STL, edisi, 03/10/2006
Oleh Francisco Cepeda
Bagi orang FRETILIN, FRETILIN adalah segala-galanya. Bahkan FRETILIN terkadang dianggap sebagai roh hidup mereka. Tetapi kemutlakannya kepada FRETILIN semacaim ini seharusnya didasari pada kecintaannya pada tujuan perjuangan FRETILIN yang kerap bisa disebut idealisme FRETILIN atau cita-cita luhur FRETILIN, yaitu memerdekakan Timor-Leste dan mensejahterakan rakyat maubere.
Memang Timor-Leste telah menjadi negara merdeka dan berdaulat. Telah memiliki bendera nasional dan lagu kebangsaannya sendiri. Telah menjadi bagian dari masyarakat internasional. Ikut pula membentuk system dunia. Dan mendapat kehormatan di PBB sebagai negara atas asas one country one vote.
Sebagai orang FRETILIN kita harus bangga atas keberhasilan ini. Karena hal ini menunjukkan pondasi kemerdekaan yang kita bangun dengan susah payah berhasil kita tegakkan.
Akan tetapi apakah hanya dengan memerdekakan Timor-Leste sudah boleh dianggap sebagai wujud daripada tujuan perjuangan FRETILIN? Tentu saja belum! Karena tujuan perjuangan atau idealisme atau cita-cita luhur FRETILIN sebenarnya merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang utuh. Dikatakan FRETILIN berhasil mengapai cita-cita luhurnya jikalau totalitas tujuan perjuangan yang ada diwujudkan secara bulat.
Kemerdekaan merupakan satu tahapan daripada tujuan perjuangan FRETILIN. Merdeka kemudian sejahtera barulah merupakan wujud daripada totalitas tujuan perjuangan FRETILIN yang sebenarnya.
Tanggal 11 September yang baru lalu FRETILIN merayakan hari kelahirannya ke-32. Dan beberapa bulan lagi FRETILIN juga harus siap bertarung di Pemilihan Umum (Pemilu). Seharusnya dalam merayakan hari ulang tahun tersebut dan dalam rangka persiapan pemilu, kita bertanya pada diri kita, akankah kita wujudkan cita-cita luhur FRETILIN?
Fakta menunjukkan kecintaan kita pada FRETILIN kian hari kian menjadi tidak jelas lagi. Ketidakjelasan ini disebabkan oleh kegagalan orang FRETILIN sendiri dalam memberi makna pada cita-cita luhur partainya.
Ketika FRETILIN memenangkan pemilihan umum tahun 2001, kita menyambutnya dengan suka ria dan penuh harapan. Kita berharap semoga kemenangan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk segera membanting setir mengawali proses pembangunan bangsa. Karena hanya melalui pembangunan yang berkesinambunganlah kesejahteraan rakyat yang diidam-idamkan dapat diwujudkan.
Harapan di atas merupakan harapan semua orang FRETILIN. Akan tetapi harapan itu tampaknya akan tinggal menjadi harapan. Karena proses pembangunan yang baru saja kita jalankan justru telah dimentahkan kembali oleh konflik yang terjadi baru-baru ini di Timor-Leste. Ibarat jarum jam yang bukannya berputar ke depan malah ke belakang.
Sementara di sisi lain kita tidak tahu kapan konflik itu berakhir. Sebab konflik yang semula hanya terbatas pada masalah diskriminasi di tubuh FALINTIL/FDTL kini telah berkembang menjadi konflik terbuka antara solidaritas orang Loromonu melawan Lorosae.
Bagi Timor-Leste, konflik semacam itu seharusnya tidak perlu terjadi. Karena kita lebih banyak memiliki kesamaan daripada perbedaan atau tingkat homogenitasnya lebih tinggi daripada heterogenitas. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan mayoritas orang Timor-Leste beragama katolik. Ada agama lain tetapi jumlahnya sangat kecil. Hampir seratus persen orang Timor-Leste berbicara bahasa tetun atau tetun telah menjadi lingua franca di Timor-Leste. Ada golongan ras tetapi karena tergolong minoritas, didominasi secara mutlak oleh mayoritas yang merupakan penduduk pribumi.
