VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20081119

LEGITIMASI PEMERINTAH AMP

Filipe Rodrigues Pereira

Pengantar

Beberapa minggu terakhir masyarakat kembali dikejutkan oleh gebrakan politik pimpinan partai Fretilin, Dr. Marii Alkatiri yang kembali menekan secara politik melalui pernyataan yang menyatakan pemerintah Aliansi Mayoritas Parlemen (AMP) pimpinan Xanana Gusmão tidak memiliki legitimasi kekuasaan, oleh sebab itu Dr. Marií berencana akan menggerakan massa melalui aksi politik Marcha da Paz (Jalan Damai) untuk memaksa Xanana turun dari tampuk kekuasaan. Pernyataan politik Dr. Mari Alkatiri memunculkan reaksi keras dari pihak Xanana. Xanana dalam pernyataannya menyatakan bahwa pemerintahnya akan menangkapi dan memenjarahkan penanggungjawab aksi Marcha da Paz apabila aksi itu pada akhirnya menimbulkan kerusuhan di masyarakat. Atas reaksi keras dari Xanana tersebut partai Fretilin membalas dengan menuduh bahwa Xanana mulai menunjukkan sikap diktaktornya.

Pertanyaan akan legitimasi kekuasaan terhadap pemerintahan AMP pimpinan Xanana Gusmão bukan hal baru yang disuarakan oleh partai Fretilin yang memenangkan Pemilihan Umum (Pemilu) legistatif pada Juli 2007. Pada bulan Agustus 2007 ketika Presiden Republik, Ramos-Horta menunjuk AMP untuk membentuk pemerintahan, Fretilin saat itu secara politik telah menunjukkan resistensinya. Namun resistensi Fretilin selaku partai yang memenangkan simple mayority pada Pemilu tahun lalu itu tidak banyak memperoleh dukungan karena publik menilai Presiden Republik memiliki dasar hukum yang kuat dalam hal penunjukkan pembentukan pemerintahan oleh AMP. Selain itu, suasananya pun secara politik pada saat itu tidak memberikan simpati kepada partai Fretilin karena masyarakat ingin perubahan setelah munculnya kerusuhan politik yang melanda negeri ini pada 2006. Secara politik mayoritas masyarakat 'jenuh' dengan pemerintahan Fretilin yang baru saja memerintah satu periode (4-5 tahun). Mayoritas masyarakat melalui Presiden Republik, Xanana Gusmao pada saat itu 'memaksakan' pencabutan kekuasaan yang dipegang oleh Dr. Mari Alkatiri sebagai Perdana Menteri.

Paham dan Praktek Kekuasaan Negara

Menurut Max Weber, "kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan" (Franz Magnis-Suseno, 58). Sedangkan Talcott Parsons (dalam The Distribution of Power in America Society, 1957) merumuskan bahwa "kekuasaan adalah kemampuan yang menyebabkan kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif melaksanakan kewajiban-kewajiban yang mengikat. Kewajiban dianggap sah sejauh menyangkut tujuan-tujuan kolektif, dan jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar, terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu".

