VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20080318

ADA KERIKIL TAJAM AUSTRALIA DI TIMOR LESTE

ADA KERIKIL TAJAM AUSTRALIA DI TIMOR LESTE; tinjauan sekilas dari sudut pandang hukum internasional

* Oleh: J. MONTEIRO

Kehadiran pemerintah Australia, lewat pasukan bersenjata yang dinamai ITERFET di Timor Leste pasca penentuan jajak pendapat (30/08/09) guna meradam koflik berdarah dan mengembalikan rasa takut dan percaya diri dari masyarakat TL pada saat itu adalah tindakan positif yang memang pantas diacungi jempol. Sejak saat itu pula, pemeritah Australia terus berupaya membantu rakyat TL secara moril dan materil hingga terkibarnyaS bendera RDTL pada tanggal 20 Mei 2002.

Setelah TL didaulat oleh hukum internasional dan dunia internasional sehingga berdiri sebagai sebuah negara RDTL, presensi pemerintah Australia tetap dan terus secara kontinyu diperlukan oleh pemerintah TL, karena alasan persolan nasional yang terus melatarbelakanginya, (krisis politik militer tahun 2006 yang terus bergulir, red). Panggung politik TL yang terus diwarnai dengan sikap arrogang dan tuding-menuding antara lider TL seolah membuat negeri Kangguru itu terus merasa berpeluang untuk mengincar harta kekayaan rakyat TL. Skrip skenario politik yang tak kunjung usai dieksekusi ini, terus membuat rakyat TL hidup melarat. Apalagi sikap angkuh dan suka main gertak sehari-hari oleh FSI Australia ini sudah menjadi buah bibir masyarakat kita, bahkan banyak pengamat menilai sikap Australia melalu FSI di TL sengaja dikondisikan oleh tentara dan pemerintah Australia sendiri. Pernyataan ini diperkuat dengan artikel yang tulis oleh Loro Horta, putra PR Horta yang kini tengah menjalani study program PhD di salah satu World Class University milik Singapura, Nanyang University. Tulisan sindiran terhadap arogansi tentara Australia yang dikuitp oleh ANTARA (15/02/08) itu berjudul "Aussies outstay their East Timor welcome" ("Australia tinggal lebih lama dari yang diizinkan Timor Leste").

Sekilas cerita dan fakta bahwa Australia telah mengincar kekayaan laut TL sudah sejak lama. Ketika Portugis keluar dari negeri Lorosa’e pada 1975 dan Indonesia mengintegrasikan negeri kita ke dalam keluarga NKRI sebagai provinsi ke-27, Dubes Australia di Jakarta Richard Woolcott mengirim telegram rahasia ke pemerintah pusat di Canberra. "Soal batas laut yang tertunda itu akan lebih bisa dirundingkan dengan Indonesia ketimbang dengan Portugal atau Timor Portugis yang merdeka," kata Richard seperti terungkap dalam Majalah Prancis, Le Monde Diplomatique, edisi Desember 2004 yang dikutip oleh ANTARA.

Hasrat dan peluang Australia untuk mengincar harta rakyat TL terus menggalak, bahkan seorang novelis, jornalis dan sutradara film documenter, Andre Vltchek pun beropini dengan mengatakan bahwa "Akan lebih gampang `mengibuli` negara kecil yang lemah daripada berhadapan dengan negara besar berpenduduk keempat terbanyak di dunia (Indonesia). dalam artikel yang berjudul "East Timor: Australia's Shame", (ANATARA/15/02/08).

Politik bermuka dua yang dipamerkan oleh Australia di atas panggug politik kita ini ternyata disadari oleh sebagian dari lider kita. Tidak tanggung-tanggung, pada April 2004, di depan peserta konferensi negara-negara donor untuk TL, PM Xanana Gusmao yang waktu itu masih menjabat sebagai PR mengeluhkan keadaan negara kita, di mana sekaligus membuat Australia seolah disambar petir. "Jika tetangga kami yang lebih besar dan lebih kuat itu terus mencuri uang kami yang justru diperlukan untuk membayar utang-utang Timor Leste, maka kami akan terkubur utang. Kami akan menjadi salah satu negara terperangkap utang di dunia," kata Xanana dalam Le Monde Diplomatique edisi Desember 2004, Pernyataan PM Xanana waktu itu sempat membuat Australia sewot, bahkan Downer menuduh PM Xanana memojokan dan merusak citra Australia di mata masyarakat internasional, (ANTARA/15/02/08).

