VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20080502

PEMBERIAN REMISI OLEH PR HORTA KEPADA NAPI SR. REGERIO LOBATO (MANTAN MENDAGRI) ADALAH TIDAK BERNUANSA HUKUM

*J. MONTEIRO (jmonteiro87@yahoo.com)

Pemberian remisi (potongan hukuman masa penjara) adalah hak prerogratif Presiden Republik sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi TL. Sayangnya, pemberian remisi oleh PR Horta kepada mantan Mendagri TL Sr. Regerio Lobato dinilai menelantarkan hukum formil dan hukum materil yang berlaku di Negara kita. Pemberian remisi yang melenceng dari system dan tatanan hukum positif (ius constitum) kita justru akan menimbulkan ketidak-sehatan pemikiran masyarakat dalam mewujudkan stabilitas nasional yang kini sedang rapuh. Opini public yang sedang mewarnai berbagai media di tanah air pastinya menimbulkan ambigo. Terjadi polemik di mana-mana. Tentunya ada kalangan masyarakat yang pro, namun ada pula yang kontra mengenai tindakan Kepala Negara kita.

ALASAN PR. HORTA TIDAK BERKEPASTIAN HUKUM

Alasan fundamental PR Horta dalam menghadiahkan remisi kepada Sr. Rogerio Lobato pada tanggal 20 Mei 2008 mendatang adalah tidak berkapastian hukum. Hal mana, pemberian remisi dikarenakan banyak keluarga Sr. Regerio Lobato yang berjasa demi pembebesan rakyat dari cengkeraman Indonesia adalah bernuansa humanis, tapi bukan yuridis. Karena perbuatan makar Sr. Regerio Lobato yang lakukan tahun 2006 silam adalah kejahatan melawan negara. Hal ini berdasarkan putusan Pengadilan Distrital Dili dengan vonis hukuman penjara 7 tahun 6 bulan. Memang norma-norma hukum tidak bisa dilepaskan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, kehadiran hukum akan menjadi panglima tertinggi di suatu negara, apabila unsur-unsur dan nilai-nilai kemanusiaan itu dilanggar oleh seseorang. Presensi hukum di sini adalah untuk menjadi a tool of social engineering atau ikon perubahan social sehingga wujud dan aplikasi dari law is in the book dalam merealisasikan equality before the law betul-betul menjadi nyata. Bila keputusan PR Horta hanya berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga harus mengesampingkan unsur hukum formil dan materil di negara kita, maka hal ini akan menimbulkan penafsiran yang kabur dan melahirkan preseden fatal untuk keputusan-keputusan di hari esok.

REMISI HANYA DIBERIKAN KEPADA NAPI YANG BERPRESTASI

Istilah prestasi dalam hukum perdata adalah kewajiban subjek hukum yang harus dipenuhi berdasarkan asas pacta sunt servanda. Namun istilah prestasi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kelakuan-kelakuan baik yang ditunjukkan oleh seorang napi dari sejak ia menerima vonis hukuman penjara oleh Pengadilan. Prestasi di sini, seorang napi harus menjalankan masa tahanannya di penjara minimal 50 %. Namun, semuanya harus berpatok pada UU Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) kita. Pemberian remisi oleh PR Horta kepada napi Sr. Rogerio Lobato adalah hak prerogratifnya, namun keputusan-keputusan PR dalam memberikan remisi kepada napi juga diharapkan agar tidak bertentangan dengan aturan hukum dalam hal ini, UU (Lembaga Pemasyarakatan) LAPAS dan sehingga keputusan itu tidak berakhir dengan sebuah tendensi politis belaka. Oleh karenanya, Mr. PR. Horta jangan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan ini lalu akhirnya menimbulkan suatu keputusan hukum yang negative. Ada baiknya, kalau Mr. Horta mempelajari referensi dan data-data akurat dari seorang napi sebelum ia diberi remisi. Lalu muncul pertanyaan, apakah Mr. Regerio Lobato sudah berprestasi sejak beliau vonis dengan hukuman penjara 7 tahun 6 bulan? Jawabannya, tentu belum. Pada saat Mr. Regerio Lobato divonis dengan hukuman penjara 7 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Distrital Dili, beliau memang sempat menjalankan kewajibannya sebagai seorang napi di LP Becora. Namun, kondisi kesehatan beliau menuntut akhirnya harus menjalankan perawatan medis di Malaysia dengan fasilitas dan perlakuan VVIP. Masih dalam kening penulis, kepergian Mr. Regerio Lobato ke Malaysia waktu itu sempat dicekal oleh pemerintah lewat Kementrian Kehakiman karena urusan administrasi dan hukum yang menurut sebagian anggota PN dan Menteri Kehakiman sendiri belum beres. Hak mendapat perawatan medis adalah haknya semua napi, tanpa perkecualian selama menjalani masa tahanan di LP. Namun demikian, akibat kondisi kesehatan Mr. Regerio Lobato sehingga harus dirawat di Negeri Jiran dinilai bahwa beliau belum menjalankan kewajibannya sebagai seorang napi, dan dikatakan belum berprestasi. Hak beliu dalam mendapatkan perawatan medis dinilai sangat istimewa dari napi-napi lainnya. Namun kewajiban beliau dalam memberikan prestasi sebagai seorang napi adalah justru lebih buruk dari napi lainnya. Inilah yang perlu ditafsir secara luas oleh PR. Horta sebelum memberi remisi kepada Mr. Regerio Lobato. Sebagai seorang Presiden diharapkan bisa menjalankan wewenangnya secara professional, hati-hati, adil dan merata karena keputusan yang dibuat oleh seorang Presiden bisa saja meresahkan hati rakyatnya. PR. Horta diharapkan agar bisa menggunakan suara rakyat (vox populi) yang dipercayakan selayaknya sehingga cita-cita hukum nasional kita menuju produk hukum yang benar-benar fer bagi semua orang tidak menjadi iming-iming belaka. Ini bukan berarti bahwa, sebagai rakyat biasa, ingin mengotak-atik hak-hak mutlak Presiden yang telah diikrarkan dalam Konstitusi kita.

KESIMPULAN

Pemberian remisi kepada napi harus bersifat kualitatif, bukan kuantitatif. Dalam artian, kelayakan napi dalam menerima remisi itu harus berdasarkan kewajibannya dalam berprestasi sejak ia divonis oleh Pengadilan hingga selama menjalani masa tahanan penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP). Oleh karenanya, pengumpulan laporan akurat dari seorang napi oleh Kementrian Kehakiman kepada Presiden sebagai daftar pustaka sebelum pemberian remisi karena hak mutlak Presiden adalah sangat esensi. Dengan demikian, suatu keputusan Presiden dalam menggunakan hak-hak prerogratifnya tidak menciptakan opini yang bersifat ambigo di kalangan masyarakat.

Dalam memberikan remisi adalah hak absolute Presiden Horta sebagaimana ditabiskan dalam Konstitusi TL, namun bukan berarti penggunaan hak-hak absolute itu, seorang Presiden harus meniadakan asas-asas hukum formil dan hukum materil kita. Memang benar kalau Konstitusi atau UUD adalah produk hukum tertinggi (grundnorm) di suatu negara. Tapi keputusan-keputusan hukum yang bersifat yuridis lazimnya berlandaskan pada asas lex specialis derogat legi generalis, artinya ketentuan khusus selalu mengalahkan ketentuan umum.

*MAHASISWA FAKULTAS HUKUM (SEMESTER IV)
UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA, INDONESIA.

Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.