Dalam sejarahnya sebagaimana masyarakat lain di dunia, masyarakat Timor-Leste tentu mengenal pula apa itu kekuasaan bagi kehidupannya, yakni kehidupan masyarakat di bawah kepemimpinan tradisional-feodal yang pernah dan 'masih' disandang oleh sebagian para Liu-Rai dalam struktur sosial di negeri ini. Masuknya kolonialisme dan pendudukan asing yang secara koersif mencekramkan kekuasaan mereka atas daratan dan masyarakat wilayah ini telah ikut membantu masyarakat Timor-Leste menambah kasanah masyarakat akan macam dan cara memperoleh kekuasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat negeri ini secara politik dan hukum masuk ke dan hidup dalam sebuah negara modern ketika mereka menyerahkan sebagian haknya dan menyatakan kesediaannya secara sukarela untuk tunduk pada sebuah kekuasaan bentukan sebagimana dipahamkan John Locke sebagai kontrak-sosial. Penyerahan dan sikap ketaatan masyarakat atas kekuasaan sebagaimana disinggung diatas baru terselenggara pada 20 Mei 2002, saat mana ditandai dengan pengesahan konstitusi negara Republika Demokratika de Timor-Leste oleh 88 anggota Dewan Konstituante. Konstitusi adalah "kontrak-sosial pertama dan tertinggi" dalam sebuah perjalanan sejarah masyarakat bangsa dalam bernegera. Kontrak-sosial adalah sebuah teori yang berpendapat bahwa moralitas terdapat dalam kesamaan kesepakatan sosial yang mengabdi pada keinginan yang terbaik dari para individu yang turut serta dalam kesepakatan pembentukan sebuah intstitusi negara. Negara yang bercirikan kontrak-sosialnya Jhon Locke dapat dilihat melalui kehidupan dan perilaku politik masyarakat, seperti pemerintah berhati-hati dalam melakukan tugas-tugasnya, parlemen yang vokal dalam mengontrol dan berperan dalam politik, dan masyarakat tidak segan-segan untuk melakukan kritik-kritik terhadap penguasa negara (Oxford University Press, 1960).

Negara modern dalam tatanan pemerintahan di dunia ini tidak terlepas dari pengaruh trias-politikanya Montesquieu. Begitu juga dengan Timor-Leste yang secara de fakto dan sekaligus de jure memperoleh kemerdekaanya di tahun 2002. Teori trias politika pada intinya adalah membatasi dan atau memisahkan kekuasaan (separation of power) ke dalam tiga kategori, yakni: kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Dalam prakteknya teori Montesquieu ini tidak lagi diimplemenasikan secara murni namun mengalami beberapa penyesuaian dalam sistem pemerintahan demokratis di berbagai negara di dunia. Proses pembentukan sistem pemerintahan Timor-Leste dilakukan pula penyesuaian dengan berbagai macam pertimbangannya.

Pembedaan dan atau pemisahan kekuasaan dilakukan dengan maksud untuk mengseimbangkan kekuasaan. Pembedaan kekuasaan tersebut dituangkan dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi negara, dasar dari segala peraturan. Adanya hukum yang memisahkan dan membatasi kekuasaan politik dalam suatu negara inilah yang pada prinsipnya disebut sebagai Negara Hukum (rechtstaat). Ide dasar dari negara hukum ialah bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Oleh karena itu, "dalam negara hukum tercakup 4 (empat) tuntutan dasar, yaitu pertama tuntutan kepastian hukum yang merupakan kebutuhan langsung masyarakat; kedua tuntutan bahwa hukum berlaku sama bagi segenap penduduk dan warga negara; ketiga legitimasi demokratis dimana proses pembentukan hukum harus mengikutsertakan dan mendapat persetujuan rakyat; dan keempat tuntutan akal budi yaitu menjunjung tinggi martabat manusia dan masyarakat." (Soeseno, 1991 : 295-297).

Didirikannya negara berdasar hukum dan mengimplementasikan sistem pemerintahan sebagaimana tersebut di atas bukan dengan maksud untuk mengikat dan menekan masyarakat sebagai warga negara, melainkan untuk membebaskan dan melindungi masyarakat dari kungkungan dan nafsu warga negara lain. Kontrak-sosial yang merupakan kesepakatan yang berisikan keinginan masyarakat untuk dapat hidup secara teratur itu diserahkan pada otoritas yang bernama negara. Otoritas adalah "kekuasaan yang dilembagakan", yaitu kekuasaan yang tidak hanya de fakto menguasai, melainkan juga berhak untuk menguasai (Bochenski, 85). Sebuah kekuasaan tanpa otoritas maka kekuasaan itu tidak berarti apa-apa.

