*). J. Monteiro (jmonteiro87@gmail.com)
Terbentuknya Komisi Anti Korupsi (KAK) pada beberapa bulan silam adalah bukti itikad baik masyarakat dan pemerintah Timor Leste guna membasmi tindak pidana korupsi yang merupakan penghalang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat suatu negara, termasuk Timor Leste. Masyarakat Timor Leste beserta komunitas internasional dari berbagai institusi keuangan internasional, lembaga-lembaga audit keuangan internasional dan badan pemerhati tindak pidana korupsi internasional seperti Transparansi Internasional (TI) dan badan-badan sejenisnya saat ini sedang menaru secercah harapan terhadap institusi KAK. Setelah lembaga independen yang saat ini dipimpin oleh Mr. Aderito de Jesus terbentuk, langkah dan strategi apa yang selanjutnya dilakukan guna mewujudkan karisma pemberantasan korupsi yang nyata, bukan semu. Ada beberapa rekomendasi dari penulis sebagai warga negara Timor Leste antara lain;
Bentuk UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
Setelah disahkannya Undang Undang KAK oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga KAK sebagaimana diwujudkan rohnya dalam suatu institusi di Timor Leste, maka sebisa mungkin dintidak lanjuti guna menciptkan suatu payung hukum sebagai pelengkap dan penyokong bagi KAK sebagai landasan hukum dalam meciptakan supremasi hukum yang komphensif dalam bidang pemberantasan korupsi. UU Tipikor ini nantinya akan memberikan ruang gerak dan perlindungan hukum terhadap para Hakim Tindak Pidana Korupsi di dalam proses persidangan pada semua tingkat peradilan di Timor Leste. UU Tipikor dibentuk dengan maksud tetap menjaga independensi, kejujuran dan kredibilitas dari para hakim dalam menangani perkara-perkara korupsi di pengadilan. Apabila DPR dan Presiden tidak segerah mempertimbangkan guna menciptakan UU Tipikor, maka tidak bukan tidak mungkin, jikalau semangat pemberantasan korupsi yang saat ini dikobar-kobarkan akan berakhir menjadi retorika di ujung lidah. Sangat berpotensi, kalau hakim-hakim yang sedang mengemba jabatan fungsional di semua lembaga peradilan akan bertindak semena-mena apa bila tidak ada UU Tipikor, dengan demikian traksaksi dan jual beli hukum justru menjadi santapan masyarakat di Timor Leste, ujung-ujungnya mafia kasus (markus) yang saat ini menjadi buah bibir dan trademark masyarakat Indonesia akan menjadi tumbuh subur kelak nanti di Timor Leste. Oleh sebab itu, para hakim yang nantinya mengadili semua perkara pidana korupsi harus direkrut dari hakim-hakim ad hoc, hanya dengan sistem dan strategi inilah transparensi dan fungsionalitas bisa berjalan sesuai dengan koridor hukum sebagaimana dicita-citakan oleh rakyat Timor Leste.
