SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PROSES
PEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI DI
TIMOR LESTE DI TINJAU DARI YURIDIS NORMATIF BERDASARKAN PASAL TERTENTU
DARI DEKRETO LEI No. 13/2005 DAN KONVENSI KORUPSI
INTERNASIONAL
EMILIO F. QUINTAS
Secara umum Hukum Acara Pidana Timor Leste atau
hukum formilnya (Kodigu Prosesu Penal)
tidak mengenal adanya asas Pembuktian Terbalik/pembalikan
beban pembuktian, karena dianggap bertentangan dengan Prinsip atau Asas
Praduga Tidak Bersalah, karena dalam pasal 34 ayat 1 dari Konstitusi RDTL sangat menjunjung tinggi prinsip ini. Selain itu,
apabila di kaji lebih detail teori pembuktian terbalik akan bertentangan dengan
Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya implementasi terhadap ketentuan hukum acara
pidana. Pada ketentuan Kodigu Prosesu
Penal Timor Leste, pasal 114 ayat 1, bahwa
terdakwa tidak di bebani pembuktian, dan pasal 67 ayat 1 huruf I
dari Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, pasal 11 ayat 1 dari Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia. Semua norma hukum intenasional menyebutkan bahwa terdakwa
tidak pernah dibebankan untuk membuktikan kesalahannya, bahkan tidak pernah
diwajibkan untuk mempersalahkan dirinya sendiri. Lebih jauh lagi terdakwa
mempunyai hak untuk diam dalam proses penyidikan maupun sidang di pengadilan.
Hal diatur juga dalam Kodigu Prosesu
Penal Timor Leste, pada pasal 60 (alinea c).
Karena hal ini merupakan bagian dari
prinsip perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia yang tidak dapat
dikurangi sedikit apapun dan dengan alasan apapun juga.
Sebagaimana telah
jelaskan diatas, bahwa teori pembuktian terbalik relatif tidak dapat
diperlakukan terhadap kesalahan pelaku karena akan mengakibatkan pergeseran
pada Asas Praduga Tidak Bersalah menjadi asas bersalah. Karena pada dasarnya,
system hukum formil di Timor Leste, beban untuk
membuktikan ada atau tidaknya pidana terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Hal ini
sebagaimana tersirat dalam Pasal 114 nomor 1 dari Kodigu Prosesu Penal(“KPP”),
bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Dalam penjelasan Pasal 114 nomor 1 dari KPP, dikatakan bahwa ketentuan ini adalah
penjelmaan asas “praduga tak bersalah”.
Akan tetapi melalui tulisan singkat ini,
penulis mencoba melalukan pendekatan yuridis normatif berdasarkan Konvensi PBB
menentang Korupsi atau UNCAC 2003,
yang telah diratifikasi oleh Negara Timor Leste pada tahun 2008. Hal ini
berhubungan dengan pasal 9 dari Konstitusi
RDTL, yang berbunyi bahwa dalam system hukum Timor Leste mengadopsi
prinsip-prinsip hukum intenasional yang telah di ratifikasi dan di umumkan di
Jurnal Republik dianggap telah menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat
bagi siapa saja, karena normanya telah mempunyai kekuatan hukum secara yuridis. Norma pasal 9 dari Konstitusi bila di kaitkan dengan pasal 23 dari Konstitusi RDTL, berbunyi
bahwa setiap interpretasi harus sejiwa dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Kemudian pada Pasal 9 dan pasal 23 dari Konstitusi RDTL,
bila dihubungan atau dikaitkan dengan Konvensi
PBB atau UNCAC tahun 2003, yaitu pada pasal
31 ayat 8 yang berbunyi sebagai berikut : “Negara pihak mempertimbangkan kemungkinan untuk mewajibkan pelaku untuk
menunjukkan kesyahan asal-usul dari apa yang diduga sebagai hasil kejahatan
atau kekayaan lain yang dikenakan perampasan, sepanjang kewajiban tersebut
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya dan dengan proses
pengadilan dan proses lainnya”. Ini menunjukkan bahwa asas pembuktian
terbalik bisa di implementasikan pada proses peradilan pidana pada kasus tindak
pidana korupsi. Karena kejahatan tindak pidana korupsi termasuk Estra ordinary
Crime maka penanganan kasus korupsi pun harus dengan cara atu tindakan hukum
yang khusus. Akil merupakan seorang pakar hokum pidana menjelaskan bahwa, dalam hal adanya sifat
kekhususan yang sangat mendesak, beban pembuktian itu dapat diletakkan tidak
lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa. Akil kemudian mengutip pendapat Paul C. Giannelli dalam
bukunya yang berjudul Understanding Evidence (hal. 43), yang menyatakan
bahwa beban pembuktian dialokasikan atas dasar 3P, yaitu Policy, Possession
of Evidence, dan Probabilities (Kebijakan, Penguasaan bukti, dan
Probabilitas). Convenience kadang ditambahkan sebagai faktor ke empat.
