VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20080520

MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE MELALUI PEMBERANTASAN KORUPSI

J. MONTEIRO*

Tampaknya pemerintah lewat Provedoria dos Deretos Humanos e da Justica (PDHJ) yang satu-satunya institusi independent di Timor Leste di mana salah satu tugas pokoknya adalah memberantas tindak pidana korupsi dinilai agak meningkat. Belakangan ini, ada beberapa kasus korupsi yang lagi dalam tahap dugaan dan investigasi. Ini merupakan symptom bahwa secara lambat laun Institusi ini terus berupaya dan membenahi diri untuk memberantas tindakan bejat ini. Tidak mudah kalau mewujudkan cita-cita good governance di suatu negara tanpa dilandasi dengan realisasi piranti hukum yang bisa menimbulkan efek jera kepada para pelaku tindak pidana itu sendiri. Karena, ada oknum dan pelaku-pelaku tertentu yang justru berpersepsi bahwa tindakan haram, seperti korupsi ini adalah salah tindakan halal.

Masyarakat Tempat Korupsi Merajalela; musnahkan virus korupsi dari basis dulu

Barangkali sejauh ini, kita tidak sadar bahwa korupsi justru lebih marak di kalangan masyarakat awam, namun dalam tanda kutip bahwa efek dari tindakan haram ini tidak begitu menanah dari korupsi yang marak di kalangan birokrat. Jelas bahwa, di masyarakat yang tidak mencela dan tidak mengganggap bahwa tindakan korupsi adalah sesuatu yang semestinya diharamkan dan harus dituntut secara hukum, maka pastilah korupsi akan menjalar ke mana-mana. Suatu lingkungan dan komunitas yang suburnya tindak pidana korupsi, disebabkan lahirnya birokrasi patrimonial, tidak saja dalam bentuk-bentuknya yang tradisional dalam masa lampau, akan tetapi juga dalam bentuk-bentuknya yang baru, yang memakai kedok biroksari modern, seperti badan pengawasan negara, inspektur jenderal di setiap kementrian, parlamen dan alat penuntut umum, (Arief., Dwi Atmoko, SH.,Mum, Dosen Hukum Pidana Korupsi dan Hukum Kriminologi, Universitas Narotama Surabaya). Selanjutnya, apabila bentuk-bentuk biroksi modern ini yang justru tetap dikuasai oleh nilai-nilai birokrasi patrimonial yang lama, pastinya tidak memiliki suatu keampuhan untuk membendung tindakan tercela ini.

Di sini penulis berasumsi bahwa, warisan birokrasi partrimonial kita dan feodalisme yang ditinggalkan oleh Indonesia nampaknya masih sangat melekat pada jiwa oknum masyarakat dan birokrat tertentu. Pemberian jasa atau jabatan kepada sanak dan sahabat ini adalah salah satu tindak pidana korupsi juga. Namun sebaliknya ada oknum birokrat dan masyarakat yang memandang hal ini sebagai suatu tindakan yang masih dalam batasan yang wajar dan dianggap halal dan anehnya lagi kadang ada oknum yang melihat tindakan tidak senonoh ini justru bungkam dan tidak marah. Hal ini berarti bahwa, membasmi korupsi di negara kita, harus diawali dengan mencabut semua korupsi patrimonial yang telah berakar di kalangan masyarakat kita. Pemusnahan korupsi ini harus ditindak lanjuti dengan nilai-nilai moral yang hadir dalam diri kita, selain itu transformasi budaya kita yang sok solider terhadap sanak dan keluarga dengan tindakan tercela ini harus diwujudkan, barulah kita sebagai masyarakat, bersama lembaga pemberantasan korupsi dengan suatu komitmen hukum untuk menjamah korupsi yang dilalakukan oleh para oknum birokrat, di mana efeknya negativenya sangat besar ketimbang korupsi-korupsi warungan di kalangan masyarakat awam. Berulangkali, penulis berpendapat bahwa untuk mengeliminer budaya birokrasi patrimonial di kalangan masyarakat awam dan di kalangan birokrat, ini bisa kita pelajari dari negeri Bambu-runcing, China. Terbukti, bahwa dengan dengan piranti hukum yang benar-benar dilahirkan berdasarkan tuntutan zaman dan masyarakat mereka (technique wetgeving) membuat China menjadi salah satu negara Asia Pasifik yang lahan investasi asing dari tahun ke tahun selalu subur. Memang kenyataan bahwa, perekonomian China yang semakin mapan ini adalah indakasi pemberantasan korupsi yang sangat bagus.