Lebih dari itu, Xanana sempat kepikiran untuk menyeret traktat ini diselesaikan berdasarkan prinsip-prinsip dasar hukum internasional. Niat Xanana untuk mengajak Australia agar menggunakan jasa arbitrase internasional pada tahun 2006 lalu ternyata sudah terlambat, di mana Australia telah menghapus penyelesaian lewat arbitrase internasional sejak tahun 2002, ketika perjanjian lanjutan mengenai Timor Gap disepakati. Dari kilasan ini, nampaknya memberi symptom bahwa, Australia sudah berniat lama menelikung TL dengan menyiapkan perangkap-perangkap politik dan hukum untuk menjebak negara kita, termasuk membuat ekonomi dan politik TL menjadi kacau balau sehingga lider kita semakin tak percaya diri di meja perundingan. Pernyataan ini diperkuat dengan opini dari Tom Hylan, seorang editor masalah Internasional Koran, mengutip para pejabat PBB dan diplomat asing di negara kita; "Australia telah mengambil keuntungan dari buruknya posisi ekonomi dan strategis Timor Leste," (The Age, 20 Mei 2002).

CELAH TIMOR (TIMOR GAP)

Pada waktu pendudukan Indonesia atas TL, hasil kekayaan alam negeri kita diolah sepenuhnya oleh pemerintahan rezim Soeharto, termasuk Celah Timor. Perjanjian Celah Timor antara Indonesia-Australia dicapai setelah perundingan alot selama 10 tahun. Namun, sejalan dengan pencabutan kedaulatan Indonesia atas negara kita oleh PBB sesuai dengan Resolusi DK-PBB No. 1272/10/1999, kewenangan Indonesia atas TL sudah pupus atau habis. Begitu juga, perjanjian Celah Timor yang berlaku tahun 1991 juga kehilangan kekuatan hukum bagi Indonesia-Australia, terkait dikeluarkannya TAP MPR No.V/MPR/1999 oleh pemerintah Indonesia. Setelah Indonesia mengeluarkan TAP MPR No. V/MPR/1999 sudah pasti perjanjian Celah Timor yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Australia adalah batal demi hukum. Sejak saat itu, Pemerintah Australia mendesak agar lider TL meniadakan tuntutan perihal penentuan ulang batasan maritim yang sangat tidak menguntungkan TL sebagaimana tertera pada Timor Gap Treaty 1989. Persetujuan ini dicapai oleh rezim dictator militer di bawah Jenderal Soeharto dengan pemerintahan Partai Buruh Keating sebagai timbal-balik akan pengakuan resmi Australia atas pengambil-alihan kekuasaan Indonesia terhadap bangsa kita pada tahun 1975.

Atas desakan Canberra, mantan PM Alkatiri menandatangani suatu perjanjian baru Timor Sea Treaty dalam kurun waktu beberapa jam setelah dilantik, yang mempertahankan Perjanjian tahun 1989 akan zona pengembangan bersama, halmana mengalokasikan bagian terbesar dari kekayaan di dasar laut negeri Mata-hari terbit ke Australia. Bila zona pengembangan bersama ini diganti dengan suatu perbatasan yang didasarkan pada hukum international, bagian terbesar dari kekayaan dasar laut tersebut akan menjadi milik rakyat kita. Begitu tinta kering di atas nota perjanjian tersebut, Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer langsung terbang ke Jakarta untuk berbincang dengan para menteri Indonesia; halmana ia menyatakan bahwa “pemerintahan John Howard telah menyatakan kepada para pemimpin TL bahwa mereka tidak akan menegosiasi ulang perbatasan maritimnya”, (http://www.wsws.org/id/2002/mei2002).

LANDASAN HUKUM INTERNASIONL; United Nation Convention on the Law Sea (UNCLOS, 1982)

Pada tanggal 10 Desember 1982, di Montego Bay, Jamaica, didakan Konferensi pembahasan Konvensi PBB tentang Hukum Laut, masyarakat internasional berhasil merumuskan seperangkat hukum internasional yang mengatur kegiatan manusia di laut. Hukum internasional tersebut disebut Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nation Convention the Law Sea (UNCLOS).

