“During the time of universal deceit,
Telling the truth becomes a Revolutionary Act” – George Orwell
Ketika orang-orang sorak-sorai sepanjang bulan Agustus menyambut ulang tahun ke 10 Referendum, mengenang tragedy kemanusiaan yang terjadi 10 tahun lalu, tepat di hari penentuan kemenangan, Presiden Timor-Leste dan Perdana Menteri Timor-Leste bersepakat untuk membebaskan Maternus Bere, yang menjadi komandan Peleton Laksaur Suai Kota pada tahun 1999.
Catatan criminal Maternus Bere- Sekretaris Camat Kobalima Timur, Kabupaten Belu saat ini- tercatat dalam dakwaan bersama terhadap Letnan Kolonel Herman Sedyono, mantan bupati Suai pada tahun 1999. Menurut dakwaan dan juga hasil wawancara dengan korban dan juga dokumen Komisi Kebenaran dan Persahabaatan (KKP) Indonesia-Timor-Leste, Maternus dituduh bersama anggota milisi Laksaur yang dipimpin Herman Sedyono menyerang dan membunuh ratusan orang yang berlindung di Gereja suai pada tanggal 6 September 1999, termasuk tiga Pastor Katolik. Herman Sedyono yang divonis 10 tahun penjara oleh pengadilan Ad Hoc Jakarta pada tahun 2002, akhirnya dibebaskan setelah naik banding. Maternus Bere tidak pernah di sidang di Indonesia.
Selama periode kerja KKP, Maternus Bere “menolak” hadir dalam dengar pendapat terbuka maupun tertutup, tetapi memberikan pernyataan bahwa memang TNI membagi senjata kepada anggota milisi termasuk dirinya yang mengambil bagian dalam penyerangan ke gereja Suai. Berdasarkan dakwaan Deputy General Persecutor, Maternus Bere didakwa melakukan penyerangan, pembunuhan dan pemindahan paksa yang dikategorikan sebagai Kejahatan terhadap Kemaunusiaan (KtK)-Crime Against Humanity) yang tak terampuni menurut Konstitusi TL dan juga ICC-Statuta Roma.
What Went Wrong?
Secara hukum, para pembebas Maternus Bere telah secara SAH melanggar:
Konstitusi RDTL pasal 35tentang ekstradisi, pasal 1603 tentang KtK, melanggar ICC – Statuta Roma pasal 5 yang telah di ratifikasi, melecehkan dan makin melemahkan sistem peradilan di Timor-Leste yang telah lemah – bukannya memperkuat- dan yang paling hakiki adalah menabur garam pada luka para korban yang masih bernanah.
Dimensi hukum dan kemanusiaan para pemberi impunitas yang mencoba berkedok dibalik kematian sanak-keluarganya sendiri, mungkin karena mereka lupa bahwa dalam berbicara tentang korban-terutama korban pelanggaran HAM- tidak pernah adil untuk membandingkan siapa yang lebih berkorban. Karena kemampuan setiap orang untuk memahami pengorbanan yang terjadi tidaklah sama. Apalagi, kesenjangan sosial-ekonomi menjadi hal nyata yang kini membedakan persepsi korban seorang Presiden Ramos-Horta dengan seorang Esmeralda dos Santos, korban perkosaan milisi Laksaur-Suai, pasca penyerangan Gereja Suai- yang kemudian harus melahirkan Maria Robinson. Mungkin saja saat ini hari-hari Esmeralda dilalui dengan kegelisahan yang dalam tentang kapan dan bagaimana memberitahu siapa sebenarnya ayah Maria Robinson kepada anaknya. Maka pantaslah kalau para keluarga korban mengatakan bahwa para pemimpin dan pejuang HAM semuanya adalah pembohong.