Punishment dan reward
Komisi Anti Korupsi memiliki wewenang dan tanggung jawab hukum dalam melakukan berbagai macam upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi. Wewenang hukum di sini adalah melakukan proses penyelidikan dan penyedikan, hingga perkara tersebut nantinya dilimpahkan ke kejaksaan untuk selanjutnya disidangkan di pengadilan. Pada tahap inilah kredibilitas dan independensi KAK benar-benar diuji. Setelah perekrerutan staff dan karyawan secara lembaga, langkah awal yang perlu dilakukan adalah kerjasama dan koordinasi bagi semua lembaga keuangan (baik negeri maupun swasta), baik itu berbentuk bank dan non-bank untuk segerah melakukan laporan dan verifikasi terhadap harta dan kekayaan para pejabat tinggi negara, anggota DPR, menteri dan pejabat setingkat menteri lainnya. Hal ini bermaksud agar proses pemberantasan korupsi benar-benar dijalankan sesuai dengan amanah UU KAK bersamaan dengan satu tekad serta keyakinan bahwa pembasmian virus korupsi harus dimulai dari lingkaran para birokrat. Dengan demikian punishment dan reward pun harus diawali dari pintu para pejabat yang saat ini menduduki posisi strategis di pemerintahan. Tak bisa dipungkiri, korupsi lazimnya tumbuh subur di lingkaran para direktur, kepala bagian dan atau/sektaris. Korupsi boleh saja terjadi dilingkungan karywan atau staff rendahan, namun korupsi ini biasanya tergolong korupsi recehan atau korupsi konvensional ketimbang korupsi non-konvensional yang dilakukan oleh para koruptor kelas kakap. Meski demikian, tindak pidana korupsi konvensional dan non-konvensional atau lebih sering disebut white collar crime (karena dilakukan oleh pejabat berkerah) tetap harus dimusnahkan sebagai bentuk pemberantasan tindak pidana korupsi benar-benar yang komprehensif dan profesional. Apa bila proses verifikasi dan pelaporan aset oleh para pejabat sudah dilakukan, tentu akan memberikan referensi aktual bagi KAK untuk menjalankan tugas, fungsi pokok (tupoksi) sebaimana dimandatkan oleh UU. Bilamana dalam tahap pelaporan dan verifikasi terbukti adanya indikasi korupsi, maka segera ditindak-lanjuti agar oknum birokrat tersebut secepatnya mendapat sanksi jikalau terbukti pada saat proses penyelidikan, penyidikan hingga persidangan yang nantinya diputus dengan putusan majelis hakim yang berkekuatan hukum (incraft). Secara pribadi, penulis mensyaratkan adanya hukuman pidana dan hukuman sosial bagi seorang pelaku koruptor. Hukuman pidana tentunya akan dibuktikan dengan kontruksi hukum yang diyakini oleh majelis hukum di persidangan dan sering kali hukuman pidana biasanya tidak menimbulkan efek jerah kepada para pelaku koruptor, apalagi hukum pidana berat seperti pidana mati tidak berlaku di Timor Leste. Sebagai bentuk sanksi adendum, seorang koruptor harus dikenakan sanksi sosial. Sanksi sosial di sini berupa kewajiban seorang pelaku koruptor untuk melakukan kegiatan bhakti sosial atau kegiatan sejenis lainnya yang mensyaratkan si koruptor harus turun dan beriteraksi dengan masyarakat. Koruptor juga dibuatkan segaram bertulisan ”koruptor”, sehingga masyarakat bisa mengenal dan mencemooh si koruptor, dengan sendirinya si koruptor tersebut akan merasa malu karena mendapat kecaman dan sanksi moral dari masyarakat dan lingkungnya. Apa bila dengan pendekatan dan sistem ini ternyata bisa memberikan efek jerah kepada para koruptor, maka masyarakat dan khalayak yang menjadi korban dari tindak pidana korupsi ini akan mendapat reward secara tidak langsung dari sanksi yang telah dijalani oleh para koruptor. Antara sanki pidana dan sanksi sosial, tentu harus diatur dalam satu produk hukum yang definitif sehingga memberikan landasan hukum bagi aparat penegek hukum, terutama KAK sebagai motor lini depan (avant guard) dalam malakukan upaya pemberantasan korupsi.
