VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20131217

KONSEPSI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA



KONSEPSI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA

Emilio F. Quintas

 Dalam rangka memperingati hari Universal hak asasi manusia yang ke 65, Timor-Leste yang merupakan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa ke 191 ikut juga memperingatinya. Karena negara merupakan regulator terhadap konsep perlindungan hak asasi manusia.           

Dalam perkembangan pemikiran tentang konsep negara modern, persoalan hak asasi manusia senantiasa menjadi unsur penting yang harus memperoleh jaminan perlindungan dalam Konstitusi negara sebagai sebuah hak yang tertinggi dalam suatu negara, Konstitusi diyakini akan memberikan perlindungan hak asasi manusia. Namun demikian diakui bahwa berbagai  Konstitusi negara tidaklah sama dalam memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Beberapa Konstitusi negara di anggap minim dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia, sementara negara yang lainnya sangat lengkap memberikan perlindungan,dalam hal ini seperti Konstitusi Timor-Leste sangatlah lengkap  bila di bandingan dengan negara-negara lain, seperti negara Indonesia.Tetapi dalam proses implementasinya nilai-nilai fundamental hak asasi manusia di Timor-Leste  melalui perunndang-undangannya sangatlah  kontraversial  dengan jiwanya konstitusi. Seperti Undang-undang untuk demonstrasi, yang mana isinya sangat bertentangan dengan konsepnya nilai-nilai hak asasi manusia yang telah menjadi salah satu norma dalam Konstitusi RDTL
Berbeda dengan perkembangan pemikiran hak asasi manusia yang harus dijamin dalam Konstitusi negara, perkembangan pemikiran tentang bagaimana masyarakat Internasional dan bangsa-bangsa  anggota Perserikatan Bangsa-bangsa harus melindungi dan menunjukan hak asasi manusia telah melahirkan perbedaan konsepsi tentang perlindungan hak asasi manusia pada tataran tingkat Internasional.
Melalui tulisan singkat ini penulis berusaha membahas konsepsi perlindungan hak asasi manusia yang lebih luas dalam ruang lingkup Nasional dan perkembangan konsepsi perlindungan hak asasi manusia di tingkat Internasional, dengan pendekatan aspek teoritis dan aspek kebutuhan praktis. Karena konsepsi pemikiran hak asasi manusia, baik di tingkat nasional dan Internasinal tidak dapat dilepaskan dari pemikiran filosofis dan ideologis yang melatar-belakanginya, maka dalam tulisan ini, aspek tersebut akan disinggung pula.
Pembahasan aspek filosofis, ideologis maupun teoritis tersebut akan sangat membantu memahami konsepsi perlindungan hak asasi manusia dari berbagai negara, khususnya konsepsi perlindungan hak asasi manusia dalam negara-negara nasional yang tercermin dalam Konstitusi, dan sikap politik mereka di tingkat Internasional.
Dewasa ini, kaitan perlindungan hak asasi manusia di tingkat nasional dan di tingkat Internasional, walaupun tidak simbiotis,  tetapi  hubungannya sangat erat, karena instrumen Internasinal mewajibkan sistem konstitusional domestik  setiap negara memberikan kompensasi  yang memadai kepada orang-orang yang haknya di langgar, untuk menggunakan mekanisme Internasional dalam menjamin hak-hak asasi apabila mekanisme perlindungan di dalam negara itu sendiri goyah. Dengan demikian, mekanisme Internasional berfungsi memperkuat perlindungan domestik   terhadap hak asasi manusia dan menyediakan sistem pengganti jika sistem domestik  gagal atau ternyata tidak memadai.
Pada tataran konseptual teoritik-filosofis, perlindungan hak asasi manusia dapat di telusuri hingga munculnya faham konstitusionalisme pada abad ke 17 dan 18. Bahkan apabila boleh diukur sampai saat  manusia dalam pergaulan hidupnya sadar akan hak yang dimilikinya, sejarah hak asasi manusia telah ada ketika  zaman purba, yaitu setidak-tidaknya pada masa Yunani kuno yaitu warga Athena telah mengenal prinsip-prinsip “isotimia”  (persamaan derajat warga negara), isogoria” ( persamaan kebebasan berbicara dan berkumpul ) serta isomania” ( Persamaan di depan Hukum ).
