VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20050519

Respond untuk DR. Ramos Naikoli!

De: "contrev goncalves"

Para: forum-loriko@yahoogroups.com

Cc: loriko_timor@yahoo.com

Data: Sun, 15 May 2005 11:39:43 +0800

Assunto: Respond untuk DR. Ramos Naikoli!





Respond untuk DR. Antonio Ramos Naikoli, DR. Fernando Costa, DR. Abel
Pires

Oleh: Mateus Goncalves

Setelah membaca tanggapan dari beberapa DR di atas. Saya merasa
heran—heran karena bukannya DR. Carlos Saky yang menanggapi tulisan saya di
STL yang berjudul “Apa Peranan dari Seorang Sosiolog?” Tetapi sebaliknya
saya justru menerima tanggapan dari para DR. Di atas. Karena
berdasarkan pemahaman saya yang sangat terbatas perihal persoalan
jurnalistik—bahwa seseorang hanya bisa menanggapi tulisan pihak lain dengan
mengirimkan tanggapan itu ke harian yang sama bukan Trial behind the
scene—seperti yang saya alami dengan memperoleh hasil tanggapan tentang tulisan
saya dari orang lain. Lalu muncul pertanyaan di benak saya, “Apakah DR.
Carlos Saky tidak bisa merespond artikel saya lalu sengaja “meminta
bantuan” kawan-kawannya sesama sosiolog, pengamat, intelektual di Portugal
dan Australia.”? Tetapi itu bukanlah persoalan serius dan tidak perlu
diperdebatkan lebih jauh karena kalau diperpanjang maka yang muncul
adalah DEBAT KUSIR seperti telah dijelaskan oleh saudara Abel Pires.

Saya mau menegaskan bahwa dalam alinea penutup tulisan saya, saya
mencantumkan “Peneliti Sejarah.” Peneliti sejarah di sini tidak otomatis
menjadi seorang sejarawan. Layaknya seorang mahasiswa Sosiologi tidak
otomatis menjadi seorang sosiolog. Kalau itu yang terjadi maka sudah
mucul ratusan juta sosiolog dan sejarawan di dunia ini—karena penguasaan
seseorang terhadap sebuah disiplin ilmu diukur dari gelar yang dia
peroleh bukan melalui hasil penelitian, temuan-temuan, yang memunculkan
pemikiran yang bertujuan untuk mengkritisi pemikiran ilmuwan lain.

Setiap orang bisa melakukan penelitian untuk mengetahui sesuatu.
Mencari informasi (mengumpulkan data) dan berefleksi berdasarkan informasi
itu (melakukan analisis) dengan tujuan untuk mentransformasikan
pengertian peneliti dan obyek yang diteliti tentang akar dari sebuah persolan
(mengtheoritisasikan hasil pengalaman). Pada dasarnya ide untuk melakukan
penelitia atau meneliti sesuatu itu bermula dari keingin tahuan atau
seseorang yang merasa terganggu, merasa peduli untuk mengeksplorasi lebih
jauh tentang sebuah persoalan.

Pada akhirnya si Peneliti mendapatkan gelar akademik sebagai “sosiolog,
sejarawan, antropolog, psikolog. Itu bukanlah jatuh dari langit—tapi
melalui sebuah proses yang panjang—proses ini meliputi, penelitian,
investigasi yang hasilnya diakui secara akademik, dan hasil penelitian itu
terbukti berkontribusi besar pada perkembangan ilmu pengetahuan dan
dipakai sebagai referensi di Perguruan Tinggi dan lembaga ilmiah lainnya.
Jadi sekali lagi saya tegaskan sekaligus sebagai klarifikasi untuk DR.
Ramos Naikoli—bahwa saya tidak pernah ragu untuk menyebut diri saya
sebagai seorang peneliti sejarah karena saya memang telah melakukan
penelitian itu selama beberapa tahun terakhir ini tapi saya mengakui bahwa
saya belum menjadi seorang sejarawan itu dua hal yang harus
dibedakan—kalaupun suatu saat saya mendapatkan titel sebagai seorang sejarawan
maka proseslah yang akan membawa saya ke sana dan saya yakin pada proses
itu.