Menyinggung soal otoritas maka memunculkan pertanyaan, atas dasar apa seseorang atau sekelompok orang memiliki wewenang yang lebih besar dan mampu memaksa orang atau kelompok lain untuk tunduk dan taat kepada kekuasaannya? Mempertanyakan sumber kekuasaan seseorang atau sekelompok orang untuk berkuasa maka kita mempertanyakan legitimasi, hal mana seperti yang dinyatakan Dr. Mari Alkatiri bahwa lembaga eksekutif pimpinan Xanana Gusmao di Timor-Leste tidak memiliki legitimasi kekuasaan.

Lahirnya Negara dan Legitimasi Kekuasaan

Apakah legitimasi itu? Sebagaimana daerah dan masyarakat koloni lain di dunia, secara politik negara ini lahir dari pertautan perjuangan politik dan kultural masyarakat yang panjang. Pada 20 Mei 2002 masyarakat negeri ini menyepakati dan menuangkan keinginan luhur bangsanya untuk merdeka dalam sebuah hukum positif, yakni konstitusi negara. Terlepas dari segala kelemahan yang ada pada waktu itu, konstitusi negeri ini lahir dari dan melalui sebuah 'proses dan mekanisme' yang demokratis. Mayoritas masyarakatlah yang memilih 88 anggota Dewan Konstituante untuk menyusun konstitusi negara. Seperti halnya negara lain, melalui pertimbangan dan penyesuaian-penyesuaian, konstitusi negara Timor-Leste memilih untuk memisahkan dan atau membedakan kekuasaan ala teori trias politikanya Monstequieu, yakni ada kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan tugas dan fungsinya masing-masing, plus penyesuaian-penyesuaian pada lembaga kepresidenan yang memiliki kekuasaan konsultatif dan kekuasaan pengesahkan undang-undang. Berdasar pada konstitusi ini maka tatanan kenegaraan dan pemerintahan negeri ini berdiri dan berfungsi.

Pada tahun 2002 berdiri lembaga-lembaga negara guna mengfungsikan pemerintahan. Lahirnya Pemerintahan Konstitusional Pertama yang dipimpin oleh Dr. Mari Alkatiri, Presiden Konstitusional Pertama, Xanana Gusmao, dan Lu-Olo sebagai Presiden Parlemen Nasional Pertama. Sebagai catatan, disebut Pemerintahan dan Presiden Konstitusional adalah untuk membedakan dengan Presiden dan Pemerintahan pra-restaurasi kemerdekaan. Pemerintah dan Presiden yang pernah ada pra-restaurasi kemerdekaan Timor-Leste merupakan pemerintah dan presiden proklamasional. Presiden pertama Timor-Leste, Francisco Xavier do Amaral dan Nicolau Lobato masuk dalam kategori terakhir.

Pemerintah Konstitusional Pertama lahir dari sebuah proses politik yang demokratis. Berkat keberhasilan partai Fretilin yang menguasai parlemen, parlemen mana merupakan hasil transformasi langsung dari Dewan Konstituante pada masa itu, telah membawa masyarakat negeri ini masuk dalam sebuah babak baru, tatanan negara modern. Fretilin yang pada saat itu memiliki 57% kursi di Parlamen ditambah dengan dukungan beberapa partai kecil berhasil membentuk pemerintahan konstitusional pertama yang secara politik dapat dikatakan sangat kuat. Meskipun banyak pihak waktu itu mempertanyakan keputusan untuk mengtransformasikan Dewan Konstituante menjadi Parlemen Nasional Pertama negara ini.