Namun demikian, pada umumnya disepakati bahwa gagasan perlindungan hak asasi manusia itu  secara konkrit terjadi pada abad 19. Pada abad ini , gagasan konstituisionalisme memperoleh rumusan yuridis. Di awali dengan pemikiran Immanuel Kant tentang konsep Rechts Staat“  yaitu konsep hukum dalam arti sermpit(formal) yang menempatkan fungsi  “Rechts” pada  “’Staats’  hanya sebagai alat bagi perlindungan hak asasi individual dan pengaturan kekuasaan negara  secara pasif, yakni hanya bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat.
Konsep Rechts Staats” di atas tampaknya banyak di pengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang “hak-hak asasi manusia secara alamiah     (Hak hidup kemerdekaan dan hak milik) serta asas pemisahan kekuasaan  “negara” ke dalam Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif yang dalam perkembangannya dimantapkan lebih lanjut oleh Montesquieu,Blackstone dan Jean Jacques Rousseau.
John Locke beranggapan, keadaan alamiah dan hak-hak Asasi manusia secara alamiah memang mendahului berdirinya negara. Oleh karena itu, seyogyanya negara tercipta melalui perjanjian masyarakat diantara rakyat dengan tujuan untuk melindungi hak hidup, hak milik dan kebebasan individu. Kekuasaan negara yang berbentuk melalui perjanjan kemasyarakatan itu, perlu di atur dengan perundang-undangan, dan kekuasaan perundang-undangan menempati kekuasaan tertinggi dalam negara serta menjadi tugas utama dari negara. Konsekuensi logisnya, kekuasaan perundang-undangan harus terpisah dari kekuasan pelaksana perundang-undangan dan kekuasan peradilan.
Di negara- negara Anglo Xaxon pemahaman terhadap negara hukum umumnya mengikuti konsep Supremacy of law, equality before the law the constitution based on individual rights” terdapat persamaan dan perbedaan antara konsep Recht-staats dan “The Rule of Law“ persamaan terletak pada landasan filosofis yang menjiwai kedua konsep negara  hukum tersebut. Kedua-duanya di jiwai oleh faham liberalistik- individualistik yang mengedepankan jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sebagai dasar utama pembentukan konstitusi dan pembatasan penyelengaraan pemerintahan berdasarkan Undang-undang. Perbedaannya terletak pada eksistensi peradilan administrasi negara. Pada konsep “Rechts staats“ peradilan di jadikan salah satu unsur utama yang bersifat otonom. Sebaliknya  konsep “Role of Law“ eksistensi peradilan administrasi secara otonom dipandang tidak perlu karena  peradilan umumnya dianggap berlaku sama bagi semua  orang baik warga  biasa maupun pejabat atau badan administrasi Negara sesuai dengan  prinsip “Equality before the Law“(Lukman, 1997:81-82).
Dalam perkembangan awalnya, yaitu abad ke 19 konsep negara hukum dirumuskan dalam suasana yang masih dikuasai oleh gagasan bahwa negara  dan pemerintahannya tidak campur tangan dalam urusan warga negaranya,kecuali yang menyangkut kepentingan umum, seperti bencana alam, hubungan luar  negeri, dan pertahanan negara. Aliran pemikiran tersebut di sebut liberalisme dirumuskan dalil The Least Government  is the best Government“ Pemerintahan yang paling sedikit campur tangan terhadap warga negara adalah pemerintahan yang baik. Negara dalam pandangan ini dianggap sebagai penjaga malam, yang ruang geraknya sangat sempit, tidak hanya di bidang politik, tetapi terutama di bidang  ekonomi, kegiatan bidang  ekonomi di kuasai/ kebebasan tiap-tiap individu mengurus kepentingan ekonominya masing-masing, maka dengan sendirinya keadaan ekonomi seluruh negara  akan sehat. Nagara hanya bertindak apabila hak-hak ekonomi dilanggar atau ketertiban dan keamanan umum terancam. Konsepsi negara hukum demikian dikenal sebagai negara hukum dalam keadaan sempit.