1. Saya tidak akan mempermasalahkan gelar yang dipakai oleh DR. Saky
sebagai seorang sosiolog seandainya dia bisa menunjukkan data yang valid
kepada saya. Karena seorang ilmuwan harus mampu mempertangungjawabkan
titel yang dia klaim. Seandainya DR. Saky menyebut dirinya sebagai
anggota sebuah partai politik, Ok—tidaklah masalah bagi saya. Tetapi kalau
dia berani menyebut dirinya seorang sosiolog maka data yang ia paparkan
harus dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah.

Dalam tanggapan DR. Ramos juga disebutkan bahwa “kurangnya ruang atau
kolom yang disediakan oleh redaksi harian umum STL sehingga menyebabkan
DR. Saky tidak bisa memaparkan idenya yang brilian, artikel yang
ditulis oleh DR. Saky itu pun hanya berbentuk opini bukanlah hasil sebuah
investigasi.” Saya pikir itu bukanlah alasan yang tepat malah bisa
dikatakan sebagai upaya dari DR. Naikoli untuk menutupi dan cenderung
membela kerancuan berpikir yang telah dilakukan oleh DR. Saky. Apa gunanya
berlama-lama di perguruan tinggi kalau tidak bisa mempelajari methodologi
penulisan ilmiah, bukankah seorang Sosiolog yang handal bisa memaparkan
idenya dengan memanfaatkan ruang sekecil apa pun? Kalau itu tidak bisa
dilakukan—jangan mengklaim diri sebagai seorang Sosiolog karena seorang
sosiolog memaparkan idenya berdasarkan data yang bisa
dipertangungjawabkan, terus terang saja kalau dia (DR. Saky) sedang melakukan kampanye
pembelaan terhadap partai politik tertentu.

2. Pada point ini saya mau menegaskan bahwa saya setuju dan membela
ide-ide dari Mari Alkatiri tapi bukan Marii Alkatiri secara individu
(karena bagaimanapun Mari Alkatiri memiliki berbagai instrumen seperti
PNTL-FDTL untuk membela dirinya). Saya setuju dengan Idenya untuk lebih
mendekatkan diri pada rakyat kecil, menolak untuk meminjam dari Bank
Dunia—karena dia tahu bahwa nanti rakyatlah yang akan terbebani dengan utang
dari Lembaga-lembaga Keuangan Internasional itu sebaliknya bukan
kalangan intelektual yang nanti justru berperan sebagai elit baru yang
menjadi mesin penindas bagi rakyat kecil. Dalam tanggapanya juga DR. Ramos
mengatakan “defende ba Patrimonio historico ne’e be kona ba Fretilin,
Afinidade ideologia ba Fretilin, Defende Klasse Social proletariado,
kamponese, no sst.

Di sini saya mau memberikan tanggapan; nah, bisakah DR. Naikoli
memberikan kilas balik sejarah kepada saya bahwa ada Gerakan lain selain
Fretilin pada tahun 1975 yang menghendaki kemerdekaan rakyat Timor? Sebagai
seorang intelektual setiap orang memiliki nurani dan kebenaran yang
diyakininya. Apakah ada yang salah jika saya mendekatkan diri dan
berasosiasi dengan kaum proletar, kaum miskin kota? Dan apakah saya secara
pribadi meyalahkan DR. Naikoli seandainya Saudara DR. Memiliki relasi yang
kuat dengan kaum kapitalis untuk menghisap yang lemah? Tolong jelaskan
pada saya apa itu Klas Proletar? Sejauh yang saya amati—secara
ideologis Fretilin tidak begitu jelas, apakah mereka partai beraliran kiri,
beraliran kanan, kiri tengah atau lainnya. Jadi apa pemahaman DR. Ramos
perihal ideologi, dan ideologi apa yang dianut oleh Partai Fretilin
sekarang dan partai-partai lainnya yang anda bela?