Apabila kita berpatok pada UNCLOS berarti selama ini Australia telah menguras kekayaan kita di Celah Timor. Halmana, pada tahun 2002 ada sekelompok masyarakat dan NGO yang menantang kunjungannya Howard ke Dili dan mendesak agar pemerintah Australia berhenti mencuri harta kekayaan rakyat TL. Namun demikian Howard mengibas para demonstran waktu itu dan bersikukuh bahwa perjanjian yang mempertahankan Timor Sea Treaty tahun 1989 adalah sangat bagus dan sangat adil untuk rakyat TL (http://www.wsws.org/id/2002/mei2002). Pernyataan dia, yang secara umum dicetak tanpa kritikan oleh media Australia dan internasional, didasari pada keputusan pemerintahannya untuk membagi royalty pada zona eksplorasi bersama sebesar 90:10 atas keuntungan TL. Pembagian penghasilan ini, pertama kali diumumkan Juli tahun 2001, hanya ditawarkan jika pemerintah TL yang baru terbentuk belum lama waktu itu, meniadakan semua tuntutan berkenaan dengan teritori. Perjanjian zona bersama tahun 1989 yang dipertahankan oleh Camberra itu mencakup sebagian besar deposito minyak dan gas yang diketahui pada cengkungan benua antara Australia dan negara kita. Bilamana perbatasan digambar ulang berdasarkan asas titik-tengah (median line) sebagaimana dianut pada konvensi 1982 PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), salah satu cadangan gas yang terbesar, Bayu Undan, akan berada sepenuhnya dalam wilayah TL, memberi Dili royalti yang dapat mencapai US$4 milyard dalam kurun dua puluh tahun.

Lebih dari itu, bila asas titik-tengah (median line) ini diperpanjang ke arah timur dan ke barat, melampaui zona bersama, negara kita akan memperoleh keuntungan lebih besar. Berdasarkan pendapat hukum, TL berhak atas 80 persen dari deposito terbesar dikawasan ini, Greater Sunrise, dengan cadangan antara tiga sampai dengan tujuh kali lebih besar dari Bayu-Undan. Pada saat ini, hanya 20 persen dari Greater Sunrise berada dalam zona bersama, memberi TL hanya 18 persen dari royaltinya. Perbedaan ini senilai US$ 36 milyard dalam bentuk royalti antara tahun 2009 sampai dengan 2050. Selain itu, TL juga dapat menuntut proyek Laminaria-Corallina, yang lebih kecil, yang kini dianggap milik Australia. Proyek ini diperkirakan mengandung 200 juta barel minyak dan gas dan telah menghasilkan kira-kira US$ 300 juta per tahun untuk kas negara Australia (http://www.wsws.org).

Secara explisit, royalty hanyalah merupakan sebagian kecil dari gambaran keseluruhannya. Hampir semua penyulingan, distribusi dan jasa penunjangan proyek, mencakupi sebagian terbesar dari investasi, keuntungan, penghasilan perpajakan dan kesempatan pekerjaan, yang sekarang diarahkan untuk Australia bagian utara. Diantaranya adalah dua kilang pengelolah gas yang rencananya dibangun di Ibukota Northen Territory, Darwin, dan sebuah jalur pipa menghubungi Darwin dengan Australia bagian Selatan. Tiada satupun perusahaan minyak dunia yang melaksanakan proyek lepas-pantai berdasarkan Perjanjiaan 1989 yang sudah dipertahankan oleh Dili-Camberra yang beberapa tahun terakhir telah diusulkan pipe line (jalur pipa) di tarik TL, halmana berjarak lebih dekat dari letak cadangannya. Namun, berdasarkan pendapat para ahli geologi, hal ini kini secara teknis dapat dilaksanakan, walau adanya palungan bawah laut yang dalam di lepas pantai Timor. Harapan pengolahan hilir di TL ini dapat menciptakan lapangan kerja untuk sebagian dari masyarakat TL yang menganggur, dan kini hidup dalam iklim kemelaratan.