Sedangkan pada tingkat yang lebih spesifik, hampir mayoritas orang Timor-Leste tergolong miskin dan melarat yang diikat oleh semangat mauberisme. Maubere bagi FRETILIN adalah golongan orang miskin dan melarat yang tertindas, yang diberbudak dan sebaginya. Golongan inilah yang bahu-membahu telah menjadi pelopor perjuangan FRETILIN di seluruh Timor-Leste sejak zaman perjuangan kemerdekaan hingga sekarang. Golongan ini tidak mengenal estnisitas karena kemiskinan dan kemelaratan menjangkau semua pelosok negeri. Tidak ada etnik yang lebih diuntungkan daripada yang lain. Dan tidak ada etnik di Loromonu yang lebih baik dari Lorosae atau sebaliknya. Kemiskinan dan kemelaratan melanda semua masyarakat kelas bawah.
Bahkan di zaman penjajahan Portugal sekalipun konflik berbau etnik tidak pernah terjadi. Dalam upaya mempertahankan kekuasaannya, Portugal berusaha menghancurkan kebudayaan rakyat setempat dan menerapkan budaya Portugis melalui sekelompok orang beradab (assimilados) yang diberi hak istimewa berupa penguasaan tanah yang luas, perdagangan, akses untuk pekerjaan, pendidikan dan lain-lain tetapi tidak dalam bentuk etnik. Karena yang terbentuk dalam kelompok ini justru orang-orang Portugis buangan (deportados), sejumlah orang keturunan Portugis dan para raja dari berbagai wilayah. Dan kebetulan kelompok ini pun hilang seketika bersamaan dengan hijrahnya Portugal dari Timor-Leste. Bahkan isu diterapkannya politik Devide et Impera yang konon dijelmahkan kedalam polarisasi Kaladi dan Firaku pun tidak terbukti.
Terjadinya konflik itu sebenarnya merupakan akibat dari ketidakmampuan pemerintah Alkatiri menyelesaikan masalah yang ada dalam tubuh FALINTIL/FDTL. Entah karena takut pada tentara atau karena terjebak dalam anggapan yang menyatakan hanya FALINTIL/FDTL selain FRETILIN yang mampu membuat kekacauan di negeri ini, dalam menghadapi masalah tersebut Alkatiri cenderung membela unsur-unsur tertentu dalam institusi FALINTIL/FDTL. Sedangkan tuntutan para tentara Disersi (Peticionários) tidak ditanggapinya secara serius. Bahkan ia malah menginstruksikan FALINTIL/FDTL mengambil tindakan terhadap para tentara Disersi yang berbuntut pada peristiwa 28 April.
Dan bukan itu saja. Keberpihakan Alkatiri juga terlihat pada apa yang dilakukan sebelumnya. Direstuinya pembangunan Monumen Pahlawan di Metinaro tanpa melalui sebuah konsensus nasional merupakan salah satu contoh dari keberpihakan itu. Padahal proses awal menuju pembangunan monumen tersebut terkesan sarat dengan unsur etnik.
Memang konflik etnik yang sedang terjadi belum tergolong parah karena tidak punya akar dalam sejarah politik negeri ini. Akan tetapi apabila dibiarkan berkembang maka tidak menutup kemungkinan sejarah pahit konflik etnik di negara lain akan terulang di Timor-Leste. Contoh berikut memperlihatkan sejumlah karakteristik konflik etnik yang sudah berakar lama.
Di Yogoslavia, Eropa Timur, ada kelompok etnik Serbia, Croacia dan Bosnia. Sebelum zaman Perang Dingin hubungan kelompok yang satu dengan yang lain relatif baik. Tingkat perkawainan silang diantara mereka mencapai 30% dan pada umumnya mereka menggunakan bahasa yang sama kecuali agama. Serbia memeluk Kristen Ortodoks, Croacia, Katolik Roma dan Bosnia, Islam. Sumber penyebab konflik di Yogoslavia hingga negara itu terpecah menjadi beberapa negara baru bukan karena perbedaan etnik dan agama melainkan karena etnisitas yang ada dikembangkan menjadi “nationalism” yang digiring dan dimanipulasi dengan serangkaian ide untuk mewujudkan kemerdekaan. Dalam definisinya yang khusus disebut ethno-nationalism yaitu bentuk nasionalisme yang berbasis identitas-identitas primordial.