Satu hal yang harus diakui bahwa kalau kita ingin berdebat tentang
sejarah gerakan pembebasan di Timor—tidak bisa tidak kita harus mulai dari
pemberontakan para raja lokal (Manufahi 1912, Viqueque 1959 serta
pemberontakan-pemberontakan kecil sebelumnya). Dan gerakan bawah tanah yang
dibentuk oleh para tokoh-tokoh pelopor pergerakan sampai bermuara pada
pembentukan ASDT/FRETILIN serta kedatangan sekelompok mahasiswa dari
Lisabon, Portugal menjelang invasi militer Indonesia. Sebagai intelektual
yang memiliki kedewasaan berpikir—DR. Naikoli seharusnya tidak berusaha
untuk melakukan distorsi terhadap sejarah begitu saja. Karena segala
hal-ihwal selalu mulai dari sejarah—sebuah bangsa tidak akan melangkah ke
depan kalau bangsa itu tidak bisa memahami sejarah bangsanya sendiri.

Tetapi, baiklah berdasarkan pernyataan yang saya peroleh dari DR.
Naikoli ini, saya sudah bisa mengambil kesimpulan dan menilai dengan pasti
di mana posisi seorang Naikoli dari segi intelektual. Saya tegaskan lagi
bahwa dalam artikel yang saya tulis juga tidak ada tendensi untuk
melakukan pembelaan terhadap Mari’i Alkatiri atau partai Fretilin. Jadi
kalau kita berbicara independensi—saya pikir itu cukup independen
dibandingkan dengan tulisan-tulisan DR. Saky yang bernada miring dan cenderung
menjatuhkan pihak lain. Dalam sebuah tulisan ilmiah orang tidak perlu
berkonsensus terlebih dahulu untuk mendapatkan sebuah kesimpulan—hanya
intelektual yang tidak berprinsip dan tidak memiliki bukti-bukti saja
yang menganut faham seperti itu.

3. Dalam artikel saya—khususnya pada frase ke-5 tidak salah saya
menulis seperti ini “Dalam artikel pendek ini penulis mencoba mengguraikan
apa peranan yang harus dimainkan oleh seseorang sosiolog, apa definisi
atau pengertian umum dari sosiologi dan sejarah perkembangan sosiologi di
abad ini. Penulis pun tidak bermaksud untuk mejatuhkan DR. Saky,
apalagi meremehkan beliau. Penulis hanya ingin memberikan informasi yang
berimbang kepada masyarakat luas. Karena bagaimanapun kewajiban dari
kalangan “terdidik” adalah bagaimana bisa membayar hutang kepada rakyat
melalui desiminasi informasi yang benar, yang tidak membodohi, seperti
dikatakan oleh almarhum DR. Romo Manggun Wijaya”.

Jadi jelas bahwa saya hanya ingin menjelaskan sejarah perkembangan dari
sosiologi dan definisinya secara umum. Kalau kita berbicara sosiologi
sejarah maka tidak bisa dilepaskan dari tokoh-tokoh seperti Comte,
Weber, Marx, Wertheim bahkan Mao dan Lenin sekalipun. Kecuali ada temuan
baru di dalam disiplin sosiologi yang dipelopori oleh DR. Saky, DR.
Naikoli, dan kawan-kawannya, jelas saya pasti akan menyebut nama-nama ini
sebagai referensi. Jadi dalam hal ini saya tidak butuh kuliah tentang
sosiologi, antropologi dan ilmu-ilmu Sosial dari DR. Naikoli.

4. Sebagai seorang mahasiswa yang telah sangat lama menempuh
pendidikan di luar negeri—ternyata DR. Naikoli belum memahami dengan benar apa
itu perdebatan ilmiah yang sehat. Dalam artikel yang saya tulis tidak
ada tendensi sedikitpun untuk mengadili DR. Saky dan tidak ada relasinya
dengan arogansi intelektual. Mengenai sistem pendidikan, harusnya DR.
Naikoli membaca tulisan saya secara cermat dan jeli. Tidak salah pada
tulisan itu saya mengatakan seperti ini “Tetapi kalau sosiolog dilihat
dari kemampuan akademis, karya ilmiah (penelitian, artikel di jurnal
internasional, etc) maka bisa dikatakan bahwa tulisan dari DR. Carlos ini
sangat disayangkan karena tidak mencerminkan ide dari seorang sosiolog
yang berkesempatan mendapatkan pendidikan di salah satu negara yang
pernah melahirkan revolusi anyelir, Portugal”.

