oleh Francisco Cepeda
STL,05/04/2007
Pemilu Presidensil sedang di ambang pintu. Para calon yang mau bertarung sedang bertempur. Jumlahnya tergolong lumayan banyak. Mulai dari yang berkategori usia muda hingga tua. Dari calon independen hingga calon-calon dari partai politik.
Dilihat dari quantity setting, patut kita bangga karena hal ini mencerminkan ada demokrasi di negara baru ini. Mungkin demokrasi kita masih lebih baik dibandingkan beberapa negara dunia ketiga dan keempat yang lebih tua usianya.
Dari statement para calon Presiden di hari-hari kampanye, terdengar banyak sekali programnya. Dan semuanya indah. Ada yang mau melakukan reformasi di segala bidang; ada yang mau membagi hasil minyak dan gas kepada rakyat; ada yang menjadikan pembentukan identitas nasional sebagai fokus; ada yang menginginkan penggunaan cara-cara persuasif untuk menyelesaikan masalah keamanan yang sedang dihadapi negara; ada yang mau memperbaiki institusi PNTL dan FFDTL dan masih banyak lagi.
Sebagai negara demokratis, berapapun jumlah calon dengan bermacam-macam programnya tidak menjadi masalah. Semuanya sah! Konstitusi kita tidak membatasinya. Semakin banyak alternatif pilihan mungkin semakin baik pula bagi para pemilih untuk memilih calon yang paling tepat menurut mereka.
Persoalan yang muncul adalah, siapa kira-kira calon yang paling pantas memimpin negara ini? Dimensi kepantasannya diukur dengan acuan apa? Atau dengan kata lain, apa referensi yang harus dipegang untuk menentukan siapa orang yang paling tepat menjadi Presiden untuk periode yang akan datang?
Di Amerika Serikat misalnya, ketika Bill Clinton mengalahkan George Bush Senior, ia mendapat dukungan dari banyak kalangan, termasuk dari kalangan kaum muda golongan masa mengambang (floating mass). Lewat survey orang bertanya kepada anak-anak muda ini, mengapa kalian pilih Clinton? Jawaban mereka singkat, “karena ia ganteng”! Kok itu acuannya? Ya! Mereka tidak mau pusing dengan program politik para calon. Bagi mereka, kedua kandidat memiliki program yang relatif sama baiknya bagi rakyat Amerika. Yang berbeda mungkin jumlah hasilnya saja. Yang satu barangkali mendatangkan keuntungan sedikit lebih besar dari yang lain. Ibarat orang membagi beras, ada yang dapat satu karung dan ada yang dua. Meskipun berbeda jumlahnya tetapi semua orang dapat. Tak seorang pun pulang rumah dengan tangan kosong.
Timor-Leste jelas bukanlah Amerika Serikat! Dan tidak pantas pula melakukan perbandingan antara kedua negara dengan sistem politik yang berbeda ini. Sebagai negara industri maju, Amerika mempunyai target politiknya sendiri. Apa yang dikejar Amerika adalah prestise sebagai negara kuat. Bagaimana menjadikan Amerika satu-satunya kekuatan adidaya di dunia. Jadi yang dikejar sesuatu di luar jangkauan negara. Tetapi negara dalam konteks nasional, aman di segala aspek kehidupan. Aman secara politik, ekonomi maupun sosial.
Tidak demikian halnya dengan Timor-Leste. Keadaan negara ini sangat parah. Keparahan yang diselimuti oleh beragam masalah. Mulai dari gugus konflik politik-militer, masalah ekonomi hingga sosial. Ada kasus Peticionário; kasus Mayor Alfredo Reinaldo; konflik antara kelompok Seni Beladiri; masalah pengangguran dan lain-lain. Berkat kebesaran Presiden Republik konflik-konflik yang ada berhasil diredakan tetapi akar permasalahannya masih tetap tersimpan utuh. Dan sederetan konflik ini menyimpang potensi ancaman yang luar biasa besar bagi keutuhan atau integritas negara. Konfrontasi fisik antara solidaritas orang Loromonu melawan Lorosae setahun yang lalu telah membuktikan hal itu. Oleh sebab itu, boleh saya katakan bahwa, untuk sementara waktu, tiada lagi target lain bagi Timor-Leste. Satu-satunya target yang harus kita kejar adalah menyelamtakan negara dari ancaman-ancaman yang ada. Upaya ini harus betul-betul menjadi prioritas utama rakyat Timor-Leste sebelum fokus negara beralih ke hal-hal lain di luar kebutuhan urgent penyelamatan negara .