Sedangkan di Salomon Island, Kepulauan Pasifik, terjadinya konflik etnik yang mencapai puncaknya di tahun 1999 disebabkan perebutan lapangan kerja antara kelompok Guadalcanal dengan Malaita di Ibukota Honiara yang terletak di kepulauan Guadalcanal. Karena tidak puas dengan dominasi kelompok pendatang dari kepulauan Malaita yang umumnya menguasai pemerintah dan sektor bisnis, penduduk asli Guadalcanal bangkit dan berkonfrontasi dengan mereka. Konflik menjadi semakin tidak terkendali karena kepolisian Salomon Island yang mayoritas (75% dari jumlah total 897 personil direkrut dari etnik Malaita) berpihak ke kelompok Malaita.
Di Rwanda dan Burundi, kawasan Afrika, konflik etnik yang terjadi karena warisan kolonial. Meledaknya konflik itu karena ketidakpuasan kelompok mayoritas Hutu terhadap monopoli kekuasaan oleh kelompok minoritas Tutsis akibat hak-hak istimewa (privilege) yang diberikan pemerintah kolonial Belgia kepada mereka dalam berbagai aspek seperti akses terhadap pendidikan, pekerjaan dan fasilitas-fasilitas lainnya. Mayoritas Hutu berhasil mengambil alih kekuasaan dari kaum Monarki Tutsis di Rwanda tetapi Tutsis berhasil mempertahankan status mereka sebagai dominasi minoritas di Burundi.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana menyelesaikan konflik yang ada untuk memulihkan nama baik FRETILIN yang terpuruk akibat ulah pemerintah FRETILIN sendiri. Karena yang dikawatirkan jangan sampai kelak FRETILIN dituduh sebagai biang keladi perpecahan bangsa.
Jadi kalau di Yogoslavia sebab-musabab terjadinya konflik karena tuntutan kemerdekaan sementara di Salomon Island dengan Rwanda dan Burundi masing-masing karena lapangan kerja dan warisan kolonial, apa yang terjadi di Timor-Leste justru karena keadilan. Orang Loromonu berontak melawan Lorosae karena menganggap para tentara Disersi yang keseluruhannya merupakan orang Loromonu telah menjadi korban rejim Alkatiri.
Dan fakta menunjukkan jatuhnya Alkatiri dari kursi Perdana Menteri karena tekanan-tekanan politik yang dilakukan orang-orang Loromonu. Fakta ini diperkuat lagi dengan tidak ditanggapinya seruan FRETILIN bagi diadakannya demonstrasi membela Alkatiri di Dili oleh orang-orang FRETILIN dari wilayah barat dan tengah, termasuk Dili. Padahal FRETILIN memenangkan Pemilu 2001 dengan suara mayoritas mutlak.
Sementara itu hingga saat ini belum ada pihak yang berani mengatakan bertanggung jawab atas situasi politik yang ada. FRETILIN yang ditunggu-tunggu harus memikul tanggung jawab itu malah diam seribu bahasa. Yang terdengar justru adanya usaha untuk bagaimana menyelamatkan Alkatiri.
Padahal kalau mau jujur, selesai tidaknya konflik yang ada tergantung sepenuhnya pada FRETILIN. Karena cikal bakal permasalahan yang ada terletak di pundak FRETILIN sendiri.
Politik adalah cara untuk memperoleh kekuasaan. Tetapi kekuasaan untuk mewujudkan tujuan perjuangan, idealisme atau cita-cita luhur partai. Bukan kekuasaan yang justru mengancam tercapainya mimpi mulia tersebut. Karena kemerdekaan sudah kita raih, tetapi kesejahteraan rakyat maubere belum! Selama tidak ada stabilitas politik di negara ini upaya untuk menaikkan taraf hidup rakyat akan terus tertunda.
Oleh sebab itu FRETILIN harus berani melakukan political adjustment. Diamnya FRETILIN dengan hanya menggenggam hasil konggres bulan Mei justru akan semakin menyulitkan FRETILIN mempertahankan kemenangannya yang bakal diperoleh pada Pemilu 2007. Karena bagi orang Loromonu, mempertahankan hasil konggres sama dengan kemungkinan kembalinya Alkatiri dan kawan-kawan ke singgasana kepemimpinan pemerintah. Bila itu yang terjadi perlawanan-perlawanan baru akan kembali mencuat.