Namun selama hampir sebulan ini pula, serangan demi serangan telah dialamatkan kepada Presiden Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao yang hampir saja tewas pada bulan Februari 2008. Serangan dari keluarga korban yang dengan kemurnian jiwa mereka, menangisi kehilangan sanak-keluarganya dan juga menangisi pahitnya kenyataan yang mereka terima dari pemimpin mereka, serangan berkamuflase kemanusiaan yang disampaikan oleh pejuang HAM lokal maupun internasional, di tambah kemunafikan politik yang dilancarkan oleh para politisi di Timor-Leste, telah bukan saja menghibur para korban tetapi juga membuka pengharapan nan kunjung tiba bagi mereka.
Yang pasti, para korban dan keluarga korban hanya meminta sebersik keadilan bukan hanya dalam praktek peradilan formal, tetapi berilah mereka keadilan yang bisa diterima nurani dan jiwa mereka. Bagi saya, kejahatan tetap kejahatan dan tidak bisa membandingkan penderitaan para korban!
Benarkah Presiden Ramos-Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao bersalah? Secara hukum itu adalah pasti dan keduanya yakin sekali tahu bahwa mereka akan melanggar, mereka melanggar dan telah melanggar konstitusi, konvensi internasional dan juga telah melukai mereka yang telah tak berdaya. Mereka siap menerima konsekuensi apapun dan tentu saja mereka sedang mengepak sayapnya dan berkata bahwa kami telah melanggar so what?
Superioritas dan Kekerdilan Nalar
Lantas apa yang membuat Presiden Horta dan Perdana Menteri Xanana Gumao melakukan tindakan inkonstitusional-ilegal ini? Mereka yakin sekali bahwa Prokuradoria Geral dan Tribunal Recursu apalagi Parlamen Nasional tidak akan melakukan hal yang luar biasa terhadap mereka. Ancaman mengundurkan diri dari bangku kepresidenan telah menciutkan nyali para wakil partai politik di Parlamen dan menjadikan mereka seperti pejantan perah. Hardikan Presiden Ramos-Horta telah membuat para wakil partai politik lemah-lumlai, tak berdaya dan bagaikan anak kecil yang rewel, kemudian diam mendadak karena ayahnya baru memberi dia permen nano-nano.
Tentu saja, Presiden Horta merasa lebih superior ketimbang anggota Parlamen. Presiden Horta dipilih langsung rakyat sedangkan anggota parlamen diberi nomor jadi oleh partainya. Jadi apa yang berani Parlamen lakukan terhadap Horta? Diam dan pasrah karena nalar mereka membeku. Presiden Horta dan Parlamen Nasional persis sama seperti Cicak dan Buaya, dalam analogi kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia melawan Polisi Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung Indonesia saat ini. Siapa buaya dan siapa cicak dalam duet Horta-Gusmao vs Parlamen Nasional, anda tentukan sendiri. Saya tahu persis siapa yang telah menjadi cicak.
Menekan atau Ditekan dan Terjebak?
Minggu ini, saya menonton sebuah talk show di salah satu saluran TV swasta Indonesia dan para pembicara membicarakan tentang persepsi mereka tentang menjadi seorang pendidik dan politisi. Para pembicara adalah para ahli agama dan politik. Mereka sepakat bahwa menjadi pendidik agama adalah berkata TIDAK pada berbohong. Sedangkan menjadi politisi, berbohong adalah WAJIB.1
Cuplikan dialog tersebut menarik karena momennya bertepatan dengan apa yang masih menjadi topik utama di negeri ini, sejak Maternus Bere di bebaskan. Minggu lalu dan akan berlanjut minggu ini, anggota Parlamen sedang mengajukan mosi tidak percaya (Mosaun Sensura) kepada pemerintah Perdana Menteri Xanana Gusmao. Jika mosi ini lolos-tentu saja tidak akan lolos- Pemerintah de Facto Xanana Gusmao, menurut koalisi partai oposisi di Parlamen, akan gulung tikar.
Dalam hemat saya, setelah tentu saja mengamini bahwa secara konsitusi dan hukum yang mengatur tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan seperti yang dituduhkan kepada Maternus Bere, maka dalam hal ini Presiden Ramos-Horta – Perdana Menteri Xanana Gusmao BERSALAH. Namun bagi yang mengikuti politik kedua pemimpin Timor-Leste saat ini terutama Presiden Ramos-Horta dalam hal menghadirkan keadilan bagi korban kemanusiaan terutama untuk tragedi 1999, akan terlihat jelas sebuah gerakan yang konsisten sejak Timor-Leste merdeka dalam pernyataan-pernyataannya.
