Oleh: Filipus Pereira*
Tulisan ini tidak bermaksud untuk membentuk pencitraan, memfigurkan atau mengkultuskan seseorang, khususnya Lasama, tetapi lebih berorientasi pada sepak terjang pemikiran beliau sebagai seorang anak bangsa Timor-Leste yang dilahirkan dari sebuah kancah peperangan dengan membangun gerakan perlawanan hingga muncul menjadi sosok pemimpin yang memiliki orisinalitas pemikiran dalam membangun lahirnya demokratisasi di negara ini.
Menjadi seorang pemimpin bukanlah sesuatu yang mudah. Banyak pemimpin yang dilahirkan dan dibesarkan melalui sebuah proses guna menjawab tuntutan zaman. Tentunya kita pernah mendengar ada pemimpin yang dilahirkan dengan memiliki Kharisma spiritualitas semacam Nabi Musa hingga ke Tuhan Yesus Kristus sebagai anak manusia, pemimpin dengan kharisma politik dan peperangan semacam George Washington, Napoleon Bonaparte, Mahatma Gandhi, Sukarno, Hitler, Mandela dan lain sebagainya, adalah contoh dari pemimpin yang lahir dan dibesarkan oleh zamannya sendiri.
Sama halnya dengan kebesaran pemimpin dibelahan dunia lainnya, Timor-Leste pun memiliki catatan tersendiri dalam melahirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki kualitas dalam seni memimpin yang tidak kalah hebatnya. Sebut saja Dom Boaventura Raja Manufahi yang gagah berani melakukan perlawanan atas pendudukan Portugis di Timor-Leste, dan pemimpin lainnya pada era tahun 1975 semacam Francisco Xavier, Nicolau Lobato, Jose Ramos Horta, Marii Alkatiri serta pemimpin paling kharismatik dalam sejarah perjuangan bangsa maubere lepas dari Indonesia Kayrala Xanana. Sejarah kemerdekaan Timor-Leste pun tidak menutup mata lahirnya tokoh rohaniwan seperti Dom Martinho Lopes dan Dom Carlos Ximenes yang turut pula memberikan kontribusi yang besar bagi kemerdekaan.
Sejarah pun mencatat bagaimana keterlibatan generasi muda dalam proses pembebasan bangsa. Kita membayangkan anatomi tubuh manusia, maka kepala/otak adalah CNRM-CNRT, jantungnya FALINTIL dan Pemuda Timor-Leste merupakan kaki tangannya. Singkat kata kita katakan bahwa gerakan yang dibangun oleh pemuda merupakan wujud konkretisasi perintah dari COMANDO DA LUTA, yang pada akhirnya para pemuda ini membangun wadah/organisasi untuk dapat mengkonsolidasikan perjuangan dan melebarkan sayap/jaringan hingga ke luar Timor-Leste. Misalnya di Timor-Leste ada OJETIL, OPJELATIL, FITUN, SAGRADA FAMILIA, sementara di luar (Indonesia) para pemuda mendirikan RENETIL. Organisasi-organisasi ini secara jelas memposisikan dirinya sebagai wadah perlawanan generasi muda Timor-Leste pada saat itu. Dari perspektif ini, jelaslah bahwa peran pemuda sangat sentral dalam membangun gerakan perlawanan. Mulai dari cara-cara pengorganisasian, mobilisasi dan mengkampanyekan isu-isu Timor-Leste serta membuka jaringan adalah merupakan langkah-langkah yang dilakukan untuk menarik simpati dunia, meskipun nyawa menjadi taruhannya.
Pemuda memang menemukan momen yang tepat dalam membangun organisasi perlawanan. Hal ini terlihat dari bagaimana pemuda pada waktu itu membangun gerakan yang bermula dari gerakan bawah tanah (klandestina) hingga pada perlawanan-perlawanan terbuka. Perjuangan dari generasi muda ini mencapai titik kulminasinya pada Insiden 12 November 1991.
Dari insiden ini, bisa kita gambarkan heroisme para pemuda yang menggelar demonstrasi terbuka menentang pendudukan Indonesia. Bersatu padunya pemuda pada masa itu, menggambarkan semangat nasionalisme dan patriotisme yang tinggi.