Penulis adalah Militan FRETILIN, tinggal di Dili.
Bagi orang FRETILIN, FRETILIN adalah segala-galanya. Bahkan FRETILIN terkadang dianggap sebagai roh hidup mereka. Tetapi kemutlakannya kepada FRETILIN semacaim ini seharusnya didasari pada kecintaannya pada tujuan perjuangan FRETILIN yang kerap bisa disebut idealisme FRETILIN atau cita-cita luhur FRETILIN, yaitu memerdekakan Timor-Leste dan mensejahterakan rakyat maubere.
Memang Timor-Leste telah menjadi negara merdeka dan berdaulat. Telah memiliki bendera nasional dan lagu kebangsaannya sendiri. Telah menjadi bagian dari masyarakat internasional. Ikut pula membentuk system dunia. Dan mendapat kehormatan di PBB sebagai negara atas asas one country one vote.
Sebagai orang FRETILIN kita harus bangga atas keberhasilan ini. Karena hal ini menunjukkan pondasi kemerdekaan yang kita bangun dengan susah payah berhasil kita tegakkan.
Akan tetapi apakah hanya dengan memerdekakan Timor-Leste sudah boleh dianggap sebagai wujud daripada tujuan perjuangan FRETILIN? Tentu saja belum! Karena tujuan perjuangan atau idealisme atau cita-cita luhur FRETILIN sebenarnya merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang utuh. Dikatakan FRETILIN berhasil mengapai cita-cita luhurnya jikalau totalitas tujuan perjuangan yang ada diwujudkan secara bulat.
Kemerdekaan merupakan satu tahapan daripada tujuan perjuangan FRETILIN. Merdeka kemudian sejahtera barulah merupakan wujud daripada totalitas tujuan perjuangan FRETILIN yang sebenarnya.
Tanggal 11 September yang baru lalu FRETILIN merayakan hari kelahirannya ke-32. Dan beberapa bulan lagi FRETILIN juga harus siap bertarung di Pemilihan Umum (Pemilu). Seharusnya dalam merayakan hari ulang tahun tersebut dan dalam rangka persiapan pemilu, kita bertanya pada diri kita, akankah kita wujudkan cita-cita luhur FRETILIN?
Fakta menunjukkan kecintaan kita pada FRETILIN kian hari kian menjadi tidak jelas lagi. Ketidakjelasan ini disebabkan oleh kegagalan orang FRETILIN sendiri dalam memberi makna pada cita-cita luhur partainya.
Ketika FRETILIN memenangkan pemilihan umum tahun 2001, kita menyambutnya dengan suka ria dan penuh harapan. Kita berharap semoga kemenangan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk segera membanting setir mengawali proses pembangunan bangsa. Karena hanya melalui pembangunan yang berkesinambunganlah kesejahteraan rakyat yang diidam-idamkan dapat diwujudkan.
Harapan di atas merupakan harapan semua orang FRETILIN. Akan tetapi harapan itu tampaknya akan tinggal menjadi harapan. Karena proses pembangunan yang baru saja kita jalankan justru telah dimentahkan kembali oleh konflik yang terjadi baru-baru ini di Timor-Leste. Ibarat jarum jam yang bukannya berputar ke depan malah ke belakang.
Sementara di sisi lain kita tidak tahu kapan konflik itu berakhir. Sebab konflik yang semula hanya terbatas pada masalah diskriminasi di tubuh FALINTIL/FDTL kini telah berkembang menjadi konflik terbuka antara solidaritas orang Loromonu melawan Lorosae.
Bagi Timor-Leste, konflik semacam itu seharusnya tidak perlu terjadi. Karena kita lebih banyak memiliki kesamaan daripada perbedaan atau tingkat homogenitasnya lebih tinggi daripada heterogenitas. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan mayoritas orang Timor-Leste beragama katolik. Ada agama lain tetapi jumlahnya sangat kecil. Hampir seratus persen orang Timor-Leste berbicara bahasa tetun atau tetun telah menjadi lingua franca di Timor-Leste. Ada golongan ras tetapi karena tergolong minoritas, didominasi secara mutlak oleh mayoritas yang merupakan penduduk pribumi.