Sosialisasi dan pendidikan hukum pidana korupsi
Salah satu pendekatan strategis yang harus dilakukan segera oleh KAK adalah melakukan sosialisasi dan pendidikan hukum pidana korupsi kepada masyarakat dan khalayak publik, mulai dari pelosok-pelosok terpencil hingga ibu kota negara. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan wawasan hukum, khususnya hukum pidana korupsi kepada rakyat Timor Leste agar paham bahwa korupsi adalah perbuatan melawan moral, nilai-nilai agama, selain perbuatan melawan hukum. Tindakan bejat seperti korupsi akan turut menggerogoti moral anak bangsa. Tiada kata terlambat untuk melakukan pembenahan dan perbaikan menuju hari esok yang lebih baik. Moral anak-anak muda sebagai generasi penerus bangsa harus dipupuk dan dijaga sejak dini. Globalisasi membuat moral negara-negara kategori dunia ketiga saat ini berada di ujung tanduk. Situasi dan kondisi ini menjadi tanggung jawab semua elemen bangsa, terutama pemerintah sebagai penanggung jawab dan pengelola negara. Dalam melakukan sosialisasi dan pendidikan hukum kepada masyarakat, KAK dapat menggandeng institusi pendidikan tinggi (swasta dan negeri), lembaga swadaya masyarakat lokal, dan para tokoh-tokoh agama di Timor Leste untuk menjadi partner kerja dalam proyek ini. Hal ini bermaksud agar semangat dan usaha pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara komprehensif dan holistik dengan demikian semua warga negara Timor Leste merasa memiliki tanggung jawab yang sama agar turut serta membasmi penyakit korupsi lenyap dari negara Timor Leste. Terutama bagi institusi pendidikan tinggi, KAK bisa bertindak sebagai fasilitator untuk membantu dalam mendirikan Pusat Kajian Pemberantasan Korupsi (PKPT) yang nantinya bisa melakukan penelitian-penelitian terkait dengan masalah pemberantasan korupsi, lebih lanjut, laporan atau hasil-hasil penelitian dan simposium dari PKPT dari berbagai perguruan tinggi di Timor Leste dapat dijadikan sebagai referensi dan patokan oleh KAK pada saat melakukan langkah penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. KAK juga dapat menjaling hubungan kerjasama yang solid dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal sebagai partner dalam proyek sosialisasi dan pendidikan hukum pidana. Kerjasama antara KAK dan LSM dapat diwujudkan dengan konsep kerjasama yang dilakukan dengan perguruan tinggi, sebagaimana tersebut di atas.
Pendekatan normatif sebaimana dipaparkan di atas adalah ilustrasi nyata dari pemikiran penulis sebagai warga negara Timor Leste. Perlu dicamkan, bagi mereka yang mengemba jabatan sebagai pegawai negari baik itu pada posisi staff atau karyawan biasa maupun level-level strategis seperti direktur/kepala dan lainnya atau bakhan para pejabat menteri, anggota DPR, PR, PM dan pejabat negara lainnya untuk sadar bahwa kedudukan dari semua kursi pada tiap-tiap posisi tersebut adalah amanah dan pengabdian kepada negara. Apa bila ada pejabat negara, anggota DPR yang bercita-cita untuk menjadi kaya, maka keputusan mengambil jabatan fungsional di bidang pemerintahan baik di tingkat lokal maupun tingkat pusat adalah konsepsi pemikiran yang fatal dan halusinasi. Karena usaha memperkaya diri sendiri, keluarga atau kelompok lainnya hanya bisa diwujudkan dalam dunia wirausaha (entrepreunership) bukan dunia birokrat. Status quo dengan pola pikir primitif seperti ini akan menjadi tantangan bagi institusi KAK. KAK yang saat ini sedang melakukan prosesi perekrutan terhadap karyawan secara kelembagaan disyaratkan agar perekrutan hanya dilakukan lewat satu pintu dan satu atap, dengan tanpa embel-embel apapun. Sebab, kalau sampai bursa pendaftaran dan perekrutan staff tidak dilakukan secara transparansi dan profesional, maka imparsialitas dari KAK akan menjadi bayang-bayang semu yang tak akan pernah ada dalam roh demokrasi Timor Leste menuju bangsa yang benar-benar merdeka, mandiri dan sejahterah. Kita tunggu!
*). Mahasiswa Fakultas Hukum (semester akhir)
Universitas Narotama Surabaya, Indonesia.