Kata “mencerminkan” dalam hal ini bisa diterjemahkan (la hatudu
katak, la fo image ou imagem katak)? Karena sejauh yang saya tahu
Universitas-universitas di Portugal pernah melahirkan tokoh-tokoh revolusioner
Dunia Ketiga seperti Dr. Agustinho Neto (President pertama Angola),
Eduardo Mondlane (President pertama Frelimo), Marcelinho dos Santos, Amilcar
Cabral, Joaquim Chissano. Refleksi saya berpatokan pada orang-orang
ini.Jadi saya secara pribadi tidak pernah mempermasalahkan sistem
pendidikan di Portugal. Justru yang saya permasalahkan adalah—seteleh
mendapatkan kesempatan untuk kuliah di Portugal (negara yang pernah mencetuskan
revolusi anyelir)—pemikiran DR. Saky justru sangat konservatif. Itu
yang saya permasalahkan. Dan tidak ada tendensi untuk menjatuhkan sistem
pendidikan di Portugal dan mengagung-agungkan para lulusan dari
Australia, Amerika dan Inggris. Dalam hal pendidikan saya justru Third World
oriented bukan capitalist oriented seperti yang anda bayangkan. Jujur
saja kalau anda tidak memahami dengan baik apa yang saya tulis, apakah
karena kendala bahasa, ataukah anda terlanjur emosi ketika membaca tulisan
saya, atau kemampuan anda untuk memahami tulisan itu yang bisa
dikatakan sangat terbatas.

5. Seperti telah saya jelaskan sebelumnya bahwa dengan secuil
pengetahuan sejarah yang saya miliki, dan referensi-referensi yang ada saya
mencoba menjelaskan sejarah kemunculan dan perkembangan dari sosiologi,
perkembangan sosiologi di abad in dan apa peranan dari seorang sosiolog.
Tujuan dari penjelasan ini berpatokan pada tulisan DR. Saky yang tidak
lagi menempatkan diri sebagai seorang sosiolog tetapi justru sebagai
JURKAM (Juru Kampanye) dari partai politik tertentu. Jadi wajar saja saya
kutip (tapi tidak sepenuhnya) ide dari tokoh-tokoh yang menjadi
sosiolog tenar pada zamannya. Hal ini hanya untuk mengingatkan kepada DR.
Saky bahwa sebenarnya dia telah melangkah jauh dari peranan dia yang
sebenarnya sebagai seorang sosiolog.

DR. Naikoli mencoba melancarkan argumen-argumen—yang sebenarnya hanya
salah satu bentuk pembelaan terhadap kawannya DR. Saky yang telah
memahami sosiologi sebagai disiplin ilmu secara salah kaprah. Sejauh yang
saya tahu ilmu sosiologi tidak dibentuk untuk menyerang pribadi orang
lain atau memaparkan analisis yang “kosong.” Saya masih yakin sampai
detik ini bahwa sebagai disiplin ilmu sosiologi memiliki fungsi yang luas
dengan berbagai pendekatan dalam mengelaborasi sebuah persoalan yang
timbul di dalam masyarakat. Dari tanggapan anda saya bisa memahami bahwa
ternyata pemahaman anda tentang sosiologi sebagai disiplin ilmu hanya
sebatas pada bagaiman menyerang pribadi orang dengan mengatasnamakan
agenda dari kelompok tertentu. Sebagai orang yang belajar sejarah saya
telah mengelaborasi definisi sosiologi dari perspektif sejarah, nah,
sekarang apa pengertian sosiologi menurut DR. Saky, hanya DR. Saky yang bisa
menjawab pertanyaan ini. Jadi sangatlah disayangkan kalau DR. Naikoli
mengatakan bahwa DR. Saky telah mengeksplorasi konflik antara Gereja dan
Pemerintah dengan sangat tepat dari aspek sosiologi. Kalau kajian
seperti itu yang diteruskan maka DR. Saky dan DR. Naikoli sebenarnya telah
mengkhianati fungsi sosiologi sebagai ilmu dan peranan dari seorang
sosiolog sekaligus.

