VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20090705

Timor-Leste punya lowong meraih hydrocarbon economy; semangant pemberantasan korupsi tidak hanya sebatas retorika

*). J. Monteiro (monteiro.87@hotmail.com)
.
Sedikit menenggok ke belakang, pada saat pemerintahan Aliansi Mayoritas Parlemen (AMP), pimpinan PM Xanana Gusmao hendak dikukuhkan, negara kita saat itu diguncang dengan terpaan angin keberuntungan yang membuat khalayak umum berhati besar. Semangat dan political will AMP bersama konstituen diawali dari langkah pemerikasaan harta kekayaaan beserta asset para pimpinan lembaga negara, boleh dibilang sebagai terobosan empirik dalam visi dan misi dari kepemimpinan PM Xanana Gusmao bersama kabinetnya pada periode kepemimpinan selama lima tahun. Visi dan misi tersebut adalah semengat dan kegigihan mewujudkan kesejahteraan bangsa setengah pulau ini dengan suatu kebijakan politik yang konkrit, sehingga melahirkan emobrio hukum yang mampu menjawab tuntutan dan persoalan rakyat TL. Hal ini bisa digapai dalam suatu system pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance). Target menuju tangga keberhasilan ini, guna merealisasikan hydrocarbon economy bagi Negara kita bukanlah hal gampang. Berbagai lini kepemimpinan dari system hukum pemerintahan ditunut untuk memiliki semangat supermasi hukum dan mobilisasi hukum sesuai dengan dengan nuansa hidup dan prinsip-prinsip kebudayaan lokal dan jiwa bangsa (volgiest) yang dahulu diturunkan oleh para leluhur kepada kita sebagai anak-cucu bangsa. Supermasi hukum dan mobilisasi hukum dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat yang madani, adil dan makmur, namun bukan berarti akulturasi budaya dan nilai-nilai social asing menjadi tuan rumah di negara kita sendiri. Penegakkan hukum (law enforcement) dalam sebuah negara hukum dan demokrasi adalah hal vital, tapi kemanfaatan hukum (utilitarianism of law; J. Benthan) tidak akan pernah terwujud apabila sejarah dan budaya hukum dari masyarakat lokal (Sejarah hukum; Karl Von Savigny), kita tanggalkan untuk dikastrasi oleh kecurangan pihak asing.

Langkah pertama; think extra-ordinary
.
Peryataan yang muncul adalah apakah kita benar-benar serius? Apakah kita tahu benar apa itu extra-ordinary thinking? Saya pikir, TL memiliki talenta dan budaya extra-ordinary thinking, sayangnya mind set dan paradigma berpikir kita menuju extra-ordinary thinking terkadang masing semerawut dan simpang siur, hal ini disebabkan oleh leadership culture yang terkesan masih primtif dengan konsep-konsep leadership yang sebenarnya seudah tidak sejalan dengan tuntutan zaman di era saat ini. Mind set dan paradigm ini harus segera kita eliminasikan dengan sikap jemput-bola. Zaman telah berganti, pemikiran dan mazhab-mazhad leadership turut mengikuti dinamika masyarakat di seantro dunia, namun barangkali di negara kita belum terlalu merasakan efek getaran dari perubahan itu. Meskipun demikia, bertindak dan berpikir biasa adalah wajar dan berdasarkan konvensi beserta aturan normatif yang telah disepakati. Namun sebenarnya, di dalam hukum, lembaga yang banyak menjadi landasan dalam pemberantasan korupsi, konvensi itu berarti konsep, azas dan doktrin (Satjipto;127), tentu strategi kita dalam mewujudkan supermasi hukum dan mobilisasi hukum di negara kita, harus berpikir tidak seperti lazimnya. Thinking outside the box (Presiden SBY), sehingga konsep dan cara berpikir konvensional dalam aplikasi penegekkan hukum nantinya benar-benar didasarkan pada rasa. Hanya dengan rasa yang digawangi dengan extra-ordinary thinking baru kita merasakan bagaimana terpuruknya nasib rakyat kita saat ini. Keterpurukan nasib bangsa rakyat kita adalah efek utama dari keterpurukan system hukum kita yang masih belum memiliki semangat punishment and reward. Akibatnya, korupsi dengan gesit menyelinap dan menghindari jarring-jaring hukum. Terbukti bahwa, hingga detik lembaga peradilan kita belum unjuk gigi untuk melibas para koruptor-korupor kakap di negara kita. Boleh saja, para tokoh dan pemimpin yang merasa memiliki power dan kewenangan berpikir bahwa membebaskan rakyat Timor-Leste dari cengkeraman kolonial adalah puncak kejayaan bangsa (berpikir secara ordinary dan konvensional), tapi lebih dari itu rakyat Timor-Leste saat ini masih mengalami kehidupan yang sangat tidak layak. Penjajahan ekonomi dari negara asing, terutama tetangga rakus kita (Australia; kasus Timor Sea) secara konkrit dan factual membuktikan bahwa kedaulatan dan kemerdekaan kita masih diobrak-abrik oleh tikus-tikus asing yang senang mencaplokan ekonomi negara lain dengan politik diplomasi yang terkesan tidak manusiawi dan sering bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum internasional (inilah salah satu bentuk extra-ordinary thinking yang perlu kita garis-bawahi). Akankah kita membisu seribu bahasa? Akankah kita terus mempertahankan pola pikir konvensional kita? Saya pikir, tidak! Kita membutuhkan extra-ordinary mind set yang disinergikan dengan dynamic leadership sehingga, nasib untuk menjadi tamu di negari sendiri yang saat ini dialami di beberapa negara Timur Tengah dan beberapa negara-negara Afrika tidak dialami oleh negara kita. Dengan keterpaduan antara extra-ordinary thinking dengan dynamic leadership, negara kita akan secepatnya keluar dari kelompok world’s 50 poorest countries (http://www.infoplease.com; UN list of least developing countries).

