*). J. MONTEIRO (monteiro.87@hotmail.com)
Ibis Ius, ibis societas adalah di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Dalam artian, kehadiran perangkat hukum dalam mengatur system dan tatanan kehidupan manusia itu, sejak masih dalam usia janing lalu lahir, tumbuh dewasa hingga wafat selalu diikuti dengan suatu piranti hukum yang konkrit. Hal ini berarti hukum tidak seolah dipandang sebagai suatu kerelativan melainkan, hukum merupakan suatu system absolute yang memang amat diharapkan peran sertanya di setiap pembangunan bangsa dari berbagai macam sector dan sub-sector tanpa memandang esensialitas dari masing-masing sector dan sub-sektor dalam pembangunan dan pengembangan system dan kerangka hidup dari setiap komponen bangsa dan negara yang bernaluri mewujudkan pola pikir anak bangsa, bebas dari hirupan udara Kolusi-Korupsi-Nepotisme (KKN).
Terlepas dari sebuah ilustrasi fenomenal di atas, penulis ingin menanggapi pemikiran kontradiktif dari berbagai kalangan terkait dengan rencana TL, lewat pemerintahan AMP dalam mendirikan suatu lembaga khusus yang menangani masalah tindak pidana korupsi yang kini sedang merajarela di negeri setengah pulau ini. Pandangan controversial terhadap strategi pemerintahan AMP dalam menelorkan lembaga independen ini, antara lain; minimnya SDM, tidak dikehendakinya UUD RDTL dll. Konon, hingga saat ini pemerintah melalui dewan legislative, Sub-Komisi C, bidang anti-korupsi bersama Presiden Republik tampaknya masih bingung untuk mendirikan model institusi pemberantasan korupsi setelah melakukan beberapa comparative studies di beberapa negara seperti, Indonesia, Hong Kong, dan Macau. Tentu, eksistensi dari tipe komisi pemberantasan korupsi yang ada di negara-negara yang telah disebut tadi, hadir dan tercipta berlandaskan pada tuntutan masyarakat yang terwakilkan lewat suatu piranti hukum khusus (lex specialis) yang communal, bukan individualis, tendensius dan ambisius.
Model Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia cocok diterapkan di TL
Barangkali banyak dari berbagai khalayak yang tidak sependapat dengan penulis bahwa ternyata KPK Indonesia adalah punya jiwa dan roh yang cocok untuk diciptkan di negara kita. Alasan mendasarnya, kehadiran model KPK Indonesia di TL adalah merupakan realisasi dari cita-cita Pasal 41 dan 43 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) milik Indonesia yang hingga saat ini masih dipakai sebagai landasan hukum dalam praktek hukum acara pidana, khususnya pidana korupsi. Sebab, pada kedua pasal yang disebut di atas memang membutuhkan hadirnya peranan masyarakat dalam memberantasi tindakan bejat dan haram ini, setelah UU No. 31/1999 tentang PTPK diundangkan. Implementasi dari UU No. 31/1999 ini juga diizinkan oleh UUD RDTL, bahwa peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku di TL akan tetap berlaku, berkaitan dengan semua hal kecuali bila bertentangan dengan UUD atau asas-asas yang terkandung di dalamnya, (Pasal 165 UUD RDTL). Namun demikian, substansi dari UU No. 31/1999 tidak seluruhnya bisa diterapkan di negara kita, karena ada pasal-pasal tertentu yang memang bunyinya bertentangan dengan UUD TL, seperti pada Pasal Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999 menjelaskan bahwa…..”dalam hal tertentu tindak pidana korupsi dapat dijatuhi pidana mati yang merupakan pemberatan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Terbukti kalau Pasal 32 ayat 1 UUD TL “tidak mengakui” adanya hukuman pidana mati di negara kita.
Perlu perubahan terhadap UUD RDTL
Kehadiran suatu piranti hukum dengan maksud memberikan efek jerah kepada para pelaku tentu menuntut adanya amandemen terhadap konstitusi RDTL. Apalah artinya, kalau ternyata eksistensi hukum di suatu negara itu sudah tidak sesuai dengan perkembagan zaman dan system tatanan hidup masyarakatnya. Hal itu berarti, salah satu solusi yang perlu ditempuh adalah melakukan perubahan-perubahan dari konstitusi itu, di mana dalam hirarki hukum kita UUD (konstitusi) adalah produk hukum (grundnorm) di negara kita, sehingga efek dari ketidak-rubahan UUD meskipun ternyata sudah tidak lagi sesuai dengan tuntutan rakyat, seperti system dalam hirarki kenegaraan pun akan mengalami paralisis. Dalam tulisan ini, penulis juga tidak tegas mengatakan substansi dari Pasal dan Ayat UUD RDTL mana yang perlu diamandemen, namun lazimnya semua UUD yang berlaku di negara manapun itu absolute menghendaki adanya amandemen sewaktu-waktu. Contohnya, Indonesia sendiri telah mengamandemen UUD mereka hingga empat kali (tahun 1999 I, 2000 II, 2001 III dan 2002 IV), namun sampai saat ini masih tetap adanya tuntutan-tuntutan untuk amandemen selanjutnya. Dan sebenarnya dengan tidak mendogmatisasikan UUD itu akan memberikan ruang gerak yang sangat luas untuk merancang dan menatapkan produk hukum yang bisa mengatur dan melarang suatu tindak pidana apapun, termasuk menciptkan suatu produk hukum baru untuk pemberantasan korupsi dan komisi pemberantasan korupsi itu sendiri.
