VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20080426

TERAMCAMNYA KEBEBESAN PERS DI TIMOR-LESTE;

sejauh mana kebebasan “sang kuli-tinta” di negeri SUN-RISE?

*J. MONTEIRO

Artikel ini adalah ringkasan penulis pada Mata Kuliah Hukum Komunikasi (Semerter III) dalam menanggapi kebebasan Pers di Timor Leste”.

Sikap UNPOL terhadap wartawan Jose Belo yang rilis oleh Suara Timor Lorosa’e (STL) adalah tindakan yang sangat menyayangkan. Kinerja dan kapalitas pihak UNPOL dalam memburu Salsinha dan rekan-rekannya dinilai melahirkan suatu kebablasan. Performance UNPOL ini secara tidak langsung akan menciptakan nuasa demokratis yang cacat di negara kita. Kebebasan Pers dan Media Massa merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang amat vital dalam menciptakan kehidupan bermasyarakat yang berbangsa, dan bernegara seperti yang diamanatkan dalam Pasal 41 UUD RDTL serta-merta dilanggar oleh UNPOL.

Landasan hukum dalam kebebasan pers dan media massa ini memberi ruang gerak kepada insan pers yang merupakan wahana komunikasi masa, penyebar informasi dan pembentuk opini, melaksanakan azas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun. Oleh karenanya, tindakan kecerobohan terhadap wartawan Jose Belo oleh UNPOL sendiri dinilai telah menyalahi asas universalitas pers dan ius constitum di negara kita. Sebab, beracu pada kemerdekaan fundamental pers maka secara absolute pers mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Selain itu dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di hadapan hukum, seorang wartwan juga memiliki hak tolak. Di mana, hak tolak ini merupakan salah satu hak dasar yang dipunyai wartawan untuk menolak mengungkapkan nama, identitas lainnya dari sumber berita harus dirahasiakannya. Dari semua ulasan ini, sikap wartawan Jose Belo dalam menjalankan tugasnya sebagai insan pers adalah masuk dalam tatanan kode etik jurnalistik. Dengan demikian pihak UNPOL sendiri dinilai ceroboh sehingga telah melanggar Konvensi Internasional HAM tentang kebebasan berekspresi.

Plus-minus Perkembangan Kebebasan Pers di Timor Leste

Kebebasan pers yang telah diciptakan oleh pemerintahan mantan PM Alkatiri pada beberapa tahun yang silam memang layak diacungi jempol. Terbukti pada tahun 2004, Timor Leste merupakan salah satu dari sekian banyak negara demokratis di dunia yang dinilai kebebasan persnya subur dan bagus. Faktanya, hasil pengkajian organisasi wartawan internasional, Reporter Tanpa Perbatasan (Reporters Sand Frontiers) menempatkan kebebasan pers Timor Leste pada ranking ke-113 dari 167 negara yang dipantau. Di kawasan ASIA Tenggara, Timor Leste sebagai negara yang menduduki posisi teratas dalam kebebasan pers dari 10 negara lainnya. Urutannya adalah Timor Leste, Thailand, Kamboja, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Laos, Vietnam, dan Myanmar (Brunai Darussalam tidak diteliti), (Kompas, 12 Desember 2004).

Posisi teratas Timor Leste dalam kebebasan pers pada tahun 2004 ini rupanya telah bobrok dan rapuh, sekalipun dalam tulisan ini tidak disertai data tentang kebebasan pers dalam beberapa tahun terakhir ini, namun penulis dengan objektif menilai bahwa kebebasan pers di Timor Leste saat ini sangat merosot ketimbang tiga tahun silam. Terbukti, krisis politik militer dan ekonomi nasional yang mencederai negara kita pada tahun 2006 yang penyelesaiannya masih terlihat buntu, juga turut membuat kebebasan pers terancam. Akibatnya, tidak bisa dipungkiri kalau insan pers di Timor Leste sering mengalami kekerasan fisik dan materil, hingga ujung-ujungnya muncul peneroran dari berbagai macam kelompok dan oknum yang tidak bertanggungjawab. Masih dalam ingatan penulis, pada krisis tahun 2006 lalu stasiun TVTL yang kini dinamai RTTL sempat diancam untuk dibakar oleh oknum tertentu. Saat itu, penulis bersama keluarga dan teman-teman mengungsi di Gereja Balide. Mendengar ancaman itu, pihak direksi RTTL langsung meminta FSI Australia untuk menjaga stasiun RTTL selama 24 jam. Selain kasus ancaman pembakaran terhadap Stasiun RTTL, beberapa bulan silam juga seorang wartawan mendapat penganiayaan dari oknum aparat Kepolisian yang semestinya tahu masalah penegakkan hukum (law enforment), bukan dengan tinju-meninju alias main hakim sendiri. Tentu sangat menghentak jiwa Timor Leste di kancah internasional, karena negara kita belum mapan untuk menciptkan kebebesan pers, sekalipun dalam hukum tertinggi (grundnorm) kita UUD RDTL sudah tertera jelas. Acap kali, dalam menjalankan tugas dan tanggugjawabnya, seorang pers harus mempetaruhkan nyawanya. Hal ini sering terjadi di negara-negara yang kebebasan persnya masih sangat lemah, seperti di Rusia, Afganistan, Irak dan lainnya di mana, sang kuli-tinta harus kehilangan nyawa karena menjunjung profesionalisme dan tanggungjawab.