Melampaui permasalahan royalty, perpajakan dan investasi, cadangan celah Timor dianggap oleh Canberra sebagai suatu permasalahan strategis kritis, yang bisa berimplikasi pada pengadaan energi dan penghasilan ekspor. Sehingga kunjugannya mantan PM Alexander Downer ke Indonesia secara tegas mengutarakan salah satu keprihatinan Australia; bila perbatasan dengan negara kita ditetapkan berdasarkan tatacara UNCLOS, bisa saja Indonesia dapat meminta penentuan ulang perbatasan yang sama tidak menguntungkannya. Downer menyatakan kemungkinan ini sebagai “malapetaka” dan “suatu permasalahan yang sangat amat besar” untuk Australia, (http://www.wsws.org).

Dengan alasan ini, Australia lewat Downer menyampingkan kemungkinan negosiasi ulang perbatasan dengan TL dan juga terus meminta kepastian dari para menteri Indonesia untuk tidak memasalahkan kembali perihal perbatasan ini. Pada hal secara fakta hubungan trilateral TL-Indonesia-Australia yang dibahas dalam suatu ajang pertemuan di Jakarta pada tanggal 25 July 2006 itu sampai saat ini belum tuntas, dan harus dikaji ulang kembali. Apabila penentuan geografis ini secara tegas menggunakan hukum laut internasional (UNCLOS) dan pihak Jakarta terus menggertak Canberra, tentu akan memberi peluang bagi TL untuk mendapat hak sepenuhnya dari ladang minyak di celah Timor Gap yang saat ini sebagian diklaim oleh Australia sebagai miliknya.

SEBUAH TANTANGAN BESAR BAGI PEMERINTAHAN AKTUAL DAN PEMERINTAHAN BERIKUTNYA.

Keangkuhan politik yang dimiliki oleh Canberra dan terus menyiasati berbagai langkah manufer politik guna menguras kekayaan laut TL, diharapkan dapat ditanggapi oleh pemerintah TL sedini mungkin sehingga harapan dan cita-cita rakyat TL untuk menikmati kekayaan alamnya menuju hidup yang makmur, nyaman, aman dan tenteram selayaknya seperti warga negara yang hidup berbangsa dan bernegara dapat terwujud. Sekiranya, setelah krisisi politik ini ditemui rundingan akhirnya, pemerintah dapat membuka suatu lembaran politik diplomatik yang baru dengan Australia, guna membahas berbagai isu-isu yang berkaitan dengan pembangunan politik ekonomi TL menuju negara yang benar-benar menganut asas demokratis dan berdasarkan prinsip-prinsip dasar hukum diplomatik kedua negara dalam ranah hukum internasional.

Pemerintah dan rakyat, melaui NGO terkait harus tetap berpegang teguh pada prinsipnya soal "median line" dan tidak boleh terjebak dengan bujuk-rayuan Australia soal pengolahan dan pembagian hasil bersama. Namun apabila, suatu saat pemerintah dan rakyat TL akhirnya menerima tawaran Australia dan mengabaikan prinsip-prinsip hukum internasional maka tindakan tersebut sama halnya dengan memikirkan kepentingan individual dan melanggar hukum internasional.

TL memiliki hak untuk area bagian timur dan barat atas zona kerja sama pada Timor Gap, oleh karena itu kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di tiga lapangan minyak seperti Laminaria, Coralina, dan Buffalo yang dilakukan secara diam-diam oleh Australia pada tahun 1999 dimana telah mengumpulkan penghasilan sekitar US$ 1,5 miliar ke kas negara Australia harus dimintakan kembali. Langkah pencurian yang dilakukan oleh pemerintah Australia ditantang oleh masyarakat Australia dan sejumlah partai politik lain di Australia, oleh karenanya pemerintah dan masyarakat melalui Lembaga Swadaya Masyarakat atau NGO terkait harus terus menuntut supaya Australia kembali pada pengadilan internasional (World Court) untuk masalah perairan dan kelautan. Kita berharap agar pemerintah tidak lagi melakukan perjanjian-perjaian lebih lanjut terkait dengan celah Timor sebelum ditentukannya batas laut permanen.

Pemerintah dan masyarakat-NGO terkait harus terus meneriakkan permasalahan ini dan terus berupaya untuk meminta bantuan masyarakat internasional dan badan-badan internasional terkait yang menentang pelanggaran HAM. Karena perlakuan dan sikap pemerintah Australia ini dinilai telah melanggar hak-hak asasinya rakyat TL, konvensi dan traktat internasional lainnya.

* Mahasiswa Fakultas Hukum (semester IV)
Universitas Narotama Surabaya, Indonesia

Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.