Dengan demikian, tidaklah tepat dalam memilih Presiden, kita mencoba meniru gaya anak-anak muda Amerika Serikat. Referensi kita harus lain. Dimensi kegantengan atau sejenisnya harus dibuang jauh-jauh. Kita harus mengikuti Pemilu ini dengan penuh tanggung jawab. Kita harus menjadi realistis dalam menentukan pilihan kita. Kita jangan sembrono memilih seorang Presiden hanya sekedar karena ia berprototipe seperti Che Guevara; sekedar karena lantang bicara di Parlamen; sekedar karena mempersonifikasikan diri sebagai wakil generasi baru; sekedar karena dicalonkan partai historis; sekedar karena bergelar founding father of state; sekedar karena masalah gender yang lagi trend menjadi tuntutan dunia dan sebagainya. .
Dimensi acuan-acuan di atas sama sekali tidak relevan untuk memilih seseorang untuk memimpin sebuah negara yang sedang berdiri di tepi kehancuran. Kita butuh Presiden yang memiliki paling tidak dua dimensi acuan berikut: kemampuan berdialog dan menjadi marketing bagi dunia internasional.
Krisis yang sedang melanda Timor-Leste merupakan sebuah krisis yang terpadu yang sulit dipisahkan satu dengan yang lain. Ada konflik politik di tingkat atas, yang karena salah urus, berkembang melibatkan kalangan luas yang selama masa pemerintahan yang pertama merasa teralienasi secara ekonomi.
Untuk menyelamatkan negara mau tidak mau krisis politik yang ada harus diselesaikan. Dan selesai tidaknya krisis tersebut tergatung juga pada Presiden terpilih. Karena ada masalah yang membutuhkan penyelesaian hukum tetapi ada juga yang politis.
Selama masa kampanye ada beberapa calon yang berjanji akan segera menyelesaikan konflik politik militer yang ada kalau mereka jadi terpilih. Dari statement mereka, tampak sekali seolah proses penyelesaian konflik yang ada mudah. Mereka mengira dengan hanya berpegang teguh pada Konstitusi semuanya menjadi gampang. Padahal, proses penyelesaian konflik lewat pendekatan politis akan jauh lebih sulit ketimbang pendekatan hukum. Apalagi bagi calon yang selama krisis berlangsung menunjukkan kecenderungan membela kelompok tertentu dan menentang kelompok lain serta calon-calon lain yang suka mengeksploitir kasus Major Alfredo demi perolehan dukungan. Ingat bahwa penyelesaian hukum adalah untuk mengetahui siapa benar dan siapa salah. Yang benar mendapat kebebasan dan yang salah dihukum. Sedangkan penyelesaian politis adalah untuk menemukan konsensus. Tidak ada yang salah dan benar. Semua salah dan semua benar. Inilah keruwetannya yang tidak sembarang orang bisa menanganinya. Di sini, dibutuhkan seorang Presiden yang selain mempunyai kemampuan, visi kenegaraan, diterima semua pihak terutama pihak-pihak yang berkonflik, juga harus berpengalaman dalam mengelola konflik.
Krisis yang terjadi di Timor-Leste juga tidak terlepas dari ketidakpuasn rakyat terhadap keadaan ekonomi negara. Realitas menunjukkan, tingkat pengangguran di negara ini relatif sangat tinggi. Setiap penduduk Timor-Leste rata-rat mengkonsumsi kurang dari satu dolar per hari. Belum termasuk peningkatan jumlah usia pencari kerja yang tiap tahun mencapai kurang lebih 15.000 orang.
