Artikel di bawah ini pertama kali saya publikasikan pada tanggal 6 Desember 2011, dalam rangka memperingati peristiwa monumental (Serangan resmi Indonesia atas wilayah Timor Leste pada 7 Desember 1975).
Saya sengaja memunculkan kembali artikel ini, karena diminta oleh salah satu teman terbaikku (salah satu Tokoh Pendiri RENETIL). Mudah-mudahan artikel ini bermanfaat. Terima-kasih. TUHAN YESUS memberkati kita semua. Amin.
MADIUN & SEJARAH TIMOR LESTE. “ALLAH dimanakah Engkau berada pada Minggu, tanggal 7 Desember 1975?”
By Rama Cristo
Pada suatu hari, di pertengahan bulan Mei 1996, setelah selesai mengikuti Pembekalan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Kampus Pusat Denpasar, waktu itu saya dapat lokasi KKN di Batur, saya bermaksud datang menghadap Rektor UNUD di Kampus Bukit Jimbaran. Saat sedang menunggu giliran masuk ke ruang kerja Rektor UNUD, datanglah seorang pria paruh baya, yang penampilannya masih rada gagah walau terlihat Beliau sudah cukup berumur. Ada kesan Beliau adalah seorang Anggota Militer walau mungkin sudah Purnawirawan. Ini hanya naluriku. Tapi biasanya naluriku tidak keliru.
Beliau kemudian duduk di sampingku sambil meletakkan sebuah map kuning yang dibawanya di atas meja kecil di hadapan kami berdua. Saya tidak berusaha untuk menatapnya. Karena saat Beliau dari jauh saya udah sempat mengamatinya sekilas. Tapi dari ekor mataku, saya dapat mengetahui kalau Beliau berusaha untuk mencoba menyapa saya, setelah melihat penampilan fisikku. Tapi mungkin karena saya bersikap acuh tak acuh saat itu, bahkan terkesan cuek dengan kehadirannya, sepertinya niatnya untuk menyapa saya diurungkan.
Tapi kemudian saya merasa tidak enak. Kasihan, ini orang tua. Siapa tahu dia ingin mengenal saya dan mengajak saya ngobrol ngalor ngidul sambil menunggu giliran masuk menghadap Rektor.
Maka saya menoleh menatapnya sebentar sambil memasang mimik bersahabat. Beliau kemudian menoleh ke arah saya dan bertanya; "Adik dari mana?" Saya lalu menjawab; "Saya dari Kampus Pusat mau menghadap Rektor". Beliau kemudian menimpali; "Bukan itu maksud saya. Adik asli mana? Orang Bali atau bukan?"
"Ooh ituu...saya bukan asli Bali. Saya asli Tim-Tim, yang kebetulan kuliah di UNUD", jawab saya. Saat itu saya menggunakan frasa Tim-Tim (bukan Timor Leste), karena saat dialog ini terjadi, Tim-Tim masih merupakan bagian integral dari wilayah NKRI berdasarkan "Deklarasi Balibo, 30 November 1975" lalu ditambah dengan Integrasi 17 Juli 1976, yang kemudian status hukumnya dinaikkan menjadi Tap MPR no VII/1978".
Kemudian Beliau memperkenalkan diri sambil menyebutkan namanya sekaligus tidak ketinggalan menyebutkan asalnya dari salah satu Kabupaten di Bali. Dan saya mengulurkan tanganku berjabatan tangan dengan Beliau sambil menyebutkan nama saya. Beliau mencoba mengeja nama saya, walau terdengar agak blepotan. Maklum nama warisan Bangsa Eropa (Portugis), yang rada sulit jika dieja menggunakan lidah Bangsa Asia termasuk lidah Bangsa Melayau (Indonesia).
Beliau kemudian bercerita; "Saya mau menghadap Pak PR II (Pembantu Rektor Bidang Keuangan)". Saya kemudian menimpali; "Oh gitu, saya kira Bapak mau menghadap Rektor. Kalau saya mau menghadap Rektor".
Suasana hening sebentar. Tak berselang lama Beliau kembali bersuara; "Maaf dik, saya mau sedikit bercerita, mumpung kita ketemu di sini. Kita bisa ngobrol sebentar". Saya menyahut; "Gak apa-apa Pak. Silahkan saja".