Pemuda Lasama; Politik Jalanan dan Penjara
Jika kita sedikit membuka catatan gerakan perlawanan mahasiswa Timor-Leste di Indonesia, maka dalam catatan itu akan ada sebuah nama yaitu Fernando de Araújo atau lebih dikenal melalui nama LASAMA. Ia merupakan seorang mahasiswa biasa pada salah satu perguruan tinggi di Denpasar, Bali. Lasama adalah salah satu dari sekian ribu mahasiswa Timor-Leste yang menempuh studi di Indonesia.
Sebagai seorang mahasiswa, tentunya focus utama adalah belajar guna meraih gelar kesarjanaan. Demikian pula Lasama, sebagai anak seorang petani, ia pun berharap dapat menyelesaikan pendidikan guna membanggakan kedua orang tuanya. Namun nasib berkata lain, Lasama dengan beberapa kawan mahasiswanya menyibukkan diri dalam wadah gerakan bawah tanah (klandestin) mahasiswa Timor-Leste melalui organisasi RENETIL (Resistençia Nacional dos Estudantes de Timor-Leste), dimana ia sendiri sebagai pendiri sekaligus menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (SEKJEN) pertama (Sekjen kedua Miguel “Sulis” Manetelu, Sekjen ketiga Jose “Samalarua” Neves).
Gerakan Renetil yang dibangun Lasama ini mulai menyebar ke berbagai daerah semacam Malang, Jember, Kediri, Surabaya, Madiun, Bandung dan Jakarta. Lasama menunjukan eksistensinya sebagai seorang pemimpin, dengan merangkul semua elemen mahasiswa Timor-Leste yang memiliki latar belakang social, ekonomi dan politik yang berbeda-beda. Organisasi Renetil yang ia bangun begitu kuat karena ditopang oleh SUMPAH DARAH atas nama Tuhan, bendera dan tulang belulang rakyat MAUBERE yang berjuang mempertaruhkan nyawanya bagi kemerdekaan.
Kegigihannya dalam perjuangan kemerdekaan serta membela mahasiswa Timor-Leste lainnya begitu kental. Terbukti ia mengorganisir sebuah demonstrasi besar pertama yang dilakukan oleh mahasiswa Timor-Leste di Jakarta, Indonesia pasca tragedi Santa Cruz 12 November 1991, tepatnya pada 19 November 1991. Lasama dan beberapa mahasiswa lainnya ditangkap dan dipenjarakan. Akhirnya pengadilan Indonesia menyatakan Lasama bersalah dan harus mendekam dipenjara selama 10 tahun, sementara mahasiswa Timor-Leste lainnya dibebaskan. Lasama dipenjarakan di LP Cipinang Jakarta, bersama dengan pemimpin karismatik Kayrala Xanana. Disini jelas terlihat bagaimana Lasama menunjukan kebesaran hatinya sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Ia hanya mengatakan; "hau sei entrega hau nia ann ba libertasaun rai ida ne’e".
Dengan kebesaran jiwa ini, Lasama menunjukan sikap pengorbanan diri, ia menanggung semua resiko tanpa harus mengorbankan orang lain. Demi membela kawan-kawan mahasiswa, Lasama harus menyerahkan dirinya. Tak ada jalan lain baginya, kecuali tanah air atau mati, sesuai dengan ikrar Renetil: lebih baik kehilangan gelar daripada kehilangan tanah air (antes sem titulo do que sem patria). Lasama harus mendekam dipenjara, kehilangan gelar dan kehilangan masa depan, namun demikian bara api perjuangan tetap ia kobarkan meskipun berada dibalik jeruji.
Pasca tertangkapnya Lasama, gerakan bawah tanah tetap berjalan. Kontak-kontak dengan jaringan pro demokrasi Indonesia tetap dilakukan guna mendapatkan dukungan. Intensitas aksi menentang pemerintah Jakarta pada waktu itu semakin ditingkatkan. Aksi jalanan tidak hanya dilakukan di Jakarta, tetapi mulai digerakan ditingkat daerah seperti di Malang, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya. Dari sudut ini bisa kita lihat bagaimana luasnya jaringan yang dibangun Lasama melalui pengurus Renetil di setiap UNER.