Pada abad ke 19 telah membawa perubahan-perubahan besar dalam bidang spesial ekonomi, perubahan-perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain banyaknya kecaman terhadap ekses-ekses industrialisasi sistem kapitalis, tersebarnya faham Sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata.
Gagasan bahwa pemerintahan dilarang campur tangan dalam urusan warga negara  baik di bidang social maupun ekonomi, lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah bertanggugjawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur keghidupan ekonomi social. Negara  dalam gagasan ini harus berperan luas mencakup bidang ekonomi. Negara semacam ini dinamakan negara  kesejahteraan Welfare State atau social Service State,  (Negara yang memberi pelayanan kepada masyarakat atau negara modern). 
Dalam perkembangan negara-negara modern sejak abad ke 19, perkembangan konsep negara hukum, khususnya yang berkaitan dengan konsepsi perlindungan hak asasi manusia, banyak yang dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran liberalisme di satu pihak dan Marxisme- Sosialisme di lain pihak. Pemikiran liberalisme- Kapitalisme telah menghasilkan apa yang disebut dengan “Liberal Style Constitution  yang mewarnai sebagian besar negara di dunia ini selama lebih kurang 50 Tahun (Steiner dan Alston,2000), Konstitusi model liberal ini menekankan jaminan perlindungan terhadap hak-hak individual yang lebih bersifat sipil dan politik, di satu pihak dan membatasi kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga peran negara sangat terbatas.
Berbeda bahkan bertentangan dengan dengan pemikiran liberalisme-kapitalisme, pemikiran Marxisme- sosialisme menghasilkan apa yang di sebut dengan “sosialist legality“, suatu konsep negara hukum yang mengandung prinsip-prinsip yang berbeda secara principal dengan konsep Rechts Staats dan Role of Law. Ciri utamanya, bersumber pada faham Komunis yang menempatkan hukum sebagai alat untuk mewujudkan Sosialisme dengan mengabaikan hak-hak perorangan. Hak-hak perorangan harus lebur dalam tujuan Sosialisme yang mengutamakan kepentingan masyarakat (Kolektivisme) diatas kepentingan pribadi individu-individu. Konsep Socialist Legality selain bersifat sekuler juga ateis, dan anti terhadap unsur-unsur atau nilai transedental.(Azhary, 1992:67-68).
Konsep ini di pengaruhi Marxisme, dalam masyarakat dimana para Kapitalis memonopoli alat-alat produksi, Marx menganggap bahwa pemikiran tentang hak-hak individu di anggap sebagai ilusi kaum borjuis, konsep-konsep seperti hukum, keadilan, moralitas, Demokrasi, Kebebasan, negara hukum dan lain-lainnya hanya kategori-kategori sejarah yang isinya di tentukan oleh kondisi-kondisi kehidupan berubah, isi dari pemikiran-pemikiran dan ide-ide itu berubah. Karena itu, eksistensi hak-hak individuals yang berakar pada keadaan alamiah yang ada sebelum adanya negara tidak ada. Hak asasi manusia hanyalah hak-hak yang diberikan oleh negara, dan pelaksanaannya tergantung pada pemenuhan kewajiban-kewajiban kepada masyarakat dan negara.
Dalam Konstitusi negara-negara yang berdasarkan Marxisme-Sosialisme, negara diberi peran besar untuk mengatur Hak-hak warga negara. Jaminan hak-hak dan kebebasan individual kurang mendapat tempat. Perbedaan-perbedaan konsepsional teoritis tentang negara hukum sebagaimana dipaparkan membawa implikasi pada aspek perlindungan hak asasi manusia baik pada tataran Nasional maupun Internasianal. Di negara-negara yang menganut konsep dan teori  “Rechts Staats atau “Rule of Law“ yang banyak di pengaruhi oleh liberalisme dan kapitalisme, perlindungan hak asasi manusia lebih menekankan pada pemberian kebebasan individu-individu warga negara untuk mengembangkan dan menentukan hidupnya sendiri. Campur tangan negara hanya diperlukan untuk menjaga agar kebebasan-kebebasan mengembangkan dan menentukan diri itu tertib. Konsepsi perlindungan  oleh negara lebih bersifat pasif.