Kesimpulan
Strong and political will dari pemerintahan AMP melalui koordinasi antara badan legislative dan Presiden Republik dalam merancang dan mensahkan suatu produk hukum khusus (lex specialis) untuk pemberantasan korupsi dan komisi pemberantasan korupsi adalah suatu keharusan yang perlu ditindak lanjuti secepatnya, sebelum sendi-sendi negeri setengah pulau ini dibobroki oleh para koruptor-koruptor kakap yang selalu tampil senang dan ria melihat rakyat negeri ini terusan hidup tersiksa dan merasa dijajah oleh negara sendiri. Political will pemerintahan AMP dalam merealisasikan negara bekas koloni Portuguese dan Indonesia bebas dari tindakan bejat seperti korupsi akan dengan sendirinya negara mendapat uluran tangan dari berbagai negara dan organisasi internasional lainnya yang misi dan orientasinya membantu negara-negara miskin yang kondisi perekonomiannya masih morat-marit, termasuk negara Timor Leste. Selain itu, apabila TL ingin mewujudkan cita-cita good governance, maka wajah negara harus dibilas sehingga bersih dari korupsi dan dampaknya akan menciptakan lahan investasi untuk investor asing agar menanamkan saham di negara kita. Sehingga salah satu permasalahan nasional seperti pengacara alias penggangguran banyak acara dapat secepatnya tertanggulangi.
Reformasi hukum di negara Timor Leste melalui perubahan-perubahan terhadap hukum positif (ius constitutum) oleh badan legislative dan eksekutif yang terwakili dari khalayak umum (terutama rakyat jelata) adalah suatu langkah positif yang bisa memberikan image baru kepada negara kita yang saat ini tengah diluluri wajahnya dengan lumpur lapindo di Sidoarjo, Jatim, Indonesia. Amat sangat ironis, kalau ternyata niat baik dari pemerintahan AMP hanya diakhiri dengan suatu retorika di ujung lidah. Kondisi dan gaya hidup rakyat yang terus-terusan menjerit karena kondisi perekonomian negara ini jelas-jelas menuntut adanya amandemen terhadap konstitusi (UUD) TL yang nota bene bukan merupakan “ke-sepuluh perintah Allah” bagi yang beragama Katolik, atau bahkan perintah-perintah/larangan dari agama Islam, Kristen dll.
Model atau tipe lembaga pemberantasan korupsi (KPK) di Indonesia sangat cocok diterapakan di Timor Leste dengan alasan untuk merealisasikan cita-cita hukum dari Pasal 41 dan 43 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan merealisasikan cita-cita dari Pasal tersebut di atas, maka salah satu tanggung jawab dan wewenang dari PDHJ seperti pemberantasan Korupsi akan terpisah. Selain itu, apa bila cita-cita dari Pasal tersebut di atas diwujudkan maka akan secara tegas memberikan ruang gerak yang luas dan independen dari Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas-pokok-fungsinya (tupoksi). Terutama, tupoksi dari aparat kepolisian dan kejaksaan sebagai penyidik, penyelidik dan pentunt pun akan terpilahkan dengan sendirinya. Sehingga yuridiksi dari KPK sendiri bisa lebih menggigit ketimbang yuridiksi PDHJ yang saat ini banyak gonggongannya, karena tupoksi dari PDHJ amat sangat luas, seingga kinerjanya terkesan tidak menyeluruh. Pembentukan model KPK Indonesia di Timor Leste harus didukung dengan totalitas, qualitas dan loyalitas yang tinggi serta ditonggaki dengan integritas individual dan kelompok yang tinggi dari anggota komisi ini. Sekalipun secara struktur dan formasi dari KPK yang akan dibentuk di negara kita nantinya tidak sekalibar KPK versi Indonesia pun harus ditindak-lanjuti sedini mungkin sebab tindak pidana korupsi ini merupakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh para koruptor kakap, dalam hal ini rakyat Timor Leste di sini tidak hanya menjadi masyarakat biasa, tapi masyarakat yang juga memiliki hak-hak keperdataan terhadap kekayaan negara, sebab ada dana dan khas negara yang bersumber dari sumbangan/pajak masyarakat. Apakah komponen bangsa, terutama generasi penerus sebagai agen perubahan (agent of change) tega membiarkan para tikus-tikus itu mencuri uang negeri sun-rise? Do not let it happens, please!
*). MAHASISWA FAKULTAS HUKUM (SEMESTER V)
UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA, INDOENSIA
ALAMAT: JL. KLAMPIS NGASEM TEMBUSAN NO. 15, SURABAYA
TELP. +6281 353 898 525
*). MAHASISWA FAKULTAS HUKUM (SEMESTER V)
UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA, INDOENSIA
ALAMAT: JL. KLAMPIS NGASEM TEMBUSAN NO. 15, SURABAYA
TELP. +6281 353 898 525
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.