Insan pers di Timor Leste sering dicaci-maki karena “unskilled

Hujatan dari bebagai kalangan entah politikus, swasta, organisasi dan kelompok kecil bahkan masyarakat sipil tertentu terhadap kinerja media yang kurang kompetitif dan professional banyak kali terjadi. Penyampaian gagasan dalam bentuk informasi yang kadang kala tidak menyeluruh, tidak seimbang kepada public inilah yang membuat banyak oknum melirik media sebagai insan provokotor dan acap kali azas praduga tak bersalah ditanggalkan. Padahal asas praduka tak bersalah adalah azas fundamental yang diikrarkan dalam kode etik jurnalistik. Dari berbagai alasan inilah yang membuat karya jurnalistik anak bangsa dinilai kurang menggigit dan bahkan ada yang menilai sangat tidak berkualitatif.

Sanksi Terhadap insan Pers Apabila Menyalahi Kode Etik Jurnalistik

Banyak orang menilai bahwa, pers sebenarnya harus menerima sanksi pidana yang berupa hukuman penjara apabila dalam menjalankan karya jurnalistisnya menyalahi kode etik jurnalitik. Semisal, pemberitaan palsu yang mencemarkan nama baik seseorang. Pemberitaan yang tidak akurat dan seimbang sehingga menimbulkan kerusuhan atau konflik. Untungnya, negara kita yang mewarisi KHUP Indonesia tidak menerapkan system hukuman pidana penjara kepada insan pers yang bersalah. Meskipun di Indonesia, apabila seorang insan pers yang menyalahi kode etik jurnalistik sering kali diberi sanksi dengan pidana penjara, sekalipun UU Pers Indonesia sendiri tidak menghendaki adanya pidana penjara. Sehingga di dini, sanksi administrative berupa denda dan permohonan maaf secara publisitas oleh media sudah dianggap paling berat.

Kesimpulan

Peranan pers dalam mewujudkan dan mempromosikan perkembangan demokratisasi sebuah negara di kancah internasional dari berbagai aspek pembangunan nasional adalah tindakan positif yang harus didukung oleh semua pihak, terutama pemerintah agar tetap dan terus berupaya melindungi pers dengan UU khusus (lex specialis). Sehingga kebebasan pers yang telah diikrarkan dalam hukum tertinggi kita (UUD) Pasal 41 tidak menjadi symbol dam panorama belaka.

Keterlibatan pemerintah dalam mengatasi kapabilitas dan kinerja jurnalistis sebagai fasilitator adalah sangat menentukan prospek kecerahan karya jurnalistik yang solid di masa mendatang. Pendidikan formil dan non-formil guna menambah wawasan dan daya nalar yang kuat dibidang jurnalistik dan komunikasi pada umumnnya adalah tindakan positif mutlak yang perlu dieksekusi oleh pemerintah sedini mungkin. Karena, jelas-jelas bahwa maioritas para insan pers di Timor Leste adalah mereka-mereka yang tidak berlatar belakang pada komunikasi, khususnya jurnalistis.

Media watch Timor Leste yang saat ini tengah berkarya diharapakan dapat membelah hak-hak para insan pers apabila dalam praktek karya jurnalistik mendapat cekalan dan kecaman dari oknum-oknum tertentu dengan alasan yang tidak jelas. Penyelesaiaan konflik antara media dengan pihak lain lewat jalur hukum adalah langkah tepat dan efektif bagi semua orang, karena negara kita adalah negara demokratis yang tidak membedakan status hukum seseorang di mata hukum. Oleh karenanya, keterlibatan media dalam mewujudkan demokratisasi hukum dengan azas equality before the law dapat menjadi barometer bagi semua masyarakat di tanah air kita.

DOZO ARIGATO GOZAIMASHITA. JA, NE!

*EAST TIMORESE STUDENT AT FACULTY OF LAW (4TH SMT)
NAROTAMA UNIVERSITY OF SURABAYA, INDONESIA

Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.