Dalam negara yang demikian, perlindungan hak asasi manusia lebih menekankan pada hak-hak Sipil, di negara-negara yang  menganut konsep “Socialist Legality“ yang dipengaruhi oleh Marxisme dan Sosialisme dan Komunisme, yang memandang hak asasi manusia hanyalah hak-hak yang diberikan oleh negara dan pelaksanaannya tergantung pada pemenuhan kewajiban-kewajiban kepada masyarakat dan negara. Negaralah yang mengatur hak asasi manusia, negara  sebagai Regulator of Rights. Pada negara-negara yang menganut faham ini, perlindungan hak asasi manusia lebih menekankan pada perlindungan hakk-hak ekonomi, social dan budaya dengan campur tangan negara yang dominant. Perbedaan teoritis konsepsi negara hukum menimbulkan implikasi pada konsepsi perlindungan hak asasi manusia secara Internasional yang dapat di lihat pada permasalahan perlindungan hak asasi manusia di tataran konsepsi tingkat Internasional sebagai berikut; Negara-negara sosialis menghendaki, tugas masyarakat Internasional adalah untuk menyetujui peraturan atau standard yang luas mengenai kategori atau jenis-jenis hak-hak yang akan di akui, selanjutnya adalah sistem Internasinal masing-masing, terserah kepada masing-masing negara untuk memberikan kekhasan yang lebih besar bagi peraturan atau standard yang lebih luas. Dalam tahap ini masyarakat Internasional tidak dapat lagi campur tangan, ini berarti Negara-negara lain atau organisasi  masyarakat Internasional tidak dapat mempertanyakan pelaksanaan hak-hak itu. Sesuai dengan prinsip larangan campur tangan terhadap urusan dalam negeri. Satu-satunya pengecualian yang menbenarkan  campur tangan urusan dalam negeri negara lain adalah apabila pelanggaran hak asasi manusia itu terjadi sedemikian gawatnya dan sedemikian sistimatisnya sehingga merupakan ancaman terhadap perdamaian.
Sebaliknya bagi negara-negara barat harus ada konsepsi pengawasan internasional untuk mengawasi peleksanaan standar-standar internasional yang luas itu. Oleh karena itu, perlu pembentukan mekenisme monitoring internasional yang meyakinkan apakah suatu negara benar-benar melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional yang di pikulnya. Karena instansi-instansi negara sering kali tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional yang berasal dari luar atau sering memenipulasi kewajiban-kewajiban internasional dengan alasan kedaulatan internasional. Hanya mata masyarakat internasional yang siagalah dapat menjamin dilaksanakannya standar-standar internasional itu secara sepantasnya.
Perbedaan tajam antara negara-negara sosialis dan negara barat dalam konsepsi perlindungan hak asasi manusia berkaitan dengan adanya dua kategori hak asasi manusia, yaitu hak sipil dan politik, disatu pihak dan hak ekonomi sosial dan budaya. Dengan alasan sesuai dengan keadaan dan kepentingan masing-masing negara, negara berkembang dan negara sosialis menuntut agar hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang pantas dimenangkan dalam aksi internasional. Sebaliknya negara-negara barat cenderung untuk memenangkan hak-hak sipil dan politik dalam aksi internasional.
Timor-Leste yang baru menjadi negara di era milineum ini telah meratifikasi sejumlah Konvensi Internasional, semoga tetap mempunyai komitmen yang tinggi dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia terhadap warganya, karena Konvesi internasional merupakan standar bagi negara peserta untuk menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia.     
.
Penulis staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Dili




Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.