Puncak dari gerakan perlawanan mahasiswa Timor-Leste di Indonesia adalah pada saat dilakukannya demonstrasi besar yang melibatkan lebih dari 1.700 mahasiswa pada 12 Juni 1998 yang menuntut referendum. Aksi ini berlangsung di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Melalui aksi ini pula Renetil dan IMPETTU mulai melakukan gerakan mobilisasi besar-besaran pemulangan semua mahasiswa kembali ke Timor-Leste. Aksi mahasiswa Timor-Leste di Jakarta ini disambut dengan demonstrasi yang diorganisir oleh mahasiswa Timor-Leste di Dili. Demonstrasi ini menjadi pukulan telak bagi pemerintah Jakarta, apalagi aksi ini diorganisir oleh mahasiswa sendiri.
Lasama dan Sikap Politiknya
Berkecimpung dalam dunia politik sudah menjadi makanan harian buat seorang Lasama. Bagi Lasama dunia politik merupakan wujud lain sebagai wadah untuk mengabdikan diri kepada nusa dan bangsa. Terjunnya Lasama dalam dunia politik merupakan sebuah komitmen dan keputusan besar yang dibuatnya, mengingat dari dunia politik ini pula yang mengantarkan beliau “menikmati” dunia penjara saat berjuang dulu.
Sebagai orang yang berlatar-belakang pendidikan politik Fretilin, Lasama mendeklarasikan Renetil yang penuh dengan nuansa Fretilin. Konsep "LIBERTAÇÃO TOTAL E COMPLETA" yang digusung oleh Renetil memang terinspirasi dari Fretilin sebagai sebuah front revolusioner. Dengan sikap politiknya ini, sekali lagi Lasama menunjukkan kaliber dirinya sebagai seorang tokoh muda gerakan kemerdekaan yang mampu merangkul semua golongan pemuda dan mahasiswa Timor-Leste yang belajar di Indonesia.
Melalui strategi menasionalkan persoalan Timor-Leste di Indonesia sekaligus menginternasional persoalan ini ke dunia luas, Lasama dengan kekuatan Renetil membangun gerakan perlawanan atas rejim Soeharto bersama dengan kekuatan pro-demokrasi Indonesia. Dan melalui gerakan di Indonesia pula, dunia internasionalpun melihat betapa kelompok calon-calon intelektualpun berkeinginan untuk mewujudkan sebuah Timor-Leste yang merdeka. Sikap ini secara jelas menunjukan bahwa Lasama merupakan seorang pemimpin yang visioner dan pragmatis, meskipun berada dimulut harimau, ia tetap memainkan strategi politik yang brilian.
Kini pada era kemerdekaan, Lasama bisa berpolitik secara lebih leluasa.
Ia dipercayakan memimpin sebuah partai yang bernama Partido Democrático. Bagi Lasama, PD merepresentasikan “darah baru” atau orang-orang muda. PD merupakan sebuah partai baru yang dibentuk bulan Juni tahun 2001 pasca dibubarkannya CNRT. Partai ini berisikan orang-orang yang memiliki visi yang jelas bagi kemerdekaan Timor-Leste.
Tokoh-tokoh veteran perang semacam Ernesto “Dudu”, Paulo Assis, Eteuco, Alm.Fitun, Maubere, Duarte Viana, Buras, Metamali, Constancio “Terus” Pinto, Lucas “Ramametan” da Costa, dan lain-lainnya merupakan pendukung utama kuatnya PD sebagai kekuatan baru. Selain dari tokoh veteran, PD pun didukung oleh tokoh muda semacam Mariano “Assanami”, Francisco “Borlaco”, Adriano Nascimento, Antonio Conceicao, dan lain-lain.
Di bawah komando Lasama, PD mampu menjadi partai “kuda hitam” yang diincar oleh partai besar lainnya. Dari sudut pandang ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa Lasama telah membawa perubahan bagi tumbuhnya proses demokratisasi di Timor-Leste. Dengan sikapnya yang akomodatif dan selalu berpihak pada kebenaran dalam tindakan politiknya, Lasama dan kendaraan politiknya telah menjadi sandaran aspirasi generasi muda yang menginginkan adanya perubahan dalam konfigurasi politik di Timor-Leste.