Untuk DR. Naikoli saya mau menanyakan, apakah ada ilmuwan yang bebas
dari ilmuwan lainnya? Bagi saya semua ilmuwan ite pemamabiak alias
parasit. Marx mengembangkan filsafat dari Hegel, Lenin mempelajari teori Marx
dan dijabarkan dalam revolusi Russia, Mao juga mengembangkan teori Marx
sesuai dengan kondisi China pada saat kekuasaan Jepang dan kekuasaan
rezim boneka bentukan Amerika Serikat, Chiang Kai Shek. Jadi omong kosong
kalau ada ilmuwan yang mengatakan bahwa “saya adalah ilmuwan yang bebas
dan tidak bergantung pada siapa pun.” Lantas untuk apa penilitian
ilmiah, untuk apa DR. Naikoli harus kuliah jauh-jauh ke Portugal kalau sudah
bisa menjawab semua persoalan sendiri tanpa membutuhkan orang lain?
Ilmuwan yang baik adalah ilmuwan yang tidak munafik.

Setiap intelektual membutuhkan referensi, theori lain untuk memperkuat
analisis dan data-data yang ia temukan. Referensi dan teori-teori juga
dibutuhkan sebagai pisau analisis, maka sangatlah tepat kalau Lenin
mengatakan “Tidak ada gerakan revolusioner tanpa theori revolusioner”.
Kalau anda tidak mampu berteori maka anda ibarat ular yang merayap tanpa
kepala, karena theori membantu orang berpikir secara kritis, theori
juga sebagai landasan untuk melakukan aksi. Amilcar Cabral dalam bukunya
Unity and Struggle, Monthly Review Press, 1985—dalam salah satu bab dari
buku ini berjudul A Arma de Theoria. Pada saat itu Amilcar Cabral
menyadari betul betapa pentingnya analisis Marx mengenai struktur di dalam
masyarakat untuk menganalisis kehidupan masyarakat Guinnea-Bissau yang
sangat kompleks pada saat kolonialisme Portugues masih bercokol di
negara itu. Kalau mau jadi intelektual yang serius dan disegani—sebaiknya
jangan anti theori.

Dalam tulisan DR. Saky itupun tidak ada usaha untuk mengeksplorasi
akar-akar konflik secara jernih layaknya seorang sosiolog seperti yang anda
katakan. Kalau peranan dari seorang sosiolog hanya bisa
menjelek-jelekkan orang lain—saya pikir DR. Saky tidak perlu sekolah jauh-jauh, karena
penjual kankung pun bisa memaparkan ide-ide yang tidak kalah jauh
dengan DR. Saky.

6. Mengenai persoalan bahasa seperti anda sebutkan—dengan mengutip
Frantz (bukan Frans) Fanon segala macam. Saya hanya mau menanyakan kepada
DR. Naikoli, sebenarnya apa itu budaya menurut pemahaman DR. Naikoli?
Karena bagi saya kebudayaan itu bukanlah sesuatu yang stagnan
(begitu-begitu saja). Kebudayaan itu adalah sesuatu yang statis, bukan budaya
kalau tidak bisa berasimilasi dengan kebudayaan lainnya. Amilcar Cabral
mengatakan bahwa “kebudayaan itu harus mengalami benturan-benturan untuk
melahirkan dimensi baru—dimensi inilah yang akan mentransformasikan
diri menjadi kebudayaan nasional dan menjadi senjata yang ampuh dalam
melawan dominasi kaum kolonial.” Tolong baca Amilcar Cabral: Return to the
Source; Selected Speeches of Amilcar Cabral (Edited by African
Information Service), Monthly Review Press, 1973.