Beberapa yang terus teringat dan terus diucapkan dalam pernyataan resmi kenegaraan, dalam konferensi, dalam dengar pendapat umum dan juga kepada media lokal dan internasional antara lain: “Keadilan bagi masyarakat TL adalah ketika kita meraih kemerdekaan ini”; “ Selama saya menjadi Menteri Luar Negeri TL, saya katakan sejujurnya bahwa tidak akan ada pengadilan Internasional untuk kasus 1999”; Biarkan Indonesia mengadili warga negaranya sendiri yang melakukan kejahatan di Timor-Leste”. Inti dari pernyataan Ramos-Horta adalah biarkan Indonesia melaksanakan proses peradilan untuk warga negaranya. Bukan Timor-Leste dan komunitas internasioanl. Presiden Ramos-Horta begitu yakin bahwa suatu saat, ketika Indonesia sudah berdiri diatas supermasi hukum, keadilan akan ditegakan. Kapankah itu, tentu saja tidak dalam waktu dekat, apalagi Indonesia masih belum tereformasi secara menyeluruh dan masih dalam transisi politik yang rumit.
Tentu saja semua pernyataan tersebut menyakitkan dan makin tidak bisa diterima akal sehat, ketika seseorang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) di Prokuradoria Geral (PG) Timor-Leste, setelah di tangkap kemudian di bebaskan.
Berbagai tanggapan dari aspek legal-konstitusional telah dilansir oleh berbagai pihak, mulai dari LSM lokal dan sekutu internasionalnya, PBB, partai politik dan oleh para analis hukum-HAM dan politik.
Tulisan ini bermaksud menelaah sisi lain dari tindakan pembebasan Maternus Bere oleh Presiden Ramos-Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao. entah benar atau tidak karena tekanan Indonesia melalui seorang Menteri Luar Negeri Indonesia- yang menolak hadir di perayaan 10 Referendum Timor-Leste jika Maternus Bere tidak dibebaskan, atau sekedar rumor politik? Tidak ada yang tahu pasti, tentu saja selain Presiden Horta dan Perdana Menteri Gusmao.
Bagi saya, pernyataan-pernyataan Presiden Horta tentang keadilan bagi korban selama ini juga telah secara sengaja diplintir oleh media massa dan publik bahwa Timor-Leste menolak pengadilan internasional atas tragedi1999. Sejauh yang saya pahami dari pernyataan Presiden Horta adalah bahwa Indonesialah yang harus mengadili warga negaranya yang melakukan kejahatan entah di pengadilan Ad Hoc atau sebuah pengadilan internasional. Hal ini sejalan dengan apa yang disyaratkan oleh ICC-Statuta Roma bahwa sepanjang sebuah Negara memiliki sistem peradilan yang telah berjalan, maka Negara tersebutlah yang wajib melakukan peradilan atas kejahatan yang terjadi. Dengan demikian sepanjang DK PBB tidak mengambil keputusan tentang pendirian sebuah pengadilan internasional, maka sebaiknya pejuang HAM yang mengatasnamakan korban, harus bisa mencari alternatif perjuangan penegakan keadilan dalam bentuk yang lain. Bukannya bertahan dalam sebuah konsisten ambivalen.
Oleh sebab itu, pembebasan Maternus Bere, saya mencoba melihatnya dari dimensi diplomasi menekan dan menjebak Indonesia disatu sisi dan juga cambuk bagi dunia internasional- terutama Dewan Keamanan PBB dan Komisi HAM PBB untuk segera meminta Indonesia melakukan persidangan ulang atas pengadilan Ad Hoc yang tidak memenuhi standar internasional. Tindakan ini juga semacam jeweran terhadap LSM HAM Timor-Leste dan sekutu internasionalnya yang sudah 10 tahun ini tetap konsisten dengan diplomasi pengharapan kosong bagi korban tanpa sebuah langkah maju konkrit, disisi lainnya.