"Saya pernah lama bertugas di Tim-Tim sebagai Anggota KOPASUS". Mendengar Beliau menyebut kata KOPASSUS (Komando Pasukan Khusus), yang muncul di bayangan saya adalah Pasukan TNI/Tentara Nasional Indonesia gagah berani dengan simbol berupa: Baret Merah yang merupakan salah satu Pasukan Elit Indonesia.
Saya yang tadinya sedikit acuh mulai menaruh perhatian serius. Saya mulai memperbaiki cara duduk saya. Beliau kemudian meneruskan; "Saya mau menghadap Pak PR II sebagai Veteran Perang Tim-Tim, untuk menagih janji negara" (Beliau tidak menggunakan kata-kata: "Janji Pemerintah").
Saya kemudian bertanya dengan sangat hati-hati karena khawatir jangan sampai salah ngomong atau ngomongnya tidak salah tapi nadanya lain bisa menyinggung perasaan Beliau (masalahnya ini adalah KOPASSUS, salah-salah kepala saya bisa melayang).
"Maaf Pak, kalau boleh tahu, Bapak mau menagih janji apa itu Pak?" Mendengar pertanyaan saya, Beliau tidak langsung menjawab. Beliau kemudian merogoh sakunya, mengeluarkan sebungkus rokok Gudang Garam dan dengan tenang mengeluarkan sebatang kemudian ditempatkan di jepitan bibirnya, lalu menyalakan korek dan menyulut rokok itu kemudian mengisapnya dalam-dalam lalu mengepulkan asap dari kedua lubang hidungnya sambil menatap jauh dengan pandangan kosong tanpa bersuara.
Saya mulai merasa tidak nyaman. Suasana Kampus Bukit Jimbaran di pagi hari yang sejuk tiba-tiba gerah rasanya. Dalam hati saya bertanya-tanya; "Apa ada yang salah sari pertanyaan saya tadi?. Apakah Beliau tersinggung dengan pertanyaan saya?" Berbagai pertanyaan bermunculan di benak saya.
Tidak berselang lama, saya mendengar gigi-gigi geraham Beliau gemertak. Saya tidak berani menatapnya. Saya hanya mencoba melirik sekilas dan menemukan bagian rahangnya terlihat jelas bahwa gigi-geligi gerahamnya sedang menunjukkan bahwa Beliau sedang geram menahan amarah luar biasa. Hanya saja saat itu saya tidak tahu, Beliau marah kepada siapa?
Saat itu ingin rasanya saya segera berdiri dan menjauhi Beliau. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Tubuhku terasa kaku. Untung saja, tiba-tiba Beliau menatap ke arah saya dan bersuara penuh kebapaan tanpa terdengar nada amarah; "Maaf dik, sulit rasanya untuk harus menjawab pertanyaan adik tadi. Apalagi jika harus membayangkan teman-teman seprjuangan yang gugur di Tim-Tim". Saat mengucapkan kata-kata itu, mata Beliau terlihat merah seakan-akan Beliau sedang berusaha keras menahan gejolak emosi yang akan meledak.
Saya tidak berani menatap ke arah Beliau. Setelah agak tenang, mungkin karena sudah bisa menguasai diri kembali, mulailah dengan lancar Beliau bercerita;
"Saya adalah salah satu saksi sejarah yang masih hidup. Pada Hari Senin, tanggal 8 Desember 1975, pagi-pagi buta, saya dan ratusan rekan saya sesama Anggota KOPASSUS TNI diangkut dengan pesawat dari MADIUN".
Beliau diam sebentar. Saya tidak berusaha memberikan komentar, tapi hanya pasang mimik serius menunjukkan bahwa saya tertarik mendengar kisahnya yang begitu trenyuh dan memilukan. Beliau menarik nafas panjang kemudian meneruskan;
"Saat itu kami semua tidak satupun tahu akan dibawa kemana. Tapi karena status kami adalah militer, yang sudah berkomitmen sebagai Prajurit yang harus siap sedia setiap saat dalam berbagai situasi untuk membela kepentingan bangsa dan negara, maka kami berusaha untuk tunduk pada perintah yang datang tiba-tiba di pagi buta".