Langkah kedua; membaca kaidah
.
Setelah terkonsepnya sinergisme extra-ordinary thinking dan dynamic leadership, dibutuhkan penindak lanjutan dengan strategi membaca kaidah. Membaca kaedah bukan peraturan, adalah pedoman yang amat baik dalam penegakan hukum. Membaca kaedah adalah menyelam ke dalam roh, asas dan tujuan-tujuan hukum (Satjipto, pakar sosiologi hukum di UNDIP, Semarang). Dalam mencapai penyelaman yang produktif sehingga law enforcement dalam pemberantasan korupsi, guna mewujudkan hydrocarbon economy kita wajib melakukan kontemplasi hukum (meditasi hukum). Kontemplasi hukum di sini, tentu dituntut untuk tidak membaca atau merenungkan tujuan-tujuan, asa dan doktrin hukum dari kepentingan tendensional. Apabila kepentingan tendensional yang menjadi dasar kontemplansi hukum bagai para penegak hukum di negeri Lafaek, bukan tidak mungkin system perekonomian, penegakkan hukum dan hak azasi diktatoratlah yang justru mendominasi negeri kita. Ciri komtemplasi hukum seperti ini dari para penegak hukum, termasuk semua pemimpin lembaga negara harus dibumi hanguskan dari tanah air kita. Jikalau tidak, cita-cita bangsa untuk memberantas korupsi dan menggunakan hasil pendapatan dari proyek eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas alam di bawah Laut Timur untuk menjadi salah satu trend setter dan mercusuan dunia tidak akan pernah terwujud. Akhirnya, cita-cita menjadikan Timor-Leste sebagai salah satu negara hydrocarbon economy seperti negara di kawasan Timur Tengah yang kaya minak dan gas alam (seperti Arad Saudi, Qatar, Iran, ddl) atau mungkin menyamai negara Brunei Darusalam justru berakhir menjadi sebuah malapetaka. Lakukanlah pembenahan hukum yang komprehensif dan sedini mungkin dengan kontemplasi hukum yang holistik, sehingga konkretisasi dan kemanfaatan hukum dari wujud pemberantasan korupsi nantinya benar-benar dirasakan oleh rakyat Timor-Leste. Berbahaya, kalau sampai semua political will pemerintahan AMP dan pemerintahan selanjutnya, ujungn-ujungnya berakhir menjadi sebuah politik hipokitis semata.

Langkah ketiga; mengandeng peran publik dalam hukum

Muncul pertanyaan. Benarkah seluruh urusan ketertiban, keadilan dan keamanan di masyarakat lokal dan bahkan masyarakat antar-bangsa sepenuhnya dipercayakan kepada hukum nasional tiap-tiap bangsa atau bahkan hukum antar-bangsa (hukum internasional), negara dan perangkat hukum lainnya? Bila mengamati realita lapangan dalam sudut pandang sosiologi hukum, terlihat berbagai macam kejadian dan fenomena, hukum bukanlah satu-satunya institusi atau sarana yang mampu menangani urusan-urusan itu. Selain hukum, beserta perangkat hukum lainnya, misalnya terdapat peran publik yang cukup signifikan dalam merealisasikan tiga unsur law enforcement (budaya hukum, substansi hukum dan penegak hukum). Pemberantasan korupsi di Timor-Leste tidak akan pernah semulus dan sesukses seperti yang diharapkan oleh para pemimpin negara, terutama lembaga yudisiil tanpa adanya kerjasama bermitra yang komprehensif bersama semua lembaga swasta berpotensi lainnya. Selain lembaga swasta lokal di Timor-Leste, akan lebih lengkap apabila strategi dan jejaring pemberantasan korupsi tidak hanya digalakkan di kancah nasional, namun diterapkan pula pada kancah internasional. Mengingat, tindak pidana korupsi saat ini telah menjadi kejahatan epidemik dunia. Berbagai negara di belahan bumi beserta lembaga swasta internasional lainnya tengah gencar mengupayakan berbagai macam mekanisme untuk memberantas korupsi yang dinilai sebagai salah satu penghambat pembangunan ekonomi dan penghambat pemberantasan kemiskinan di suatu negara, termasuk di Timor-Leste.