Beberapa pra-kondisi yang menjadi latar belakang tindakan Presiden Horta antara lain konstitusi RDTL pasal 160, 162(rekonsiliasi)-163 (organisasi peradilan transisi), ICC-Statuta Roma yang telah di ratifikasi oleh Timor-Leste, dakwaan-dakwaan SCU di Pengadilan Timor-Leste yang kesemuanya masuk dalam kategori KtK yang memiliki jurisdiksi universal dan rekomendasi Komisi Ahli PBB terhadap Pengadilan Ad Hoc HAM Jakarta.
Saat ini-semoga saja- Maternus Bere masih berada dalam perlindungan diplomatik kedutaan Indonesia di Dili dan jika dugaan saya benar, maka pihak Indonesia pun tidak akan berani menerbangkan Maternus Bere keluar Timor-Leste dan kemudian membebaskannya di Indonesia.
Indonesia sedang berada dalam dilema yang sangat besar karena beberapa pra kondisi seperti saya katakan diatas. Jika Maternus Bere keluar dari Timor-Leste maka pilihannya adalah, Maternus Bere harus di sidang di Jakarta atau di kupang. Karena Kejaksaan Agung Indonesia tidak memiliki bukti atas keterkaitan Maternus Bere dalam kasus penyerangan Gereja Suai pada tahun 1999, maka pilihannya adalah Kejaksaan Agung Indonesia meminta semua dokumen investigasi dan juga dakwaan yang telah di susun oleh SCU – Prokuradoria Geral di Timor-Leste. Ketika ini terjadi, maka atas nama Negara, Presiden Horta dan Perdana Menteri Gusmao akan menyerahkan semua bukti-bukti yang ada. Tentu saja, jika persidangan di Indonesia independen, maka akan mengiring Maternus Bere menjadi terhukum dalam kasus penyerangan Gereja Suai.
Dengan dihukumnya Maternus Bere, maka menjadi perseden kuat bagi DK PBB, LSM HAM di Dili dan sekutu internasionalnya untuk menuntut kepada Kejaksaan Agung Indonesia untuk menerima semua dokumen investigasi terhadap 450 dakwaan2 KtK yang ada pada Prokuradoria Geral Timor-Leste -tentu saja termasuk dakwaan terhadap Wiranto cs-untuk kemudian dimulailah persidangan ulang Ad Hoc di Jakarta. Akhir dari skenario ini, silahkan tebak sendiri.
Jika skenario ini yang dipikirkan Presiden Horta dan Perdana Menteri Gusmao, maka ketika itulah konsistensi kedua negarawan ini, yang selama ini meminta Indonesialah yang harus melaksanakan persidangan atas warga negaranya, telah berbalik dari sangkaan Komisi HAM PBB, LSM HAM Timor-Leste dan sekutunya-terutama LSM HAM Indonesia- dan politisi Timor-Leste sebagai sesuatu yang salah dan menafikan penderitaan korban, berbalik menjadi sebuah senjata penekan dan menjebak Indonesia pada posisi kekalahan diplomatis yang menyakitkan.
Dan jika skenario ini benar, maka konsistensi Horta-Gusmao ini menjadi pesan penting bagi para korban dan keluarga korban penuntut keadilan, bahwa LSM HAM Timor-Leste dan sekutu internasional serta politisi Timor-Leste tidak pernah bisa memahami garis-garis kusut dibalik pernyataan-pernyataan politis Presiden Horta dan Perdana Menteri Gusmao, tetapi hanya bisa memberi pengharapan kosong.
Ini sekedar refleksi yang mencoba memberi nuansa lain terhadap tuntutan keadilan oleh para korban dan keluarga korban di Timor-Leste dan refleksi pemikiran kepada para aktor pejuang HAM dan politisi di Timor-Leste.