Banyak orang yang menggangap bukunya Fanon layaknya kitab suci yang
tidak bisa dijamah—jadi tidaklah mengherankan kalau ada orang tertentu
yang hanya mendapatkan kuliah tentang Fanon dari dosenya lalu menggangap
theori-theori Fanon sebagai dogma yang tidak bisa diutak-atik. Satu hal
yang harus diketahui oleh DR. Naikoli adalah bahwa Fanon sendiri bukan
intelektual yang dogmatis—seandainya dia dogmatis dia tidak akan
menentang ide-ide dari Karl Marx—ide-ide yang juga dipakai oleh para pemimpin
gerakan pembebasan Algeria dalam melawan dominasi Prancis. Dan satu hal
lagi yang patut diketahui oleh DR. Naikoli adalah semua buku-buku Fanon
diantaranya The Wretched of the Earth, Black Skin White Mask,--semuanya
ditulis dalam bahasa Prancis. Fanon sendiri pernah kuliah di Prancis
untuk belajar ilmu Psikiater sebelum kembali ke Algeria dan bergabung
dengan gerilyawan FSLN untuk membebaskan tanah airnya dari penjajahan
Prancis.

Teks asli dari buku The Wretched of the Earth ini membahas dengan
sangat kompherehensive persoalan munculnya elit baru di negara-negara
pasca kolonial, dan bagaimana para elit ini berperan menjadi “Tuan” baru
bagi rakyat di negaranya sendiri. Mereka enggan untuk mentransformasikan
pengetahuan yang mereka dapatkan dari universitas-universitas terkemuka
kepada massa rakyat, tetapi mereka justru mentransformasikan diri
menjadi elit baru (borjuis) di tengah-tengah rakyat dengan menempati
posisi-posisi penting dalam birokrasi yang telah ditinggalkan sebelumnya oleh
kaum kolonial.

Dalam bab The Pitfalls of National Conciousness, Fanon menjelaskan
dengan gamblang penyakit dari negara bekas jajahan. Dalam salah satu bab
Fanon menjelaskan “Kadang bangsa bekas jajahan ingin lebih putih dari
pada penjajahnya sendiri. Mereka terus mempertahankan
kebudayaan-kebudayaan penjajahnya, terus beromantisme dengan keistimewaan yang mereka
dapatkan di masa lalu ketika masih dijajah”. Kelihatan sekali DR. Naikoli
juga mengindap penyakit ini—“memaksa” orang lain untuk menulis dalam
bahasa Tetum tetapi pada saat yang sama ingin mempelajari pengetahuan dari
penjajahnya sendiri.

Sekali lagi mengenai persoalan bahasa. Bukannya saya tidak tertarik
untuk mempelajari bahasa Tetum, Portugis atau lain sebagainnya. Tetapi DR.
Naikoli harus menjamin kepada saya bahwa Bahasa Portugues akan tetap
dipakai kalau seandainya saya melakukan perjalanan darat Ke Kupang, Ke
Jakarta dan wilayah pedesaan di Timor lainnya. Karena bagaimanapun fungsi
bahasa adalah alat komunikasi dan tidak ada kaitanya dengan persoalan
nasionalisme. Kalau nasionalisme hanya dipahamai sebatas persoalan
bahasa maka DR. Naikoli tidak perlu kuliah jauh-jauh, cukup di Timor saja
untuk mempelajari bahasa Tetum.

Sebaiknya anda baca bukunya Chris Searle: Words Unchained; Language
and Revolution in Grenada, Zed books, 1984. Dalam bukunya ini Chris
menulis dengan sangat menarik perihal pengunaan bahasa-bahasa kaum
kolonial di negara-negara jajahan Portugis seperti Angola, Mozambique dan
Guinnea Bissau. Pada prinsipnya negara-negara jajahan dia atas menggunakan
bahasa penjajah sebagai strategi untuk mengetahui metode diplomasi dan
cara berperan mereka. Walaupun negara-negara jajahan ini tahu bahwa
usaha Portugis dalam menyebarkan bahasa Porto di Afrika adalah untuk
menghancurkan kebudayaan lokal masyarakat setempat termasuk bahasa. Di
Mozambique—para pemimpin gerakan pembebasan di negara itu terpaksa
mengadopsi bahasa Porto sebagai bahasa resmi mereka dalam perjuangan menentang
kolonial Portugis karena kesulitan mereka dalam berkomunikasi dengan
penduduk di pelosok negeri itu yang memiliki bahasa berbeda-beda. Karena
kesulitan dalam hal bahasa juga akan berakibat pada sulitnya membangun
kesadaran rakyat akan pentingnya perjuangan pembebasan.