Rakyat yang frustrasi biasanya mudah diracuni, dimobilisir dan diarahkan untuk melakukan apa saja termasuk merongrong stabilitas negara sekalipun. Sehingga konflik sekecil apapun di tingkat atas cepat berkembang menjadi konflik horizontal yang meluas.
Untuk mencegah dan mengatasi keadaan ekonomi semacam itu mau tidak mau negara harus mampu mancari solusinya. Salah satu jalan yang paling mudah untuk itu adalah mendatangkan investasi asing. Hanya investasi asing yang diharapkan mampu menyediakan lapangan kerja yang banyak kepada rakyat. Pengembangan industri kecil dan menengah dalam negeri saja belum cukup. Apalagi mengandalkan lapangan kerja dari investasi publik (proyek pemerintah) yang sifatnya hanya musiman.
Diakui bahwa unuk menarik investor asing bukanlah pekerjaan mudah. Banyak variable determinannya, terutama stabilitas poltik dalam negeri. Dan biasanya merupakan pekerjaan pemerintah, bukan Presiden Republik. Tetapi akan lebih baik lagi kalau kita memiliki seorang Presiden yang dikenal luas di dunia yang nantinya dapat bekerja bahu-membahu dengan pemerintah untuk cepat menarik investor asing.
Timor-Leste pernah memiliki seorang Perdana Menteri yang sangat tidak popular di luar negeri, kecuali “di lingkungan CPLP”. Akan tetapi hal ini tidak sempat membuat negara ini dilupakan dunia karena kebetulan di saat yang bersamaan kita juga memiliki seorang Presiden Republik yang cukup dikenal di tingkat internasional dan mempunyai hubungan yang sangat baik dengan negara-negara di kawasan Asia, Eropa dan terutama dengan Amerika Serikat. Lewat kepopulerannya ini, Presiden berhasil memainkan peranan extra (peranan pemerintah) dalam membantu memajukan pembangunan negara ini. Beliau berhasil mempromosikan Timor-Leste di luar negeri dan mengundang banyak investor asing ke Timor-Leste. Perkara ada hasil nyata atau tidak tentu saja bukan lagi urusan Presiden, melainkan pemerintah. Pemerintahlah yang tidak tahu memanfaatkan peluang yang ada. Birokrasi yang sentralistis merupakan salah satu sebab daripada kegagalan itu, termasuk stabilitas poltik yang tidak memadai karena tindakan pemerintah yang suka mencari masalah di dalam negeri.
Peranan extra lain yang dimankan Presiden adalah pengiriman putra-putri Timor-Leste mengambil pendidikan kedokteran di Cuba. Proyek ini merupakan hasil kesepakatan antara Presiden Republik dengan Presiden Fidel Castro pada tahun 2003 saat mereka menghadiri Konferensi Gerakan Non-Blok di Kuala Lumpur, Malaysia. Meskipun pemerintah mengklaim seolah-olah proyek ini merupakan hasil karyanya, tetapi sesungguhnya bukan. Pemerintah hanya mengimplementasi apa yang dirintis Presiden. Bayangkan saja kalau bukan Presiden yang berdiri di balik proyek besar ini mungkin hubungan kita dengan Amerika Serikat sudah tidak seperti saat ini lagi.
Dari kacamata hubungan internasional, aktor politik yang semula memainkan peranan penting adalah individu. Orang yang terkenal dan berpengaruh akan lebih banyak mendatangkan keuntungan bagi negara karena suaranya didengar. Setting ini kemudian mengalami perkembangan. Aktor individu tadi mengalami kemunduran dan digantikan oleh negara sebagai aktor yang paling menonjol.
Akan tetapi paradigma semcam ini hanya cocok untuk negara yang sistem politiknya stabil. Jepang misalnya, karena sistem politiknya yang mapan, yang dipercaya dunia adalah negara bukan individu tertentu dalam negara. Padahal tidak jarang pergantian pemerintahan di negara tersebut berlangsung dua sampai tiga kali dalam setahun.