Lahirnya Negarawan Muda
Munculnya berbagai macam partai politik di Timor-Leste, memang membawa angin segar dalam menyemarakan demokrasi. Partai politik bukan hanya sebagai kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan, tetapi lebih dari pada itu, partai politik harus menjadi wadah pendidikan politik bagi pengikutnya. Oleh karena itu, sebagai seorang pemimpin partai, Lasama selalu mengedepankan penting memberikan pencerahan politik kepada kader partainya.
Melalui pembawaannya yang low profile dalam balutan kesederhanaan serta selalu berpolitik atas dasar CINTA.."PD hakarak halo politiku ho domin"..ini merupakan kalimat yang selalu Lasama ucapkan dalam setiap sambutan politiknya di berbagai kesempatan. Hal ini merupakan cerminan dari keprihatinan Lasama mengingat Timor-Leste penuh dengan kekerasan baik dalam keseharian kehidupan warganya maupun dalam percaturan politiknya. Untuk itu Lasama selalu menyampaikan pesan-pesan perdamaian sebagai syarat utama bagi orang Timor-Leste (Timor-oan) untuk tumbuh dan berkembang serta memiliki kebanggaan dan kecintaan atas tanah airnya.
Sikap kecintaannya pada tanah air dan kedewasaanya dalam berpolitik tidak hanya ia buktikan dengan kata-kata, tetapi pula diwujudkan dalam tindakannya. Sikap ini terbukti ketika ia terpilih menjadi Presiden Parlamen Nasional, yang ia tunjukan dalam seni memimpinnya. Presiden Parlamen Lasama dalam memimpin sidang selalu akomodatif, mendengarkan dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh semua fraksi di parlamen. Ia selalu menempatkan dirinya sebagai figur sentral yang disegani baik oleh fraksi pendukung pemerintah maupun yang oposisi dalam membela kepentingan rakyat.
Kepemimpinan Lasama kembali diuji pasca peristiwa penembakan Presiden Republik pada 11 Februari 2008. Saat itu ia di serahi tugas untuk memimpin RDTL. Lasama menjadi Presiden Republik interim selama 3 bulan lebih. Dalam kurun waktu yang singkat ini, Lasama diberi tugas yang berat yaitu mengendalikan stabilitas dan keamanan negara. Presiden Republik Interim Lasama dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara rasa kemanusian dan tugas kenegaraan, ketika harus menangkap kelompok Gastao Salsinha.
Dalam situasi yang sulit ini, Lasama lebih memilih mematikan perasaan kemanusiannya, dan menomorsatukan kepentingan negara dengan memutuskan adanya operação conjunta antara PNTL dan F-FDTL. Operasi penangkapan Gastao Salsinha Cs ini dilakukan di distrik Ermera yang mana menjadi basis PD. Tetapi apa mau dikata, keputusan harus tetap diambil demi kepentingan negara, meskipun mengorbankan diri sendiri. Bagi Lasama ini merupakan pilihan yang berat. Tapi toh, tugas ini dapat ia selesaikan.
Sebelum dan sesudah memutuskan operasi bersama ini, Lasama mengunjungi berbagai distrik dalam rangka menjelaskan dan menyakinkan tujuan dari operasi ini. Pada akhirnya rakyat bisa menerima dan membantu melancarkan operasi ini. Sikap mendahulukan rakyat menjadi pegangan hidup bagi Lasama, mengingat rakyat adalah pemilik sah dari kedaulatan bangsa yang dititipkan lewat pemimpin-pemimpinya.
Luasnya cara pandang Lasama dengan sikapnya yang akomodatif, korporatif dan santun dalam menyampaikan bahasa politik, menjadikannya sebagai seorang negarawan yang menjadi milik seluruh rakyat Timor-Leste. Lasama tidak lagi menjadi milik PD, tetapi ia ditakdirkan sebagai salah satu dari sekian ribu generasi muda Timor-Leste yang bisa tampil sejajar dengan generasi terdahulunya seperti Kayrala Xanana, Ramos Horta dan Mari’i Alkatiri. Lasama adalah pribadi yang unik, yang tumbuh dalam penderitaan, dan dibesarkan oleh rakyat Timor-Leste.***(HAPPY BIRTHDAY COMPANHERO)!
* Mantan aktivis gerakan perlawanan mahasiswa Timor-Leste
dan artikel diambil dari Harian Timor Post edisi Sabto (26/02/2011)!
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.