Konstitusi negara ini mendudukan institusi parlemen Timor-Leste sebagai institusi kekuasaan yang sangat menentukan setiap proses politik di negeri ini. Sebuah pemerintah harus lahir dari dan melalui parlemen. Logika ini dipilih karena tanpa meguasai parlemen maka sebuah pemerintah tidak akan berumur panjang. Kekuatan politik parlamen terlihat sangat penting ketika partai Fretilin memegang pemerintahan pada enam tahun yang lalu. Fretilin membentuk dan memegang pemerintahan konstitusional pertama sampai selesai masa periode kekuasaannya, kendatipun Dr. Mari Alkatiri harus tercopot di tengah jalan. Parlemen merupakan penjelmahan kekuasaan rakyat. Mengaitkan kedudukan institusi parlemen dengan teori kontrak-sosialnya John Locke maka terlihat bahwa ditangan parlemenlah rakyat menyerahkan sebagian kekuasaannya. Selain kepada parlemen, rakyatpun menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada Presiden Republik selaku kepada negara untuk memantau jalannya pemerintahan. Karena lahir dan bersumber dari konstitusi yang sama maka baik pembentukan pemerintahan Fretilin pada 2002 dan pembentukan Pemerintahan AMP pada 2007 sama-sama memiliki legitimasi kekuasaan.

Secara umum legitimasi didefiniskan sebagai keadaan mana adanya penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral, hukum dan politik bagi seseorang atau sekelompok orang untuk berkuasa. Mengenai hal ini para ahli sosiologi dunia telah memperkenalkan bermacam-macam tipe legitimasi akibat dari pertautan perjalanan sejarah umat manusia yang panjang. Legitimasi tertua di dunia ini adalah legitimasi religius, yakni pengakuan dan penerimaan masyarakat terhadap kekuasaan seorang raja dengan anggapan dasar bahwa kekuasaan sang raja bersumber dari Tuhan. Legitimasi religius yang kini masih eksis dan kuat bisa dilihat pada kekuasaan seorang Paus, pimpinan katolik sedunia.

Dalam hal legitimasi ini, mengutip Prof. Zeppelius, Franz Magnis-Suseno (1994, 58) menyatakan bahwa pada prinsipnya ada tiga kemungkinan kriteria legitimasi untuk menilai keabsahan suatu wewenang atau kekuasaan, yakni: legitimasi sosiologis, legalitas dan legitimasi etis. Legitimasi sosiologis pada intinya mempertanyakan motivasi apa yang membuat masyarakat mau menerima dan taat pada sebuah tatanan kenegaraan dan wewenang penguasa. Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa keinginan masyarakat untuk hidup secara teratur tanpa dibawah tekanan masyarakat lain telah menjadi motivasi masyarakat untuk memberikan sebagian haknya kepada pemegang otoritas negara untuk memerintah. Dalam era demokrasi proses penyerahan sebagian hak oleh warga negara kepada penguasa dilakukan melalui Pemilihan Umum.