Sedangkan pada tingkat yang lebih spesifik, hampir mayoritas orang Timor-Leste tergolong miskin dan melarat yang diikat oleh semangat mauberisme. Maubere bagi FRETILIN adalah golongan orang miskin dan melarat yang tertindas, yang diberbudak dan sebaginya. Golongan inilah yang bahu-membahu telah menjadi pelopor perjuangan FRETILIN di seluruh Timor-Leste sejak zaman perjuangan kemerdekaan hingga sekarang. Golongan ini tidak mengenal estnisitas karena kemiskinan dan kemelaratan menjangkau semua pelosok negeri. Tidak ada etnik yang lebih diuntungkan daripada yang lain. Dan tidak ada etnik di Loromonu yang lebih baik dari Lorosae atau sebaliknya. Kemiskinan dan kemelaratan melanda semua masyarakat kelas bawah.
Bahkan di zaman penjajahan Portugal sekalipun konflik berbau etnik tidak pernah terjadi. Dalam upaya mempertahankan kekuasaannya, Portugal berusaha menghancurkan kebudayaan rakyat setempat dan menerapkan budaya Portugis melalui sekelompok orang beradab (assimilados) yang diberi hak istimewa berupa penguasaan tanah yang luas, perdagangan, akses untuk pekerjaan, pendidikan dan lain-lain tetapi tidak dalam bentuk etnik. Karena yang terbentuk dalam kelompok ini justru orang-orang Portugis buangan (deportados), sejumlah orang keturunan Portugis dan para raja dari berbagai wilayah. Dan kebetulan kelompok ini pun hilang seketika bersamaan dengan hijrahnya Portugal dari Timor-Leste. Bahkan isu diterapkannya politik Devide et Impera yang konon dijelmahkan kedalam polarisasi Kaladi dan Firaku pun tidak terbukti.
Terjadinya konflik itu sebenarnya merupakan akibat dari ketidakmampuan pemerintah Alkatiri menyelesaikan masalah yang ada dalam tubuh FALINTIL/FDTL. Entah karena takut pada tentara atau karena terjebak dalam anggapan yang menyatakan hanya FALINTIL/FDTL selain FRETILIN yang mampu membuat kekacauan di negeri ini, dalam menghadapi masalah tersebut Alkatiri cenderung membela unsur-unsur tertentu dalam institusi FALINTIL/FDTL. Sedangkan tuntutan para tentara Disersi (Peticionários) tidak ditanggapinya secara serius. Bahkan ia malah menginstruksikan FALINTIL/FDTL mengambil tindakan terhadap para tentara Disersi yang berbuntut pada peristiwa 28 April.
Dan bukan itu saja. Keberpihakan Alkatiri juga terlihat pada apa yang dilakukan sebelumnya. Direstuinya pembangunan Monumen Pahlawan di Metinaro tanpa melalui sebuah konsensus nasional merupakan salah satu contoh dari keberpihakan itu. Padahal proses awal menuju pembangunan monumen tersebut terkesan sarat dengan unsur etnik.
Memang konflik etnik yang sedang terjadi belum tergolong parah karena tidak punya akar dalam sejarah politik negeri ini. Akan tetapi apabila dibiarkan berkembang maka tidak menutup kemungkinan sejarah pahit konflik etnik di negara lain akan terulang di Timor-Leste. Contoh berikut memperlihatkan sejumlah karakteristik konflik etnik yang sudah berakar lama.
Di Yogoslavia, Eropa Timur, ada kelompok etnik Serbia, Croacia dan Bosnia. Sebelum zaman Perang Dingin hubungan kelompok yang satu dengan yang lain relatif baik. Tingkat perkawainan silang diantara mereka mencapai 30% dan pada umumnya mereka menggunakan bahasa yang sama kecuali agama. Serbia memeluk Kristen Ortodoks, Croacia, Katolik Roma dan Bosnia, Islam. Sumber penyebab konflik di Yogoslavia hingga negara itu terpecah menjadi beberapa negara baru bukan karena perbedaan etnik dan agama melainkan karena etnisitas yang ada dikembangkan menjadi “nationalism” yang digiring dan dimanipulasi dengan serangkaian ide untuk mewujudkan kemerdekaan. Dalam definisinya yang khusus disebut ethno-nationalism yaitu bentuk nasionalisme yang berbasis identitas-identitas primordial.