Opini - Hugo Fernandes
Dili - nahabere@yahoo.com
Telling the truth becomes a Revolutionary Act” – George Orwell
Ketika orang-orang sorak-sorai sepanjang bulan Agustus menyambut ulang tahun ke 10 Referendum, mengenang tragedy kemanusiaan yang terjadi 10 tahun lalu, tepat di hari penentuan kemenangan, Presiden Timor-Leste dan Perdana Menteri Timor-Leste bersepakat untuk membebaskan Maternus Bere, yang menjadi komandan Peleton Laksaur Suai Kota pada tahun 1999.
Catatan criminal Maternus Bere- Sekretaris Camat Kobalima Timur, Kabupaten Belu saat ini- tercatat dalam dakwaan bersama terhadap Letnan Kolonel Herman Sedyono, mantan bupati Suai pada tahun 1999. Menurut dakwaan dan juga hasil wawancara dengan korban dan juga dokumen Komisi Kebenaran dan Persahabaatan (KKP) Indonesia-Timor-Leste, Maternus dituduh bersama anggota milisi Laksaur yang dipimpin Herman Sedyono menyerang dan membunuh ratusan orang yang berlindung di Gereja suai pada tanggal 6 September 1999, termasuk tiga Pastor Katolik. Herman Sedyono yang divonis 10 tahun penjara oleh pengadilan Ad Hoc Jakarta pada tahun 2002, akhirnya dibebaskan setelah naik banding. Maternus Bere tidak pernah di sidang di Indonesia.
Selama periode kerja KKP, Maternus Bere “menolak” hadir dalam dengar pendapat terbuka maupun tertutup, tetapi memberikan pernyataan bahwa memang TNI membagi senjata kepada anggota milisi termasuk dirinya yang mengambil bagian dalam penyerangan ke gereja Suai. Berdasarkan dakwaan Deputy General Persecutor, Maternus Bere didakwa melakukan penyerangan, pembunuhan dan pemindahan paksa yang dikategorikan sebagai Kejahatan terhadap Kemaunusiaan (KtK)-Crime Against Humanity) yang tak terampuni menurut Konstitusi TL dan juga ICC-Statuta Roma.
What Went Wrong?
Secara hukum, para pembebas Maternus Bere telah secara SAH melanggar:
Konstitusi RDTL pasal 35tentang ekstradisi, pasal 1603 tentang KtK, melanggar ICC – Statuta Roma pasal 5 yang telah di ratifikasi, melecehkan dan makin melemahkan sistem peradilan di Timor-Leste yang telah lemah – bukannya memperkuat- dan yang paling hakiki adalah menabur garam pada luka para korban yang masih bernanah.
Dimensi hukum dan kemanusiaan para pemberi impunitas yang mencoba berkedok dibalik kematian sanak-keluarganya sendiri, mungkin karena mereka lupa bahwa dalam berbicara tentang korban-terutama korban pelanggaran HAM- tidak pernah adil untuk membandingkan siapa yang lebih berkorban. Karena kemampuan setiap orang untuk memahami pengorbanan yang terjadi tidaklah sama. Apalagi, kesenjangan sosial-ekonomi menjadi hal nyata yang kini membedakan persepsi korban seorang Presiden Ramos-Horta dengan seorang Esmeralda dos Santos, korban perkosaan milisi Laksaur-Suai, pasca penyerangan Gereja Suai- yang kemudian harus melahirkan Maria Robinson. Mungkin saja saat ini hari-hari Esmeralda dilalui dengan kegelisahan yang dalam tentang kapan dan bagaimana memberitahu siapa sebenarnya ayah Maria Robinson kepada anaknya. Maka pantaslah kalau para keluarga korban mengatakan bahwa para pemimpin dan pejuang HAM semuanya adalah pembohong.