Timor-Leste masih mengacu pada UU No. 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi miliknya Indonesia.

Diakui dan dimahklumi bahwa lahir dan terbentuk menjadi sebuah negara yang berdaulat, lalu menciptakan produk hukum dalam beberapa waktu yang singkat adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Terbukti bahwa, produk-produk hukum yang dipakai di Indonesia sendiri adalah hasil peninggalan zaman Belanda dan sampai sekarang sekarang KUHP dan KUHPer pun masih dalam draft RUU. Pada hal KUHP dan KUHPer ini di negeri Belanda telah diganti dengan baru. Kondisi hukum inilah yang saat ini dialami oleh negara kita.

Di dalam artikel ini, peunilis berpendapat bahwa dalam UU No. 13/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dinilai ada bagian-bagian pasal tertentu yang memang tidak layak untuk kita terapkan di negara kita, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar yang merupaksan hirarki hukum tertinggi di suatu negara. Hal mana, pada Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999 menjelaskan bahwa…..”dalam hal tertentu tindak pidana korupsi dapat dijatuhi pidana mati yang merupakan pemberatan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Akan tetapi, dalam di dalam Pasal 32 ayat 1 UUD RDTL “tidak mengakui” adanya hukuman pidana mati di negara kita. Namun terlepas dari Pasal 2 Ayat (2) UU No. 31/1999, sebenarnya substasi dari UU tindak pidana korupsi masih diperlukan untuk dipakai di negara kita, sepanjang kita belum mempunyai produk hukum sendiri dari UU yang bersangkutan. Hal ini berlandaskan pada Pasal 165 UUD RDTL; hukum sebelumnya…..UU dan peraturan-peraturan yang berlaku di TL akan tetap berlaku berkaitan dengan semua hal kecuali bila bertentangan dengan UUD atau azas-azas yang terkandung di dalamnya.

Menanggapi Andanya Indikasi Praktek Korupsi di STAE dan BEACUKAI (STL, edisi, 14 Mei 2008) dengan UU No. 13/1999

Adanya indikasi praktek tindak pidana korupsi oleh mantan oknum pegawai STAE yang kini sedang menjabat sebagai anggota DPR di Uma-Fukun dan oknum pegawai Beacukai ini bila dicermati lebih intens dan jeli tentu terbukti adanya praktek korupsi melalui penyalah-gunaan jabatan/wewenang (abuse of power). Dijelaskan dalam Pasal 3 UU No. 13/1999 bahwa;”….setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada……”. Menyalahguna-kan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Pada dasarnya redaksional dari pelaku tindak pidana ini lebih ditegaskan pada seorang pegawai negeri. Namun untuk lebih jeli dan cermat, dalam UU ini istilah “pegawai negeri”, berarti kita harus balik lagi pada Pasal 1 Ayat (2) UU No.13/1999 yang secara tegas menjelaskan bahwa pegawai negeri adalah…”orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah dan/atau orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, serta orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Bila dicermati dari unsure “menguntungkan diri” atau orang lain atau suatu korporasi, maka akan terlihat lebih mudah oleh Jaksa/Penuntut Umum karena unsur “menguntungkan” tidak memelukan dimensi apakah tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi menjadi kaya atau bertambah karenanya. Beda lagi dengan aspek memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Lalu pada Pasal 2 UU No. 13/1999 menjelaskan adanya aspek perbuatan tersebut (korupsi) merupakan perbuatan yang “dapat” merugikan keuangan negara. Memang di dalam pasal ini tertulis bahwa tindak pidana korupsi ini harus memenuhi unsur merugikan keuangan atau perekonomian negara, namun sebenarnya kata “dapat” di sini sebenarnya menentukan Jaksa/Penuntut Umum tidaklah harus membuktikan adanya unsure kerugian “keuangan/perekonomian negara” karena menurut tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat, (Arief D. Atmoko, SH.,Mhum.,Dosen Hukum Pidana Korupsi dan Hukum Kriminologi pada Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya). Dari semua uraian dari beberapa pasal dan ayat dari UU No. 13/1999 maka, para tersangka oknum pegawai STAE dan oknum pegawai Beacukai yang diduga melakukan tindakan haram ini sejak masih menjabat sebagai pegawai negeri di instansi di mana ia ditugaskan maka sesegera mungkin dipanggil untuk dimintakan keterangannya di Pengadilan. Panggilan ini harus dilakukan secara berkala dan apabila panggilan dari Pengadilan itu tidak dindahkan oleh tersangka tanpa dengan alasan yang sah, misalnya sakit, atau yang lain maka pihak Pengadilan dapat melakukan panggilan paksa dan apabila dalam panggilan paksa itu pun tetap tidak dihiraukan oleh tersangka maka kasus tersebut dapat diputus tanpa hadirnya tersangka/terdakwa di Pengadilan, putusan peradilan ini dinamakan Peradilan In-absensia, dan putusan ini sah serta berkekuatan hukum (incrafth).
Kelemahan TL dalam menggunakan UU No.13/1999