Terbentuknya Komisi Anti Korupsi (KAK) pada beberapa bulan silam adalah bukti itikad baik masyarakat dan pemerintah Timor Leste guna membasmi tindak pidana korupsi yang merupakan penghalang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat suatu negara, termasuk Timor Leste. Masyarakat Timor Leste beserta komunitas internasional dari berbagai institusi keuangan internasional, lembaga-lembaga audit keuangan internasional dan badan pemerhati tindak pidana korupsi internasional seperti Transparansi Internasional (TI) dan badan-badan sejenisnya saat ini sedang menaru secercah harapan terhadap institusi KAK. Setelah lembaga independen yang saat ini dipimpin oleh Mr. Aderito de Jesus terbentuk, langkah dan strategi apa yang selanjutnya dilakukan guna mewujudkan karisma pemberantasan korupsi yang nyata, bukan semu. Ada beberapa rekomendasi dari penulis sebagai warga negara Timor Leste antara lain;
Bentuk UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
Setelah disahkannya Undang Undang KAK oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga KAK sebagaimana diwujudkan rohnya dalam suatu institusi di Timor Leste, maka sebisa mungkin dintidak lanjuti guna menciptkan suatu payung hukum sebagai pelengkap dan penyokong bagi KAK sebagai landasan hukum dalam meciptakan supremasi hukum yang komphensif dalam bidang pemberantasan korupsi. UU Tipikor ini nantinya akan memberikan ruang gerak dan perlindungan hukum terhadap para Hakim Tindak Pidana Korupsi di dalam proses persidangan pada semua tingkat peradilan di Timor Leste. UU Tipikor dibentuk dengan maksud tetap menjaga independensi, kejujuran dan kredibilitas dari para hakim dalam menangani perkara-perkara korupsi di pengadilan. Apabila DPR dan Presiden tidak segerah mempertimbangkan guna menciptakan UU Tipikor, maka tidak bukan tidak mungkin, jikalau semangat pemberantasan korupsi yang saat ini dikobar-kobarkan akan berakhir menjadi retorika di ujung lidah. Sangat berpotensi, kalau hakim-hakim yang sedang mengemba jabatan fungsional di semua lembaga peradilan akan bertindak semena-mena apa bila tidak ada UU Tipikor, dengan demikian traksaksi dan jual beli hukum justru menjadi santapan masyarakat di Timor Leste, ujung-ujungnya mafia kasus (markus) yang saat ini menjadi buah bibir dan trademark masyarakat Indonesia akan menjadi tumbuh subur kelak nanti di Timor Leste. Oleh sebab itu, para hakim yang nantinya mengadili semua perkara pidana korupsi harus direkrut dari hakim-hakim ad hoc, hanya dengan sistem dan strategi inilah transparensi dan fungsionalitas bisa berjalan sesuai dengan koridor hukum sebagaimana dicita-citakan oleh rakyat Timor Leste.