Sedangkan di Salomon Island, Kepulauan Pasifik, terjadinya konflik etnik yang mencapai puncaknya di tahun 1999 disebabkan perebutan lapangan kerja antara kelompok Guadalcanal dengan Malaita di Ibukota Honiara yang terletak di kepulauan Guadalcanal. Karena tidak puas dengan dominasi kelompok pendatang dari kepulauan Malaita yang umumnya menguasai pemerintah dan sektor bisnis, penduduk asli Guadalcanal bangkit dan berkonfrontasi dengan mereka. Konflik menjadi semakin tidak terkendali karena kepolisian Salomon Island yang mayoritas (75% dari jumlah total 897 personil direkrut dari etnik Malaita) berpihak ke kelompok Malaita.
Di Rwanda dan Burundi, kawasan Afrika, konflik etnik yang terjadi karena warisan kolonial. Meledaknya konflik itu karena ketidakpuasan kelompok mayoritas Hutu terhadap monopoli kekuasaan oleh kelompok minoritas Tutsis akibat hak-hak istimewa (privilege) yang diberikan pemerintah kolonial Belgia kepada mereka dalam berbagai aspek seperti akses terhadap pendidikan, pekerjaan dan fasilitas-fasilitas lainnya. Mayoritas Hutu berhasil mengambil alih kekuasaan dari kaum Monarki Tutsis di Rwanda tetapi Tutsis berhasil mempertahankan status mereka sebagai dominasi minoritas di Burundi.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana menyelesaikan konflik yang ada untuk memulihkan nama baik FRETILIN yang terpuruk akibat ulah pemerintah FRETILIN sendiri. Karena yang dikawatirkan jangan sampai kelak FRETILIN dituduh sebagai biang keladi perpecahan bangsa.
Jadi kalau di Yogoslavia sebab-musabab terjadinya konflik karena tuntutan kemerdekaan sementara di Salomon Island dengan Rwanda dan Burundi masing-masing karena lapangan kerja dan warisan kolonial, apa yang terjadi di Timor-Leste justru karena keadilan. Orang Loromonu berontak melawan Lorosae karena menganggap para tentara Disersi yang keseluruhannya merupakan orang Loromonu telah menjadi korban rejim Alkatiri.
Dan fakta menunjukkan jatuhnya Alkatiri dari kursi Perdana Menteri karena tekanan-tekanan politik yang dilakukan orang-orang Loromonu. Fakta ini diperkuat lagi dengan tidak ditanggapinya seruan FRETILIN bagi diadakannya demonstrasi membela Alkatiri di Dili oleh orang-orang FRETILIN dari wilayah barat dan tengah, termasuk Dili. Padahal FRETILIN memenangkan Pemilu 2001 dengan suara mayoritas mutlak.
Sementara itu hingga saat ini belum ada pihak yang berani mengatakan bertanggung jawab atas situasi politik yang ada. FRETILIN yang ditunggu-tunggu harus memikul tanggung jawab itu malah diam seribu bahasa. Yang terdengar justru adanya usaha untuk bagaimana menyelamatkan Alkatiri.
Padahal kalau mau jujur, selesai tidaknya konflik yang ada tergantung sepenuhnya pada FRETILIN. Karena cikal bakal permasalahan yang ada terletak di pundak FRETILIN sendiri.
Politik adalah cara untuk memperoleh kekuasaan. Tetapi kekuasaan untuk mewujudkan tujuan perjuangan, idealisme atau cita-cita luhur partai. Bukan kekuasaan yang justru mengancam tercapainya mimpi mulia tersebut. Karena kemerdekaan sudah kita raih, tetapi kesejahteraan rakyat maubere belum! Selama tidak ada stabilitas politik di negara ini upaya untuk menaikkan taraf hidup rakyat akan terus tertunda.
Oleh sebab itu FRETILIN harus berani melakukan political adjustment. Diamnya FRETILIN dengan hanya menggenggam hasil konggres bulan Mei justru akan semakin menyulitkan FRETILIN mempertahankan kemenangannya yang bakal diperoleh pada Pemilu 2007. Karena bagi orang Loromonu, mempertahankan hasil konggres sama dengan kemungkinan kembalinya Alkatiri dan kawan-kawan ke singgasana kepemimpinan pemerintah. Bila itu yang terjadi perlawanan-perlawanan baru akan kembali mencuat.
Penulis adalah Militan FRETILIN, tinggal di Dili.
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.