Jadi persoalan budaya tidak bisa dinilai dari penguasaan bahasa semata.
Tetapi harus dilihat dengan obyektif dan memahami dengan baik definisi
dari kebudayaan. Dan berusahalah untuk melihat kebudayan dari berbagai
sisi dan berbagai gugus pemikiran. Karena jika hanya mengandalkan
satu sumber maka pemikiran kita juga cenderung stagnant dan menggangap
sumber lain tidak relevan untuk diperdebatkan.

Lagipula menyampaikan ide dalam bahasa Indonesia juga merupakan bagian
dari hak dan kebebasan saya—layaknya penulis lainnya yang menyampaikan
ide mereka dalam bahasa Inggris, Portugis, Latin dan Tetum.

Yang terakhir, sebenarnya saya tidak tertarik dengan debat kusir
seperti ini. Tetapi yang agak mengherankan adalah kenapa DR. Naikoli tidak
bisa mentransformasikan ide ini dan kirimkan ke STL agar kita bisa
menciptakan sebuah perdebatan yang serius dan kompherensive? Saya siap
menanggapi dengan serius.

Untuk menghindari debat kusir yang tidak produktif, saya mengajak DR.
Naikoli dan DR. Saky untuk mengirimkan tanggapan ke STL (harian yang
menerbitkan tanggapan saya terhadap tulisan DR. Saky). Karena tujuan saya
menanggapi artikel DR. Saky adalah bagian dari menyebarkan informasi
yang benar dan berimbang tentang sosiologi sebagai disiplin ilmu dan
tidak ada niatan sedikitpun untuk menjatuhkan atau meremehkan kapasitas
intelektual dari DR. Saky.

Akhir kalimat saya ingin menegaskan bahwa—sebagai seorang penulis saya
tidak membutuhkan konsensus untuk mengambil sebuah kesimpulan karena
itu saya juga tidak membutuhkan sebuah konsensus dengan komunitas di SIL
untuk merespond apa yang dikirimkan oleh DR. Naikoli. Saya orang yang
bebas dalam menulis apa saja sesuai dengan keinginan saya. Sedangkan
Sa’he Institute bukanlah sebuah entitas yang berdiri sendiri—tetapi
terdiri dari beberapa komunitas yakni komunitas Bucoli, Faulara, Ermera dan
tempat lainnya. Saya percaya pada pluralisme ide—karena itu apa yang
saya tulis adalah sepenuhnya tangungjawab saya dan tidak mewakili
komunitas Sa’he. Karena secara quantitas komunitas bukanlah entitas yang
kecil dan tentu saja dengan beragam ide yang kadang lebih brilian dari apa
yang telah saya paparkan untuk DR. Naikoli dan DR. Saky. Untuk
menghindari generalisasi persoalan saya pun sengaja tidak mencatumkan kalimat
“Tanggapan Untuk DR. Naikoli dan RENETIL.” Karena saya tahu dengan pasti
bahwa banyak orang di RENETIL yang memiliki ide lebih cemerlang dari
DR. Naikoli dan DR. Saky—jadi janganlah menggunakan nama RENETIL yang
agung untuk melindungi diri dan mengjustifikasi ide-ide yang keliru.
Perkataan saya ini berpatokan pada pengalaman saya sebagai salah seorang
militan RENETIL, dan sampai sekarang saya tetap bangga menggunakan sebutan
militan itu pada diri saya.

“The Truth must not only be the truth, it must be told.”
(Maurice Bishop, the central leader of the Grenada revolution)

Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.