Yang terjadi di negara kita ini justru sebaliknya. Aktor negara tidak menonjol. Sebabnya karena kita belum memiliki sebuah sistem politik yang stabil. Kita baru mau mengawali proses tersebut. Sehingga setiap kali orang bicara tentang Timor-Leste referensinya selalu mengarah ke Xanana dan Ramos-Horta. Suara pemerintah yang dikuasai partai maioritas pun sering tidak didengar dunia.
Sebentar lagi Xanana akan meninggalkan kursi Presiden. Yang akan menggantikannya pasti salah satu dari kedelapan calon yang ada. Tinggal para pemilih menentukan siapa yang mau dibidik.
Tak seorang calon pun yang tidak kita kenal. Termasuk kelebihan dan kelemanhannya masing-masing. Tetapi ingat pepatah klasik ini: “the right man in the right place and at the right time”. Pepatah ini memperingatkan kita bahwa tidak semua orang cocok untuk waktu yang bersamaan. Ada yang baik untuk hari ini tetapi tidak baik untuk hari esok. Ada yang baik untuk masa lalu, tetapi tidak baik untuk saat sekarang. Lalu, bagaimana jadinya? Kembali ke referensi di atas. Bahwa Timor-Leste sedang terancam keutuhannya sebagai negara. Kita wajib menyelamatkannya. Untuk itu, kita betul-betul membutuhkan seorang Presiden yang harus memenuhi kedua kriteria di atas. Berkemampuan mengelola konflik dan dikenal dunia. Kompleksitas masalah yang menyebabkan krisis politik di negara ini tidak pernah akan kita selesaikan dengan seorang Presiden yang tidak memenuhi kedua kriteria ini. Siapa kira-kira orangnya? Silakan para pembaca menarik kesimpulannya sendiri.
Penulis adalah permerhati masalah politik dengan spesialisasi hubungan internasional.
Pemilu Presidensil sedang di ambang pintu. Para calon yang mau bertarung sedang bertempur. Jumlahnya tergolong lumayan banyak. Mulai dari yang berkategori usia muda hingga tua. Dari calon independen hingga calon-calon dari partai politik.
Dilihat dari quantity setting, patut kita bangga karena hal ini mencerminkan ada demokrasi di negara baru ini. Mungkin demokrasi kita masih lebih baik dibandingkan beberapa negara dunia ketiga dan keempat yang lebih tua usianya.
Dari statement para calon Presiden di hari-hari kampanye, terdengar banyak sekali programnya. Dan semuanya indah. Ada yang mau melakukan reformasi di segala bidang; ada yang mau membagi hasil minyak dan gas kepada rakyat; ada yang menjadikan pembentukan identitas nasional sebagai fokus; ada yang menginginkan penggunaan cara-cara persuasif untuk menyelesaikan masalah keamanan yang sedang dihadapi negara; ada yang mau memperbaiki institusi PNTL dan FFDTL dan masih banyak lagi.
Sebagai negara demokratis, berapapun jumlah calon dengan bermacam-macam programnya tidak menjadi masalah. Semuanya sah! Konstitusi kita tidak membatasinya. Semakin banyak alternatif pilihan mungkin semakin baik pula bagi para pemilih untuk memilih calon yang paling tepat menurut mereka.
Persoalan yang muncul adalah, siapa kira-kira calon yang paling pantas memimpin negara ini? Dimensi kepantasannya diukur dengan acuan apa? Atau dengan kata lain, apa referensi yang harus dipegang untuk menentukan siapa orang yang paling tepat menjadi Presiden untuk periode yang akan datang?