Legalitas pada prinsipnya melihat kekuasaan yang dipegang seseorang sekelompok orang berdasar pada ketentuan hukum yang berlaku. Eksistensi Pemerintah Aliansi Mayoritas Parlemen yang dipimpin oleh Xanana Gusmao apakah sudah memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negera ini? Pasal 185 (d) konstitusi Timor-Leste menyatakan, "Presiden Republik berwewenang dan bertanggung jawab secara eksklusif untuk mengangkat dan mengambil sumpah Perdana Menteri yang telah ditunjuk oleh Partai atau Koalisi Partai dengan Mayoritas dalam Parlemen, setelah mengadakan konsultasi dengan partai-partai politik yang menduduki kursi dalam Parlemen Nasional". Pasal 185 (d) ini merupakan sumber legalitas kewenangan Presiden Republik untuk menunjukkan pembentukan pemerintahan, tentu setelah Presiden Republik mengamati proses menuju kekuasaan itu berjalan secara prosedural, hasil dari proses tersebut dapat diterima publik dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Legitimasi Etis adalah mengaitkan kekuasaan dengan moralitas dan nilai budaya dalam kehidupan masyarakat. Legitimasi etis ini adalah hal yang paling penting dalam etika politik karena mempertanyakan dasar kekuasaan politik itu sendiri (Franz Magnis-Suseno, 61). Hukum macam apa yang secara moral berhak menuntut ketaatan dari masyarakat? Mengaitkan legitimasi etis dengan dengan pembentukan dan eksistensi Pemerintah AMP saat ini maka tentu merupakan sesuatu yang relatif, karena ukuran yang dipakai adalah nilai dan norma sosial yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya dengan kekuasaan maka nilai-nilai demokrasilah yang diadopsikan masyarakat negeri ini. Dengan dan melalui tingkat inteligensi terbatas yang dimiliki, masyarakat negeri ini telah dan dapat mengukur untuk menerima atau menolak apa yang baik dan buruk dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Kekalahan telak partai Fretilin tahun lalu (yakni dari 57% di tahun 2001 dan turun ke 28% di tahun 2007) menunjukan bahwa minimal secara moral masyarakat telah menghukum partai ini untuk tidak memerintah akibat kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi ketika partai ini berkuasa pada periode politik yang lalu. Apabila masyarakat memilih untuk melakukan penghukuman politik, maka apa yang dialami oleh partai Fretilin pada Pemilu tahun lalu bisa dialami pula oleh partai lain, partai-partai yang saat ini sedang berkuasa.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apabila sebuah kekuasaan tidak memiliki ketiga legitimasi sebagaimana tersebut di atas, yakni legitimasi sosiologis, legalitas dan legitimasi etis maka kekuasaan tersebut dapat dipertanyakan keabsahannya.

Sebagai tambahan, secara klasik keabsahan sebuah kekuasaan dapat dilihat pula melalui motivasi penerimaan kekuasaan oleh masyarakat. Max Weber dalam Economie et Société memperkenalkan tiga tipe dominasi kekuasaan klasik: yakni dominasi tradisional, yakni kaum bangsawan yang memegang kekuasaan berdasarkan ketururan yang turun-temurun (dinasti); dominasi kharismatik, yakni berdasarkan perasaan kagum dan hormat terhadap diri seseorang karena pribadi itu sangat mengesankan sehingga masyarakat bersedia untuk taat kepadanya; dominasi rasional-legal, yakni berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin (Philippe Cabin & Jean Francois Dortier, 2004, 38).

Ketiga dominasi yang pada akhirnya melahirkan pula legitimasi kekuasaan sebagaimana tersebut di atas pernah berlaku dan hidup dalam sejarah kehidupan masyarakat Timor-Leste. Masyarakat tua wilayah ini pernah merasakan hidup dalam tatanan kekuasaan raja-raja kecil di negeri ini, legitimasi kharimatik yang dimiliki Xanana Gusmao pada masa perjuangan kemerdekaan. Dengan dan melalui kharisma yang dimilikinya, Xanana mampu menarik sebuah ketaatan politik dari hampir semua lapisan masyarakat negeri ini untuk menentang pendudukan asing dan memperjuangkan kemerdekaan bagi negeri, dan legitimasi rasional-legal sebagaimana kondisi sekarang ini.

Jadi, legitimasi merupakan sesuatu yang sangat penting dan diperlukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang memegang kekuasaan, dalam hal ini pemerintah. Dengan dan melalui legitimasi pemerintah dapat lebih secara cepat menciptakan stabilitas politik dan perubahan sosial, dan dengan legitimasi yang diperoleh maka pemerintah dapat pula mempergunakan alat negara guna memaksa pihak lain untuk mematuhi peraturan dan kebijakan pemerintahan, hal mana dikatakan oleh Talcott Parsons sebagai kewajiban-kewajiban yang mengikat dan sejauh untuk tujuan-tujuan kolektif. Namun demikian perlu diingat pula bahwa sebuah kekuasaan dalam perjalanannya akan mengalami krisis legitimasi apabila terjadi perubahan mendasar di dalam masyarakat, pemerintah tidak memenuhi janji-janjinya, dan juga apabila terjadinya persaingan elit politik yang tajam dan tidak sehat.