Bila penulis amati UU No. 13/1999 pada Pasal 41 dan 43 maka, tersirat jelas adanya cita-cita hukum dari UU No. 13/1999 itu sendiri yakni mendirikan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam rentang waktu paling lama 2 sejak UU No, 13/1999 ini mulai diberlakukan. Nampaknya cita-cita dari UU No. 13/1999 ini belum kita capai di TL, hal mana Komisi khusus yang ditugaskan untuk menangani masalah pemberantasan korupsi belum kita dirikan. Sedangkan Indonesia, yang notabene pemilik UU No. 13/1999 sekarang sudah memiliki Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bila TL berhasil membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini menjadi indakasi pemula adanya sinkronisasi dan sinergisme hukum dalam memberantas korupsi, karena TL sudah memiliki landasan-landasan hukum yang bisa dijadikan acuan untuk memberantas korupsi lebih efektik. Berangkat dari defisiensi produk hukum yang kita miliki ini diharapkan dapat ditanggapi oleh pemerintah kita sedini mungkin dengan strong political will yang real, bukan hanya retorika di ujung lidah. Dalam hal ini, penulis dan mungkin sebagian dari masyarakat berharap bahwa kunjugan PM Xanana ke Indonesia yang juga didampingi langsung oleh anggota parlemen, Ketua sub-Komisi C, bidang anti-korupsi Mrs. Cipriana yang melakukan kunjugan singkat ke kediaman KPK Indonesia di Jakarta bisa membuka wawasan, semangat dan strategi baru bagi negara kita untuk bisa mendirikan KPK di TL. Hal mana, cita-cita TL guna mendirikan KPK di negara kita juga sempat di utarakan langsung oleh Mrs. Cipriana di hadapan ketua KPK Antasari Azhar.,,……. "tujuan kami ke sini karena sangat tertarik dengan KPK. Kami ingin mendirikan KPK di Timor Leste, "( Jawapos, 30 April 2008). Harapan kita, dengan dirintisnya KPK di TL, maka komisi ini akan bekerja lebih spesifik sehingga efektifitas dan efisiensi dalam praktek hukum di suatu negara, termasuk negara kita bisa tercapai. Karena selama ini, PDHJ masih terdiri dari gabungan tiga lembaga, yakni OMBUSDMAN, Komnas HAM, dan KPK sehingga kesan dari kinerja dan performa dari PDHJ ini dievaluasi kurang begitu holistik. Semoga dengan cita-cita TL untuk mendirikan KPK suatu nanti, bisa menghantarkan kita ke dalam suatu negara RDTL yang bisa memiliki citra good governance yang berwujud, bukan hanya khayalan dan imaginasi semata di siang bolong. Semoga!!!

*MAHASISWA FAKULTAS HUKUM (SEMESTER IV)
UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA, INDONESIA

Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.