Di Amerika Serikat misalnya, ketika Bill Clinton mengalahkan George Bush Senior, ia mendapat dukungan dari banyak kalangan, termasuk dari kalangan kaum muda golongan masa mengambang (floating mass). Lewat survey orang bertanya kepada anak-anak muda ini, mengapa kalian pilih Clinton? Jawaban mereka singkat, “karena ia ganteng”! Kok itu acuannya? Ya! Mereka tidak mau pusing dengan program politik para calon. Bagi mereka, kedua kandidat memiliki program yang relatif sama baiknya bagi rakyat Amerika. Yang berbeda mungkin jumlah hasilnya saja. Yang satu barangkali mendatangkan keuntungan sedikit lebih besar dari yang lain. Ibarat orang membagi beras, ada yang dapat satu karung dan ada yang dua. Meskipun berbeda jumlahnya tetapi semua orang dapat. Tak seorang pun pulang rumah dengan tangan kosong.
Timor-Leste jelas bukanlah Amerika Serikat! Dan tidak pantas pula melakukan perbandingan antara kedua negara dengan sistem politik yang berbeda ini. Sebagai negara industri maju, Amerika mempunyai target politiknya sendiri. Apa yang dikejar Amerika adalah prestise sebagai negara kuat. Bagaimana menjadikan Amerika satu-satunya kekuatan adidaya di dunia. Jadi yang dikejar sesuatu di luar jangkauan negara. Tetapi negara dalam konteks nasional, aman di segala aspek kehidupan. Aman secara politik, ekonomi maupun sosial.
Tidak demikian halnya dengan Timor-Leste. Keadaan negara ini sangat parah. Keparahan yang diselimuti oleh beragam masalah. Mulai dari gugus konflik politik-militer, masalah ekonomi hingga sosial. Ada kasus Peticionário; kasus Mayor Alfredo Reinaldo; konflik antara kelompok Seni Beladiri; masalah pengangguran dan lain-lain. Berkat kebesaran Presiden Republik konflik-konflik yang ada berhasil diredakan tetapi akar permasalahannya masih tetap tersimpan utuh. Dan sederetan konflik ini menyimpang potensi ancaman yang luar biasa besar bagi keutuhan atau integritas negara. Konfrontasi fisik antara solidaritas orang Loromonu melawan Lorosae setahun yang lalu telah membuktikan hal itu. Oleh sebab itu, boleh saya katakan bahwa, untuk sementara waktu, tiada lagi target lain bagi Timor-Leste. Satu-satunya target yang harus kita kejar adalah menyelamtakan negara dari ancaman-ancaman yang ada. Upaya ini harus betul-betul menjadi prioritas utama rakyat Timor-Leste sebelum fokus negara beralih ke hal-hal lain di luar kebutuhan urgent penyelamatan negara .
Dengan demikian, tidaklah tepat dalam memilih Presiden, kita mencoba meniru gaya anak-anak muda Amerika Serikat. Referensi kita harus lain. Dimensi kegantengan atau sejenisnya harus dibuang jauh-jauh. Kita harus mengikuti Pemilu ini dengan penuh tanggung jawab. Kita harus menjadi realistis dalam menentukan pilihan kita. Kita jangan sembrono memilih seorang Presiden hanya sekedar karena ia berprototipe seperti Che Guevara; sekedar karena lantang bicara di Parlamen; sekedar karena mempersonifikasikan diri sebagai wakil generasi baru; sekedar karena dicalonkan partai historis; sekedar karena bergelar founding father of state; sekedar karena masalah gender yang lagi trend menjadi tuntutan dunia dan sebagainya. .
Dimensi acuan-acuan di atas sama sekali tidak relevan untuk memilih seseorang untuk memimpin sebuah negara yang sedang berdiri di tepi kehancuran. Kita butuh Presiden yang memiliki paling tidak dua dimensi acuan berikut: kemampuan berdialog dan menjadi marketing bagi dunia internasional.
Krisis yang sedang melanda Timor-Leste merupakan sebuah krisis yang terpadu yang sulit dipisahkan satu dengan yang lain. Ada konflik politik di tingkat atas, yang karena salah urus, berkembang melibatkan kalangan luas yang selama masa pemerintahan yang pertama merasa teralienasi secara ekonomi.