Sebuah Tawaran dan Perbandingan

Sebagaimana diketahui bahwa belakangan ini masyarakat dibingungkan oleh pernyataan politik dari Dr. Marii Alkatiri yang menyatakan bahwa Pemerintah AMP pimpinan Xanana Gusmao tidak memiliki legitimasi kekuasaan. Pernyataan politik Dr. Marii Alkatiri tersebut merupakan sebuah pernyataan yang sangat sulit untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara politik maupun hukum. Dr. Marii Alkatiri dan Fretilin perlu merubah konteks permasalahan soal legitimsasi kekuasaan pemerintahan AMP saat ini.

Berdasar pada pernyataan politik Dr. Marii tersebut, penulis mencoba memilah pernyataan politiknya ini ke dalam dua pandangan. Pertama, mempermasalahkan legitimasi kekuasaan sejak awal pemerintahan AMP terbentuk. Kedua, mempertanyakan legitimasi kekuasaan setelah AMP memerintah. Akan lebih beralasan apabila Dr. Marii dan partai oposisi mempertanyakan, bukan mempermasalahkan legitimasi kekuasaan.

Pilihan pertama memiliki konsekwensi membawa Dr. Marii Alkatiri dan partai Fretilin berhadapan dengan Presiden Republik, karena Presiden Republik, dengan segala pertimbagannya telah menunjuk AMP untuk membentuk pemerintahan. Mempermasalahkan legitimasi kekuasaan pembentukan pemerintahan AMP seperti yang sekarang ini dilakukan oleh Dr. Marii Alkatiri tentu tidak akan disokong oleh alasan-alasan politik dan hukum yang kuat karena dasar pembentukan Pemerintahan AMP menurut hemat Penulis telah memenuhi tiga legitimasi kekuasaan sebagaimana disebutkan di atas, yakni legitimasi sosiologis, legalitas dan legitimasi etis. Namun akan lebih beralasan apabila Dr. Marii Alkatiri dan Fretilin sebagai partai oposisi menggunakan pilihan kedua, yakni dengan mempertanyakan apakah pemerintah AMP masih pantas atau layak memiliki legitimasi untuk berkuasa, setelah terjadi berbagai kasus yang saat ini sedang menarik perhatian masyarakat politik negeri ini. Untuk pilihan kedua inipun Fretilin harus tetap bekerja keras untuk menyakinkan publik dan Presiden Republik bahwa telah terjadi kesalahan serius dalam pemerintahan AMP, seperti praktek korupsi, pelecehan seksual oleh beberpa anggota kabinet dengan bawahan mereka, ma-administrasi dan lain sebagainya. Dengan beberapa 'kepincangan' dalam pemerintahan aktual, Fretilin dapat mengajukan permintaan kepada Presiden Republik untuk menarik legitimasi kekuasaan yang dimiliki pemerintah AMP saat ini. Persoalannya adalah apakah publik dan Presiden Republik dapat sepaham dengan partai oposisi, Fretilin bahwa pemerintahan aktual ini telah melakukan kesalahan serius?