Punishment dan reward
Komisi Anti Korupsi memiliki wewenang dan tanggung jawab hukum dalam melakukan berbagai macam upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi. Wewenang hukum di sini adalah melakukan proses penyelidikan dan penyedikan, hingga perkara tersebut nantinya dilimpahkan ke kejaksaan untuk selanjutnya disidangkan di pengadilan. Pada tahap inilah kredibilitas dan independensi KAK benar-benar diuji. Setelah perekrerutan staff dan karyawan secara lembaga, langkah awal yang perlu dilakukan adalah kerjasama dan koordinasi bagi semua lembaga keuangan (baik negeri maupun swasta), baik itu berbentuk bank dan non-bank untuk segerah melakukan laporan dan verifikasi terhadap harta dan kekayaan para pejabat tinggi negara, anggota DPR, menteri dan pejabat setingkat menteri lainnya. Hal ini bermaksud agar proses pemberantasan korupsi benar-benar dijalankan sesuai dengan amanah UU KAK bersamaan dengan satu tekad serta keyakinan bahwa pembasmian virus korupsi harus dimulai dari lingkaran para birokrat. Dengan demikian punishment dan reward pun harus diawali dari pintu para pejabat yang saat ini menduduki posisi strategis di pemerintahan. Tak bisa dipungkiri, korupsi lazimnya tumbuh subur di lingkaran para direktur, kepala bagian dan atau/sektaris. Korupsi boleh saja terjadi dilingkungan karywan atau staff rendahan, namun korupsi ini biasanya tergolong korupsi recehan atau korupsi konvensional ketimbang korupsi non-konvensional yang dilakukan oleh para koruptor kelas kakap. Meski demikian, tindak pidana korupsi konvensional dan non-konvensional atau lebih sering disebut white collar crime (karena dilakukan oleh pejabat berkerah) tetap harus dimusnahkan sebagai bentuk pemberantasan tindak pidana korupsi benar-benar yang komprehensif dan profesional. Apa bila proses verifikasi dan pelaporan aset oleh para pejabat sudah dilakukan, tentu akan memberikan referensi aktual bagi KAK untuk menjalankan tugas, fungsi pokok (tupoksi) sebaimana dimandatkan oleh UU. Bilamana dalam tahap pelaporan dan verifikasi terbukti adanya indikasi korupsi, maka segera ditindak-lanjuti agar oknum birokrat tersebut secepatnya mendapat sanksi jikalau terbukti pada saat proses penyelidikan, penyidikan hingga persidangan yang nantinya diputus dengan putusan majelis hakim yang berkekuatan hukum (incraft). Secara pribadi, penulis mensyaratkan adanya hukuman pidana dan hukuman sosial bagi seorang pelaku koruptor. Hukuman pidana tentunya akan dibuktikan dengan kontruksi hukum yang diyakini oleh majelis hukum di persidangan dan sering kali hukuman pidana biasanya tidak menimbulkan efek jerah kepada para pelaku koruptor, apalagi hukum pidana berat seperti pidana mati tidak berlaku di Timor Leste. Sebagai bentuk sanksi adendum, seorang koruptor harus dikenakan sanksi sosial. Sanksi sosial di sini berupa kewajiban seorang pelaku koruptor untuk melakukan kegiatan bhakti sosial atau kegiatan sejenis lainnya yang mensyaratkan si koruptor harus turun dan beriteraksi dengan masyarakat. Koruptor juga dibuatkan segaram bertulisan ”koruptor”, sehingga masyarakat bisa mengenal dan mencemooh si koruptor, dengan sendirinya si koruptor tersebut akan merasa malu karena mendapat kecaman dan sanksi moral dari masyarakat dan lingkungnya. Apa bila dengan pendekatan dan sistem ini ternyata bisa memberikan efek jerah kepada para koruptor, maka masyarakat dan khalayak yang menjadi korban dari tindak pidana korupsi ini akan mendapat reward secara tidak langsung dari sanksi yang telah dijalani oleh para koruptor. Antara sanki pidana dan sanksi sosial, tentu harus diatur dalam satu produk hukum yang definitif sehingga memberikan landasan hukum bagi aparat penegek hukum, terutama KAK sebagai motor lini depan (avant guard) dalam malakukan upaya pemberantasan korupsi.