Untuk menyelamatkan negara mau tidak mau krisis politik yang ada harus diselesaikan. Dan selesai tidaknya krisis tersebut tergatung juga pada Presiden terpilih. Karena ada masalah yang membutuhkan penyelesaian hukum tetapi ada juga yang politis.
Selama masa kampanye ada beberapa calon yang berjanji akan segera menyelesaikan konflik politik militer yang ada kalau mereka jadi terpilih. Dari statement mereka, tampak sekali seolah proses penyelesaian konflik yang ada mudah. Mereka mengira dengan hanya berpegang teguh pada Konstitusi semuanya menjadi gampang. Padahal, proses penyelesaian konflik lewat pendekatan politis akan jauh lebih sulit ketimbang pendekatan hukum. Apalagi bagi calon yang selama krisis berlangsung menunjukkan kecenderungan membela kelompok tertentu dan menentang kelompok lain serta calon-calon lain yang suka mengeksploitir kasus Major Alfredo demi perolehan dukungan. Ingat bahwa penyelesaian hukum adalah untuk mengetahui siapa benar dan siapa salah. Yang benar mendapat kebebasan dan yang salah dihukum. Sedangkan penyelesaian politis adalah untuk menemukan konsensus. Tidak ada yang salah dan benar. Semua salah dan semua benar. Inilah keruwetannya yang tidak sembarang orang bisa menanganinya. Di sini, dibutuhkan seorang Presiden yang selain mempunyai kemampuan, visi kenegaraan, diterima semua pihak terutama pihak-pihak yang berkonflik, juga harus berpengalaman dalam mengelola konflik.
Krisis yang terjadi di Timor-Leste juga tidak terlepas dari ketidakpuasn rakyat terhadap keadaan ekonomi negara. Realitas menunjukkan, tingkat pengangguran di negara ini relatif sangat tinggi. Setiap penduduk Timor-Leste rata-rat mengkonsumsi kurang dari satu dolar per hari. Belum termasuk peningkatan jumlah usia pencari kerja yang tiap tahun mencapai kurang lebih 15.000 orang.
Rakyat yang frustrasi biasanya mudah diracuni, dimobilisir dan diarahkan untuk melakukan apa saja termasuk merongrong stabilitas negara sekalipun. Sehingga konflik sekecil apapun di tingkat atas cepat berkembang menjadi konflik horizontal yang meluas.
Untuk mencegah dan mengatasi keadaan ekonomi semacam itu mau tidak mau negara harus mampu mancari solusinya. Salah satu jalan yang paling mudah untuk itu adalah mendatangkan investasi asing. Hanya investasi asing yang diharapkan mampu menyediakan lapangan kerja yang banyak kepada rakyat. Pengembangan industri kecil dan menengah dalam negeri saja belum cukup. Apalagi mengandalkan lapangan kerja dari investasi publik (proyek pemerintah) yang sifatnya hanya musiman.
Diakui bahwa unuk menarik investor asing bukanlah pekerjaan mudah. Banyak variable determinannya, terutama stabilitas poltik dalam negeri. Dan biasanya merupakan pekerjaan pemerintah, bukan Presiden Republik. Tetapi akan lebih baik lagi kalau kita memiliki seorang Presiden yang dikenal luas di dunia yang nantinya dapat bekerja bahu-membahu dengan pemerintah untuk cepat menarik investor asing.
Timor-Leste pernah memiliki seorang Perdana Menteri yang sangat tidak popular di luar negeri, kecuali “di lingkungan CPLP”. Akan tetapi hal ini tidak sempat membuat negara ini dilupakan dunia karena kebetulan di saat yang bersamaan kita juga memiliki seorang Presiden Republik yang cukup dikenal di tingkat internasional dan mempunyai hubungan yang sangat baik dengan negara-negara di kawasan Asia, Eropa dan terutama dengan Amerika Serikat. Lewat kepopulerannya ini, Presiden berhasil memainkan peranan extra (peranan pemerintah) dalam membantu memajukan pembangunan negara ini. Beliau berhasil mempromosikan Timor-Leste di luar negeri dan mengundang banyak investor asing ke Timor-Leste. Perkara ada hasil nyata atau tidak tentu saja bukan lagi urusan Presiden, melainkan pemerintah. Pemerintahlah yang tidak tahu memanfaatkan peluang yang ada. Birokrasi yang sentralistis merupakan salah satu sebab daripada kegagalan itu, termasuk stabilitas poltik yang tidak memadai karena tindakan pemerintah yang suka mencari masalah di dalam negeri.
