan korupsi yang dipertontonkan oleh pemerintahan AMP, kepemimpinan Mr. Xanana Gusmão sepertinya bakal menghadapi berbagai persoalan serius. Salah satunya sumber daya manusia (SDM). Memang SDM di negara kita masih terlihat labil dan minim di berbagai suktor dan sub-sektor. Apalagi niat dan motivasi mendirikan KPK di negara membutuhkan SDM yang benar-benar mapan dan sesuai dengan keahliannya. Apalagi, KPK bakal menjadi salah satu lembaga independent yang tidak diperkenankan mendapat intervensi dari pihak atau kelompok manapun. Bahkan pemerintah sekalipun. Kemandirian lembaga ini, tentu dituntut agar mereke-mereka yang nantinya mengemba tugas KPK ini belum terkontaminasi oleh ideologi bakterial patogen yang diderita oleh partai politik manapun. Artinya, individu yang dilibatkan untuk menjabat di dalam struktur KPK nanti benar-benar belum tergabung di dalam suatu partai politik manapun. Selain itu, secara invidu juga dituntut agar para anggota KPK itu tidak dan belum pernah terlibat dalam melakukan perbuatan-perbuatan tercelah lainnya, terutama korupsi. Tampaknya, sulit bagi negara kita saat ini untuk mendapatkan orang-orang yang benar-benar independent, karena sejauh ini banyak pemikir-pemikir muda yang idealis, kreatif, tangguh dan handal semuanya telah dirasuki jiwanya, dengan nafsu keserakahan oleh oknum politikus tertentu yang memang tanpang dan jiwanya haus akan darah dan kursi kekuasaan. Namun selebihnya, terkait dengan KPK nantinya akan diatur dalam UU KPK kita sendiri, apabila dewan legislative dalam jangka waktu dekat ini berhasil merumuskan suatu produk hukum yang mengatur KPK dimana sesuai dengan kondisi serta tuntutan semua komponen di negara RDTL, terutama rakyat jelata. Tapi, kelihatanya sulit.

KPK bisa menjadi penyedik, penyelidik dan penuntut dalam perkara Tindak Pidana Korupsi (TPK)

Apabila KPK berhasil didirikan di TL, maka aplikasi dari hukum formil pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang wewenang serta tugas PNTL dan Kejaksaan, khususnya pada perkara TPK akan terpisah secara otomatis dari KPK. Dalam suatu perkara tindak pidana korupsi, KPK bisa menjadi penyelidik, penyedik dan penuntut terhadap kasus tindak pidana korupsi itu sendiri. Jadi KPK dalam melakukan suatu penyidikan, penyelidikan dan penuntutan terhadap kasus TPK tanpa harus menunggu persetujuan dari PNTL dan Kejaksaan. Tugas dan wewenang KPK ini diharapkan nantinya bisa dikrarkan dalam UU KPK itu sendiri, sehingga khusus untuk perkara Tindak Pidana Korupsi (TPK) KPK, PNTL, Kejaksaan sebagai tim penyidik, penyelidik dan penuntut bisa tertata rapi sehingga kesannya tidak rebutan.

Kesimpulan

Tindak Pidana Korupsi (KPK) adalah tindakan bejat yang sangat merugikan bangsa, terutama rakyat kecil yang hingga detik ini masih terlihat hidup melarat. TPK adalah tergolong suatu kejahatan non-konvensional di mana efek dari kejahatan ini memakan korban dalam jumlah yang cukup banyak, dibandingkan dengan kejahatan warungan (konvensional) yang terkesan menelang sedikit korban. Tindak Pidana Korupsi (TPK) adalah pelanggaran HAM. Bilamana, seorang pejabat negara ataupun anggota DPR yang terbukti melakukan gratifikasi (abuse of power) lewat TPK, dinilai telah merampas hak-haknya rakyat kecil. Karena, sumber keuangan negara adapula yang berasal dari masyarakat. Artinya, dalam suatu negara demokrasi, seperti TL masyarakat dianggap bukan hanya sebatas warga negara, tetapi juga berarti masyarakat dalam konotasi sebagai manusia yang mempunyai hak atas kekayaan perdata negara. TL adalah salah negara di seluruh dunia yang tergolong kecil dengan jumlah polulasi yang juga terlihat sedikit pula, artinya bila praktek perlukuan TPK dibersihkan dari wajah TL, dengan sendirinya akan membuka lapangan kerja yang subur, karena para investor asing bakal kepincut karena merasa aman dan percaya untuk menanamkan saham di TL. Dengan begitu kemiskinan dan penggangguran di tanah air sedapat mungkin bisa diatasi. Barangkali, untuk yang kesekian kalinya artikel penulis tentang kasus-kasus terkait korupsi terus mencontohkan negeri China sebagai panutan yang patut dicontohi oleh negara manapun, terutama negara kita. Negeri Bambu Runcing yang beberapa puluhan tahun silam cukup marak dan terkenal dengan kasus korupsi akhirnya berhasil menjadi salah motor ekonomi dunia saat ini. Terbukti, kalau China sekarang menjadi lahan investasi yang subur bagi para investor manca-negara. China dengan integritas, loyalitas dan totalitas terhadap negara dan masyarakatnya, mampu mengatasi persoalan kosupsi. Presiden Hu Jin Tao sangat amat berhasil dengan trik dan strategi pemberantasan korupsinya lewat kampanye di seluruh negeri China. Program penyediaan 100 peti mayat, satu disediakan untuk Sang Presiden apabila terbukti melakukan TPK dan 99 lainnya disediakan bagi koruptor kakap apabila terbukti melakukan tindakan haram ini ternyata manjur. Strategi jitu Presiden Hu Jin Tao, sangat sesuai dengan kondisi dan sistem tatanan hidup masyarakat China pada saat itu. Piranti hukum yang digunakan oleh China ternyata benar-benar menimbulkan efek jerah kepada semua lapisan masyarakat. Baik kalangan birokrat, swasta, hingga masyarakat biasa. Tentu, kita semua berharap agar para wakil rakyat yang saat ini menduduki kursi parlementer bisa tergerak hatinya, sehingga menciptakan produk hukum khusus (lex specialis) tentang TPK yang sesuai dengan zaman dan tututan masyarakat TL. Sehingga angan-angan untuk meminimalisir TPK bisa tercapai dan tentunya harapan serta cita-cita semua komponen bangsa dalam mewujudkan good governance seperti yang ditebarkan oleh para anggota DPR dan pejabat negara pada saat kampanye partai politik tidak hanya berakhir menjadi sebuah retorika di ujung lida. Semoga!

*). MAHASISWA FAKULTAS HUKUM (SEMESTER V)
UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA, INDONESIA
Koloborador Forum Haksesuk (FH) no artigo ne´e hakerek exkluisivo ba FH!

Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.