Sosialisasi dan pendidikan hukum pidana korupsi
Salah satu pendekatan strategis yang harus dilakukan segera oleh KAK adalah melakukan sosialisasi dan pendidikan hukum pidana korupsi kepada masyarakat dan khalayak publik, mulai dari pelosok-pelosok terpencil hingga ibu kota negara. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan wawasan hukum, khususnya hukum pidana korupsi kepada rakyat Timor Leste agar paham bahwa korupsi adalah perbuatan melawan moral, nilai-nilai agama, selain perbuatan melawan hukum. Tindakan bejat seperti korupsi akan turut menggerogoti moral anak bangsa. Tiada kata terlambat untuk melakukan pembenahan dan perbaikan menuju hari esok yang lebih baik. Moral anak-anak muda sebagai generasi penerus bangsa harus dipupuk dan dijaga sejak dini. Globalisasi membuat moral negara-negara kategori dunia ketiga saat ini berada di ujung tanduk. Situasi dan kondisi ini menjadi tanggung jawab semua elemen bangsa, terutama pemerintah sebagai penanggung jawab dan pengelola negara. Dalam melakukan sosialisasi dan pendidikan hukum kepada masyarakat, KAK dapat menggandeng institusi pendidikan tinggi (swasta dan negeri), lembaga swadaya masyarakat lokal, dan para tokoh-tokoh agama di Timor Leste untuk menjadi partner kerja dalam proyek ini. Hal ini bermaksud agar semangat dan usaha pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara komprehensif dan holistik dengan demikian semua warga negara Timor Leste merasa memiliki tanggung jawab yang sama agar turut serta membasmi penyakit korupsi lenyap dari negara Timor Leste. Terutama bagi institusi pendidikan tinggi, KAK bisa bertindak sebagai fasilitator untuk membantu dalam mendirikan Pusat Kajian Pemberantasan Korupsi (PKPT) yang nantinya bisa melakukan penelitian-penelitian terkait dengan masalah pemberantasan korupsi, lebih lanjut, laporan atau hasil-hasil penelitian dan simposium dari PKPT dari berbagai perguruan tinggi di Timor Leste dapat dijadikan sebagai referensi dan patokan oleh KAK pada saat melakukan langkah penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. KAK juga dapat menjaling hubungan kerjasama yang solid dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal sebagai partner dalam proyek sosialisasi dan pendidikan hukum pidana. Kerjasama antara KAK dan LSM dapat diwujudkan dengan konsep kerjasama yang dilakukan dengan perguruan tinggi, sebagaimana tersebut di atas.
Pendekatan normatif sebaimana dipaparkan di atas adalah ilustrasi nyata dari pemikiran penulis sebagai warga negara Timor Leste. Perlu dicamkan, bagi mereka yang mengemba jabatan sebagai pegawai negari baik itu pada posisi staff atau karyawan biasa maupun level-level strategis seperti direktur/kepala dan lainnya atau bakhan para pejabat menteri, anggota DPR, PR, PM dan pejabat negara lainnya untuk sadar bahwa kedudukan dari semua kursi pada tiap-tiap posisi tersebut adalah amanah dan pengabdian kepada negara. Apa bila ada pejabat negara, anggota DPR yang bercita-cita untuk menjadi kaya, maka keputusan mengambil jabatan fungsional di bidang pemerintahan baik di tingkat lokal maupun tingkat pusat adalah konsepsi pemikiran yang fatal dan halusinasi. Karena usaha memperkaya diri sendiri, keluarga atau kelompok lainnya hanya bisa diwujudkan dalam dunia wirausaha (entrepreunership) bukan dunia birokrat. Status quo dengan pola pikir primitif seperti ini akan menjadi tantangan bagi institusi KAK. KAK yang saat ini sedang melakukan prosesi perekrutan terhadap karyawan secara kelembagaan disyaratkan agar perekrutan hanya dilakukan lewat satu pintu dan satu atap, dengan tanpa embel-embel apapun. Sebab, kalau sampai bursa pendaftaran dan perekrutan staff tidak dilakukan secara transparansi dan profesional, maka imparsialitas dari KAK akan menjadi bayang-bayang semu yang tak akan pernah ada dalam roh demokrasi Timor Leste menuju bangsa yang benar-benar merdeka, mandiri dan sejahterah. Kita tunggu!
*). Mahasiswa Fakultas Hukum (semester akhir)
Universitas Narotama Surabaya, Indonesia.
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.