Peranan extra lain yang dimankan Presiden adalah pengiriman putra-putri Timor-Leste mengambil pendidikan kedokteran di Cuba. Proyek ini merupakan hasil kesepakatan antara Presiden Republik dengan Presiden Fidel Castro pada tahun 2003 saat mereka menghadiri Konferensi Gerakan Non-Blok di Kuala Lumpur, Malaysia. Meskipun pemerintah mengklaim seolah-olah proyek ini merupakan hasil karyanya, tetapi sesungguhnya bukan. Pemerintah hanya mengimplementasi apa yang dirintis Presiden. Bayangkan saja kalau bukan Presiden yang berdiri di balik proyek besar ini mungkin hubungan kita dengan Amerika Serikat sudah tidak seperti saat ini lagi.
Dari kacamata hubungan internasional, aktor politik yang semula memainkan peranan penting adalah individu. Orang yang terkenal dan berpengaruh akan lebih banyak mendatangkan keuntungan bagi negara karena suaranya didengar. Setting ini kemudian mengalami perkembangan. Aktor individu tadi mengalami kemunduran dan digantikan oleh negara sebagai aktor yang paling menonjol.
Akan tetapi paradigma semcam ini hanya cocok untuk negara yang sistem politiknya stabil. Jepang misalnya, karena sistem politiknya yang mapan, yang dipercaya dunia adalah negara bukan individu tertentu dalam negara. Padahal tidak jarang pergantian pemerintahan di negara tersebut berlangsung dua sampai tiga kali dalam setahun.
Yang terjadi di negara kita ini justru sebaliknya. Aktor negara tidak menonjol. Sebabnya karena kita belum memiliki sebuah sistem politik yang stabil. Kita baru mau mengawali proses tersebut. Sehingga setiap kali orang bicara tentang Timor-Leste referensinya selalu mengarah ke Xanana dan Ramos-Horta. Suara pemerintah yang dikuasai partai maioritas pun sering tidak didengar dunia.
Sebentar lagi Xanana akan meninggalkan kursi Presiden. Yang akan menggantikannya pasti salah satu dari kedelapan calon yang ada. Tinggal para pemilih menentukan siapa yang mau dibidik.
Tak seorang calon pun yang tidak kita kenal. Termasuk kelebihan dan kelemanhannya masing-masing. Tetapi ingat pepatah klasik ini: “the right man in the right place and at the right time”. Pepatah ini memperingatkan kita bahwa tidak semua orang cocok untuk waktu yang bersamaan. Ada yang baik untuk hari ini tetapi tidak baik untuk hari esok. Ada yang baik untuk masa lalu, tetapi tidak baik untuk saat sekarang. Lalu, bagaimana jadinya? Kembali ke referensi di atas. Bahwa Timor-Leste sedang terancam keutuhannya sebagai negara. Kita wajib menyelamatkannya. Untuk itu, kita betul-betul membutuhkan seorang Presiden yang harus memenuhi kedua kriteria di atas. Berkemampuan mengelola konflik dan dikenal dunia. Kompleksitas masalah yang menyebabkan krisis politik di negara ini tidak pernah akan kita selesaikan dengan seorang Presiden yang tidak memenuhi kedua kriteria ini. Siapa kira-kira orangnya? Silakan para pembaca menarik kesimpulannya sendiri.
Penulis adalah permerhati masalah politik dengan spesialisasi hubungan internasional.
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.