Setelah mengisap rokonya dalam-dalam dan menghembuskan asap keluar, Beliau meneruskan; "Sesudah pesawat mengudara sangat tinggi, dari sebuah tape recorder, tiba-tiba terdengar suara "Jenderal TS" (saya sengaja mengedit nama Jenderal TNI yang Beliau sebutkan).
"Jenderal itu berpidato dengan nada berapi-api; Saudara-saudaraku Prajurit TNI yang saya banggakan. Hari ini, saudara-saudara akan mengemban tugas mulia untuk membela kepentingan bangsa dan negara Indonesia kita tercinta. Negara sangat membutuhkan kerelaan saudara-saudara untuk mengemban misi mulia ini.
Seandainya sesuatu terjadi atas diri saudara, maka negara akan mengambil alih seluruh tanggung-jawab terhadap anak isteri saudara yang ditinggalkan. Negara akan menyekolahkan anak-anak saudara hingga menjadi seorang Sarjana".
Beliau lalu meneruskan; "Kami tidak tahu kalau hari itu kami akan diterjunkan di Tim-Tim. Setelah pesawat yang membawa kami meninggalkan MADIUN, mungkin sudah berada di area udara Tim-Tim, baru ada pengumuman dari Komandan dalam pesawat bahwa kami harus siap menerima segala resiko sebagai seorang Prajurit. Kami akan diterjunkan di kota Baucau (baca: baukau/kota terbesar kedua setelah kota Dili).
Beliau kemudian meneruskan; "Saat terjun dari atas udara kota Baucau, suasana masih gelap gulita. Kami tidak bisa melihat bentuk medan seperti apa yang ada di bawah? Pokoknya asal melompat keluar dari pesawat dan menyerahkan nasib sepenuhnya ke tangan TUHAN. Saya mencoba berdoa dalam hati, semoga selamat tiba di bawah dan suatu saat saya masih hidup guna mewariskan cerita mengerikan dan memilukan ini untuk anak cucu saya".
Hari itu, Senin 8 Desember 1975, benar-benar Desember yang sangat kelabu bagi kami. Kami yang diterjunkan di kota Baucau benar-benar berubah menjadi sate kambing. Di bawah sana, Pasukan perlwanan FRETILIN telah memasang berbagai perangkap, di antaranya berupa bambu runcing, karena sehari sebelumnya, Minggu, 7 Desember 1975, sejumlah Anggota KOPASSUS TNI yang diangkut dari MADIUN telah diterjunkan di Kota Dili, dan banyak dari mereka yang telah tewas".
Beliau meneruskan; "Dan pada hari kedua, Senin, tanggal 8 Desember 1975, saat giliran kami diterjunkan di kota Baucau, rupanya di sana telah dipasang sejumlah perangkap. Ratusan Pasukan KOPASSUS yang diterjunkan hari itu, hampir semuanya tewas, hanya tersisa 8 orang yang selamat, termasuk saya".
"Begitu kakiku menyentuh tanah, dari kegelapan malam, saya mendengar teriakan-teriakan memilukan dari rekan-rekanku menggema dari berbagai sudut kota Baucau. Tapi saat itu, siapa yang mau menolong siapa? Setiap orang sibuk menyelamatkan diri sendiri".
Setelah mengucapkan kata-kata di atas, Beliau tidak bisa mengusai dirinya. Air mata Beliau menetes perlahan kemudian mengalir bagaikan anak sungai. Saat itu saya benar-benar merasa trenyuh. Rasanya saya juga ingin menangis. Hati kecil saya tersentuh dengan kisah Beliau. Saya berusaha untuk mengalihkan pandanganku ke tempat lain. Karena tidak kuat menatap seorang mantan Anggota KOPASSUS TNI menangis pilu di depanku.
Facebookers yang dimuliakan ALLAH....!
Jika Anda ingin mengetahui lanjutan kisah mantan Anggota KOPASSUS ini, pada tanggal 7 Desember 2011, setelah pukul 19.00 Waktu Denpasar, silahkan mengunjungi facebook saya. Saya akan meng-upload sebuah artikel berseri dengan judul; "KUTEMUKAN KEHENDAK ALLAH ANTARA MADIUN-DILI, dengan sub judul; "ALLAH, di manakah Engkau berada pada 7 Desember 1975?"
NB: Artikel ini diambil dari FaceBook Rama Cristo pada tanggal 17 September 2012
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.