Aksi politik Dr. Marii Alkatiri yang sampai dengan saat ini masih mempermasalahkan dan mengkampanyekan bahwa Pemerintah AMP tidak memiliki legitimasi kekuasaan sehingga Xanana Gusmao harus dilengserkan dapat dilihat pula sebagai ketidakpuasan politik Dr. Marii terhadap keputusan Presiden Republik pada tahun 2007 lalu yang menunjuk AMP untuk membentuk pemerintahan. Dr. Marii Alkatiri tahun lalu memiliki harapan bahwa Fretilin akan ditunjuk Presiden Republik untuk kembali memerintah setelah 2,5 tahun AMP memerintah, hal mana disampaikan Presiden Republik menjelang dan setelah AMP membentuk pemerintahan, atau Fretilin memiliki harapan bahwa pada tahun depan akan diadakan Pemilu yang dipercepat, namun sampai dengan saat ini mungkin sinyalemen-sinyalemen ke arah itu terlihat absur oleh partai oposisi. Ketidakpuasan politik Dr. Marii juga tidak terlepas dari jabatan Sekjen Fretilin yang kini masih disandangnya. Kemungkinan dua tahun ke depan Dr. Marii tidak akan menjabat lagi jabatan Sekjen partai Fretilin sehingga kesempatannya untuk menduduki kembali kursi Perdana Menteri di negeri ini akan semakin kecil. Hal ini dapat dilihat dari ancaman yang dikeluarkan oleh Dr. Marii Alkatiri dua bulan lalu kepada kepengurusan partai Fretilin, bahwa apabila Marcha da Paz tidak direalisasikan tahun ini maka dia akan memilih untuk mengundurkan diri dari Sekjen partai.

Persoalan yang saat ini muncul dan rasanya tak pernah selesai antara partai oposisi, Fretilin dan pemerintah AMP pimpinan Xanana Gusmao atau mungkin lebih tepatnya dikatakan persoalan Dr. Mari Alkatiri dengan AMP adalah bermula dari ketidakberhasilan partai Fretilin menguasai parlemen, atau gagalnya partai Fretilin untuk membentuk koalisi dengan partai lain pada Pemilihan Umum 2007 lalu untuk membentuk pemerintahan. Partai CNRT pimpinan Xanana Gusmao yang berhasil membangun koalisi dengan partai-partai lain dan mampu meyakinkan Presiden Republik untuk membentuk pemerintahan pada 2007 lalu. Ketidakberhasilan partai Fretilin mengusai parlemen pada Pemilu tahun lalu menyebabkan partai ini memilih untuk menjadi oposisi tulen di parlemen, sebuah posisi yang cukup terhormat pula dalam demokrasi.

Apabila dilakukan perbandingan atas proses politik di negeri ini, keadaan yang dialami oleh partai Fretilin dan Dr. Marii Alkatiri pada tahun 2007 lalu sama dengan apa yang dialami oleh partai PDI-Perjuangan dan Megawati Sukarnoputri di Indonesia pada tahun 1999. PDI-Perjuangan pada saat itu memenangkan pemilihan legislatif, namun sebuah kemenangan dengan simple mayority, yakni hanya mampu mengumpulkan 34% kursi di parlemen. Dengan hanya memiliki 34% kursi di parlemen, dan tidak berhasil membangun koalisi dengan partai lain maka Megawati Sukarnoputri gagal untuk menjadi RI-1. Partai PDI-Perjuangan kalah dengan kepiawaian seorang Amien Rais yang membangun Poros Tengah dan berhasil menghantarkan Gus Dur menjadi Presiden Ke-4 Indonesia. Melalui lobi politik yang melelahkan, akhirnya secara legowo Megawati dapat menerima dan pada akhirnya berhasil mengalahkan Hamzah Haz dari PPP dengan suara 396 banding 284 dalam perebutan kursi Wakil Presiden RI.

Bercermin pada apa yang dialami oleh Dr. Marii Alkatiri dan Fretilin pada tahun 2007 dan apa yang dialami oleh Megawati Sukarnoputri dan PDI-Perjuangan pada sembilan tahun yang lalu, tentu dapat mengingatkan dan membawa sebuah pemahaman bagi setiap dan semua warga politik negeri ini untuk secara sadar menerima bahwa, konseweksi dari sebuah kemenangan dengan simple mayority dalam sebuah negara hukum yang demokratis adalah: menang tetapi belum tentu dapat memerintah. *** End *** (Artigu ne'e hatun mos iha Timor Post iha Edisaun: 10, 11 e 12 de Novembro 2008).

Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.