Langkah keempat; revitalasi hukum dan refomarmasi hukum

Satu point penting yang patut dan segera mendapat sorotan dari para pemimpin bangsa kita, khususnya para penegak hukum di lingkungan yudisiil adalah revitalisasi hukum dan reformasi hukum. Dari ke-tiga langkah yang terpapar di atas, masih dibutuhkan satu langkah jitu lainnya untuk menopang dari ke-tiga langkah tadi. Diperlukan suatu revitalisasi hukum sehingga menjadikan hukum memiliki cirri punishment and reward. Tanpa adanya punishment and reward dalam lembaga peradilan kita, sepertinya tidak akan mungkin pemberantasan korupsi itu bisa terwujud. Punishment dibutuhkan untuk memberikan efek jerah dan pendidikan hukum bagi masyarakat pada umumnya, terutama bagi para pelaku tindak pidana korupsi, sehingga masyarakata menjadi law minded dan para pelaku tindak pidana korupsi pun akhirnya tidak merasa memiliki impunitas hukum. Revitalisasi hukum bagi produk hukum peninggalan colonial (dalam hal ini produk hukum Indonesia) yang masih dipakai untuk mengisi kevakuman hukum di negara kita, perlu mendapat atensi serius dan komprensif dari lembaga yudisiil, sehingga supremasi hukum menuju mobilisasi hukum yang bermanfaat segera terwujud.

Reformasi hukum tentu diperlukan untuk mengkaji perkembangan dan dinamika hukum yang saat ini diterapkan di negara kita. Reformasi hukum di sini, secara struktur akan dimulai dari reformasi substansial (aturan normatif) dan reformasi factual (empirikal). Reformasi hukum dijadikan sebagai perangkat mini-judicial review bagi substansi hukum, terutama produk-produk hukum peninggalan kolonial atau bahkan peraturan-peratuan dan ketetapan-ketepan sementara dari UNTAET yang sekiranya sudah tidak sejalan sengan situasi empirik di negara kita. Misalnya, produk hukum kolonial (Indonesia), UU No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (TPK) semestinya sudah tiba saatnya untuk dirubah dengan produk hukum, hasil karya anggota DPR kita, bersama Presiden Republik. Apalagi, UU No. 31/1999 tentang TPK di Indonesia sendiri juga telah dirubah dengan UU RI No. 21/2001. Dengan sikap anggota DPR yang masih terkesan cuek dengan proposal pembuatan perangkat hukum untuk Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Anti Korupsi yand diusulkan oleh PM Xanana Gusmao pada tahun lalu, menunjukan bukti keganjalan dan ketidak seriusan lembaga legislatif kita dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada saat kunjungan dan pertemuan singkat Menteri Luar Negeri Timor-Leste, Bpk. Zacarias Albano, di Surabaya beberapa bulan lalu sempat saya tanyakan tentang sejauh mana penggodokan proposal pembuatan UU TPK dan UU Komisi Anti Korupsi yang diusulkan oleh PM Xanana Gusmao ke dewan legislative, dan waktu itu saya amat sangat berharap untuk memperoleh jawaban suka cita, namun justru rasa kesal yang saya alami waktu itu, karena jawaban Bpk. Zacarias yang saat itu masih terkesan abu-abu dan tidak meyakinkan penulis secara pribadi, bahkan mungkin masyarakat Timor-Leste pada umumnya.
.
Revitalisasi hukum dan reformasi hukum adalah tuntutan dan realita dari perubahan dan perkembangan manusia yang selalu bersifat dinamis, bukan statis. Hukum terus-menerus mengikuti perkembangan hidup manusia. Oleh karena itu, tanpa adanya revitalisai hukum dan reformasi hukum, mustahil bagi Timor-Leste memenangi peluang hydrocarbon economy dan menyamai negara-negara di kawasan Middle East. Predikat hydrocarbon carbon dapat dicapai dengan memberdayakan semua sumber daya alam dan hasil bumi kita, kontribusi paling besar adalah proyek penambangan minyak dan gas alam yang saat ini kita operasikan bersama tetangga rakus kita, Australia. Dibarengi dengan sikap dan tindakan hukum represif yang berlandasan pendidikan hukum menuju law minded adalah jurus jitu bagi negara kita untuk mewujudkan visi dan misi dari kepimimipinan pemerintahan AMP yang awalnya sudah ditebar-pesonakan. Mencapai revitalisasi hukum dan reformasi hukum, wajib kita melakukan studi kelayakan (visibility study) dengan melihat kesuksesan negara lian. Negara kita patut meniru konsep revitalisasi dan reformasi hukum di China, atau bahkan di Singapore di mana negara rawa-rawa yang tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah rua seperti kita, bahkan pasir pun dibeli dari Indonesia, namun negeri Singa itu mampu menjadi salah satu motor ekonomi di Asia, khususnya di kawasan negara-negara ASEAN, karena memiliki konsep revitalisasi dan reformasi hukum yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan negara dan rakyatnya. Mari belajar ke negara lain, belajar tidak pernah terbentang ruang dan waktu.

*). Mahasiswa Jurusan Hukum Internasional (semester VI)
Fakultas Hukum, Universitas Narotama Surabaya, Indonesia.

Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.