Namun selama hampir sebulan ini pula, serangan demi serangan telah dialamatkan kepada Presiden Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao yang hampir saja tewas pada bulan Februari 2008. Serangan dari keluarga korban yang dengan kemurnian jiwa mereka, menangisi kehilangan sanak-keluarganya dan juga menangisi pahitnya kenyataan yang mereka terima dari pemimpin mereka, serangan berkamuflase kemanusiaan yang disampaikan oleh pejuang HAM lokal maupun internasional, di tambah kemunafikan politik yang dilancarkan oleh para politisi di Timor-Leste, telah bukan saja menghibur para korban tetapi juga membuka pengharapan nan kunjung tiba bagi mereka.
Yang pasti, para korban dan keluarga korban hanya meminta sebersik keadilan bukan hanya dalam praktek peradilan formal, tetapi berilah mereka keadilan yang bisa diterima nurani dan jiwa mereka. Bagi saya, kejahatan tetap kejahatan dan tidak bisa membandingkan penderitaan para korban!
Benarkah Presiden Ramos-Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao bersalah? Secara hukum itu adalah pasti dan keduanya yakin sekali tahu bahwa mereka akan melanggar, mereka melanggar dan telah melanggar konstitusi, konvensi internasional dan juga telah melukai mereka yang telah tak berdaya. Mereka siap menerima konsekuensi apapun dan tentu saja mereka sedang mengepak sayapnya dan berkata bahwa kami telah melanggar so what?
Superioritas dan Kekerdilan Nalar
Lantas apa yang membuat Presiden Horta dan Perdana Menteri Xanana Gumao melakukan tindakan inkonstitusional-ilegal ini? Mereka yakin sekali bahwa Prokuradoria Geral dan Tribunal Recursu apalagi Parlamen Nasional tidak akan melakukan hal yang luar biasa terhadap mereka. Ancaman mengundurkan diri dari bangku kepresidenan telah menciutkan nyali para wakil partai politik di Parlamen dan menjadikan mereka seperti pejantan perah. Hardikan Presiden Ramos-Horta telah membuat para wakil partai politik lemah-lumlai, tak berdaya dan bagaikan anak kecil yang rewel, kemudian diam mendadak karena ayahnya baru memberi dia permen nano-nano.
Tentu saja, Presiden Horta merasa lebih superior ketimbang anggota Parlamen. Presiden Horta dipilih langsung rakyat sedangkan anggota parlamen diberi nomor jadi oleh partainya. Jadi apa yang berani Parlamen lakukan terhadap Horta? Diam dan pasrah karena nalar mereka membeku. Presiden Horta dan Parlamen Nasional persis sama seperti Cicak dan Buaya, dalam analogi kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia melawan Polisi Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung Indonesia saat ini. Siapa buaya dan siapa cicak dalam duet Horta-Gusmao vs Parlamen Nasional, anda tentukan sendiri. Saya tahu persis siapa yang telah menjadi cicak.
Menekan atau Ditekan dan Terjebak?
Minggu ini, saya menonton sebuah talk show di salah satu saluran TV swasta Indonesia dan para pembicara membicarakan tentang persepsi mereka tentang menjadi seorang pendidik dan politisi. Para pembicara adalah para ahli agama dan politik. Mereka sepakat bahwa menjadi pendidik agama adalah berkata TIDAK pada berbohong. Sedangkan menjadi politisi, berbohong adalah WAJIB.1
Cuplikan dialog tersebut menarik karena momennya bertepatan dengan apa yang masih menjadi topik utama di negeri ini, sejak Maternus Bere di bebaskan. Minggu lalu dan akan berlanjut minggu ini, anggota Parlamen sedang mengajukan mosi tidak percaya (Mosaun Sensura) kepada pemerintah Perdana Menteri Xanana Gusmao. Jika mosi ini lolos-tentu saja tidak akan lolos- Pemerintah de Facto Xanana Gusmao, menurut koalisi partai oposisi di Parlamen, akan gulung tikar.
Dalam hemat saya, setelah tentu saja mengamini bahwa secara konsitusi dan hukum yang mengatur tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan seperti yang dituduhkan kepada Maternus Bere, maka dalam hal ini Presiden Ramos-Horta – Perdana Menteri Xanana Gusmao BERSALAH. Namun bagi yang mengikuti politik kedua pemimpin Timor-Leste saat ini terutama Presiden Ramos-Horta dalam hal menghadirkan keadilan bagi korban kemanusiaan terutama untuk tragedi 1999, akan terlihat jelas sebuah gerakan yang konsisten sejak Timor-Leste merdeka dalam pernyataan-pernyataannya.