Lebih lanjut Akil menulis:
“Possession of evidence (penguasaan bukti) merujuk kepada lebih
besarnya akses salah satu pihak atas informasi. Konsep ini diilustrasikan oleh
pembelaan-pembelaan yang dinyatakan (affirmative defenses) seperti
self-defense (bela diri) dan insanity (ketidakwarasan). Dalam kedua situasi
tersebut, terdakwa adalah dalam suatu kedudukan yang lebih baik untuk tampil ke
depan dengan alat bukti oleh karena akses superiornya untuk membuktikan,
contohnya penguasaan barang bukti.
“Probabilities (Probabilitas) yang artinya suatu estimasi kasar
mengenai bagaimana karakteristik tentang sesuatu hal itu di dunia ini, sebagai
contoh adalah bahwa “kebanyakan orang adalah waras, tidak gila.” Sebagai
tambahan, alasan-alasan kebijakan (policy) kerap mendasari alokasi beban
pembuktian.”
Akan tetapi langkah-langkah yang telahakan
diambil Pemerintah sejauh ini dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi
masih berjalan setengah hati. salah satu hal penting yang menurut penulis belum
di jadikan acuan dalam proses peradilan kasus korupsi sejauh ini adalahpengimplementasian
norma dari UNCAC 2003, di peradilan
Timor Leste khususnya dalam kasus korupsi sebagai wujud dari definisi pasal 9
Konstitusi RDTL tentang penerimaan dan pemberlakuan norma dan atau prinsip
hukum internasional sebagai hukum positif dalam sistem hukum nasional.
Karena
secara tegas ketentuan pasal 31 ayat 8
dari UNCAC 2003 hanya mengatur pembalikan beban pembuktian untuk mewajibkan
seseorang pelanggar menerangkan asal-usul sumber yang sah atas hasil yang di
duga berasal dari tindak pidana korupsi dan dapat juga dilakukan tindakan
penyitaan. Tegasnya pembuktian terbalik dapat mungkin dilakukan terhadap
asal-usul kepemilikan harta pelaku yang di duga kuat berasal dari tindak pidana
korupsi. Aspek dan dimensi inilah yang merupakan kekhasan dari UNCAC 2003 yang
relative tidak dikenal atau belum di atur dalam ketentuan hukum di Timor Leste
untuk bisa mewujudkan pemberantasan korupsi. Sehingga melalui tulisan singkat
dan simples ini, penulis mengharapkan agar proses pemberantasan tindak pidana
korupsi, harus menjadi moviment nasional, bukan hanya tanggung jawab Komisi
Anti Korupi.
Bila
ketentuan dari pasal 31 ayat 8 dari
UNCAC 2003, Pengadilan Timor Leste tidak mengimplementasikannya dalam
proses persidangan terhadap kasus tindak pidana korupsi, maka para koruptor
akan tetap tidak jera terhadap perbuatannya, bahkan semakin lihai dalam
mengelabuhi hukum yang dalam parktek pelaksanaanya lemah. Di samping itu uang
atau materi hasil dari tindakan korupsi
akan tetap menjadi haknya, walaupun kekayaan itu adalah dari hasil kejahatan.
Menurut
hemat penulis, jika pengaturan mengenai pembalikan beban pembuktian sebagaimana
di atur dalam UNCAC, di implementasikan atau di gunakan dalam praktek peradilan
khusunya dalam kasus korupsi, maka kemampuan untuk membuktikan seseorang
melakukan tindak pidana korupsi semakin memperoleh tempat yang baik, dalam arti
memberi kesempatan yang luas dan mudah untuk membuktikan kekayaan seseorang yang diduga dihasilkan
dari tindak pidana korrupsi.
Staff
Pengajar pada Fakultas Hukum Univ. Dili
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.