Beberapa yang terus teringat dan terus diucapkan dalam pernyataan resmi kenegaraan, dalam konferensi, dalam dengar pendapat umum dan juga kepada media lokal dan internasional antara lain: “Keadilan bagi masyarakat TL adalah ketika kita meraih kemerdekaan ini”; “ Selama saya menjadi Menteri Luar Negeri TL, saya katakan sejujurnya bahwa tidak akan ada pengadilan Internasional untuk kasus 1999”; Biarkan Indonesia mengadili warga negaranya sendiri yang melakukan kejahatan di Timor-Leste”. Inti dari pernyataan Ramos-Horta adalah biarkan Indonesia melaksanakan proses peradilan untuk warga negaranya. Bukan Timor-Leste dan komunitas internasioanl. Presiden Ramos-Horta begitu yakin bahwa suatu saat, ketika Indonesia sudah berdiri diatas supermasi hukum, keadilan akan ditegakan. Kapankah itu, tentu saja tidak dalam waktu dekat, apalagi Indonesia masih belum tereformasi secara menyeluruh dan masih dalam transisi politik yang rumit.
Tentu saja semua pernyataan tersebut menyakitkan dan makin tidak bisa diterima akal sehat, ketika seseorang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) di Prokuradoria Geral (PG) Timor-Leste, setelah di tangkap kemudian di bebaskan.
Berbagai tanggapan dari aspek legal-konstitusional telah dilansir oleh berbagai pihak, mulai dari LSM lokal dan sekutu internasionalnya, PBB, partai politik dan oleh para analis hukum-HAM dan politik.
Tulisan ini bermaksud menelaah sisi lain dari tindakan pembebasan Maternus Bere oleh Presiden Ramos-Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao. entah benar atau tidak karena tekanan Indonesia melalui seorang Menteri Luar Negeri Indonesia- yang menolak hadir di perayaan 10 Referendum Timor-Leste jika Maternus Bere tidak dibebaskan, atau sekedar rumor politik? Tidak ada yang tahu pasti, tentu saja selain Presiden Horta dan Perdana Menteri Gusmao.
Bagi saya, pernyataan-pernyataan Presiden Horta tentang keadilan bagi korban selama ini juga telah secara sengaja diplintir oleh media massa dan publik bahwa Timor-Leste menolak pengadilan internasional atas tragedi1999. Sejauh yang saya pahami dari pernyataan Presiden Horta adalah bahwa Indonesialah yang harus mengadili warga negaranya yang melakukan kejahatan entah di pengadilan Ad Hoc atau sebuah pengadilan internasional. Hal ini sejalan dengan apa yang disyaratkan oleh ICC-Statuta Roma bahwa sepanjang sebuah Negara memiliki sistem peradilan yang telah berjalan, maka Negara tersebutlah yang wajib melakukan peradilan atas kejahatan yang terjadi. Dengan demikian sepanjang DK PBB tidak mengambil keputusan tentang pendirian sebuah pengadilan internasional, maka sebaiknya pejuang HAM yang mengatasnamakan korban, harus bisa mencari alternatif perjuangan penegakan keadilan dalam bentuk yang lain. Bukannya bertahan dalam sebuah konsisten ambivalen.
Oleh sebab itu, pembebasan Maternus Bere, saya mencoba melihatnya dari dimensi diplomasi menekan dan menjebak Indonesia disatu sisi dan juga cambuk bagi dunia internasional- terutama Dewan Keamanan PBB dan Komisi HAM PBB untuk segera meminta Indonesia melakukan persidangan ulang atas pengadilan Ad Hoc yang tidak memenuhi standar internasional. Tindakan ini juga semacam jeweran terhadap LSM HAM Timor-Leste dan sekutu internasionalnya yang sudah 10 tahun ini tetap konsisten dengan diplomasi pengharapan kosong bagi korban tanpa sebuah langkah maju konkrit, disisi lainnya.
Beberapa pra-kondisi yang menjadi latar belakang tindakan Presiden Horta antara lain konstitusi RDTL pasal 160, 162(rekonsiliasi)-163 (organisasi peradilan transisi), ICC-Statuta Roma yang telah di ratifikasi oleh Timor-Leste, dakwaan-dakwaan SCU di Pengadilan Timor-Leste yang kesemuanya masuk dalam kategori KtK yang memiliki jurisdiksi universal dan rekomendasi Komisi Ahli PBB terhadap Pengadilan Ad Hoc HAM Jakarta.
Saat ini-semoga saja- Maternus Bere masih berada dalam perlindungan diplomatik kedutaan Indonesia di Dili dan jika dugaan saya benar, maka pihak Indonesia pun tidak akan berani menerbangkan Maternus Bere keluar Timor-Leste dan kemudian membebaskannya di Indonesia.
Indonesia sedang berada dalam dilema yang sangat besar karena beberapa pra kondisi seperti saya katakan diatas. Jika Maternus Bere keluar dari Timor-Leste maka pilihannya adalah, Maternus Bere harus di sidang di Jakarta atau di kupang. Karena Kejaksaan Agung Indonesia tidak memiliki bukti atas keterkaitan Maternus Bere dalam kasus penyerangan Gereja Suai pada tahun 1999, maka pilihannya adalah Kejaksaan Agung Indonesia meminta semua dokumen investigasi dan juga dakwaan yang telah di susun oleh SCU – Prokuradoria Geral di Timor-Leste. Ketika ini terjadi, maka atas nama Negara, Presiden Horta dan Perdana Menteri Gusmao akan menyerahkan semua bukti-bukti yang ada. Tentu saja, jika persidangan di Indonesia independen, maka akan mengiring Maternus Bere menjadi terhukum dalam kasus penyerangan Gereja Suai.
Dengan dihukumnya Maternus Bere, maka menjadi perseden kuat bagi DK PBB, LSM HAM di Dili dan sekutu internasionalnya untuk menuntut kepada Kejaksaan Agung Indonesia untuk menerima semua dokumen investigasi terhadap 450 dakwaan2 KtK yang ada pada Prokuradoria Geral Timor-Leste -tentu saja termasuk dakwaan terhadap Wiranto cs-untuk kemudian dimulailah persidangan ulang Ad Hoc di Jakarta. Akhir dari skenario ini, silahkan tebak sendiri.
Jika skenario ini yang dipikirkan Presiden Horta dan Perdana Menteri Gusmao, maka ketika itulah konsistensi kedua negarawan ini, yang selama ini meminta Indonesialah yang harus melaksanakan persidangan atas warga negaranya, telah berbalik dari sangkaan Komisi HAM PBB, LSM HAM Timor-Leste dan sekutunya-terutama LSM HAM Indonesia- dan politisi Timor-Leste sebagai sesuatu yang salah dan menafikan penderitaan korban, berbalik menjadi sebuah senjata penekan dan menjebak Indonesia pada posisi kekalahan diplomatis yang menyakitkan.
Dan jika skenario ini benar, maka konsistensi Horta-Gusmao ini menjadi pesan penting bagi para korban dan keluarga korban penuntut keadilan, bahwa LSM HAM Timor-Leste dan sekutu internasional serta politisi Timor-Leste tidak pernah bisa memahami garis-garis kusut dibalik pernyataan-pernyataan politis Presiden Horta dan Perdana Menteri Gusmao, tetapi hanya bisa memberi pengharapan kosong.
Ini sekedar refleksi yang mencoba memberi nuansa lain terhadap tuntutan keadilan oleh para korban dan keluarga korban di Timor-Leste dan refleksi pemikiran kepada para aktor pejuang HAM dan politisi di Timor-Leste.
Opini - Hugo Fernandes
Dili - nahabere@yahoo.com
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.