Oleh Agio Pereira
Dalam perdebatan parlamentar mengenai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun fiskal 2009, muncul pendapat dari seorang lider Timor Leste yang mengatakan bahwa intervensi Perdana Menteri dalam menjustifikasi proposal ABPN adalah semacam sebuah mimpi. Konon, bagi mereka yang memiliki warna politik yang identik justru meniru dan menjejaki trik politik ini.
Sangat sesuai
Dalam syair puisi “Laut Portugis (mar Portuguese)-Possesio maris”, Fernando Pessoa menyatakan pendapatnya kepada kita dengan satu keyakinan bahwa; hanya dengan kehendaknya Sang Khalik (Tuhan), barulah mimpi manusia itu mengalami pergerakan yang hidup.
Untuk yang kesekian kalinya, pemerintahan konstitusional IV, pimpinana Perdana Menteri Kay Rala Xanana Gusmao ini, menyampaikan dan mempertahankan anggaran pendapatan belanjan negara. Ini adalah satu dari pengajuan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang ke-empat sejak awal pertama kali PM Xanana Gusmao memimpin pemeritahan ini pada tanggal 8 Agustus 2007. Salah satunya adalah proposal anggaran tahun fiskal 2009. Lazimnya, semua bentuk proposal yang ditawarkan oleh PM Xanana Gusmao mesti dawali dengan satu analisis tajam dan mendalam, perundingan alot yang sesuai dengan alur dan proses sebagaimana tertera dala, Pasal 7 UU Parlement Nasional tentang “Perencanaan dan Anggaran Umum Pemeritahan”.
Kepemimpinan Kay Rala Xanan Gusmao dalam menjalankan roda pemerintahan yang masih tergolong satu setengah tahun ini, bersama jajarannya dan termasuk dirinya sendiri, yang notabene tidak terlalu memiliki pengalaman sebagai anggota kabinet. Berkat sokongan dari 39 orang Anggota Parlemen yang terhimpun dari beberapa partai politik, seperti CNRT, PD, ASDT, PSD dan UNDERTIM, seakan-akan PM Xanana mempertontonkan kepada khalayak publik di Timor Leste, bahwa kepercayaan diri, keberanian dan kerendahan hati dalam memimpin telah merupakan perangkat yang paket, dari sejak pertama kali mengemba tugas dan tanggungjawab untuk memimpin negeri ini.
Pada kepemimpinan PM Kay Rala Xanana Gusmao, pemerintahan ini dihadapkan pada suatu instabilitas yang real, mendekati 1000 orang tidak memiliki tempat penginapan, institusi pemerintahan yang terlihat amat sangat lesuh, vakumnya kepemimpinan dalam pengadministrasian negara, pasukan pertahanan kita kehilangan kredibilitas karena krisi, hal ini dikarenakan, negeri ini bisa dibilang baru pertama kalinya meraih kembali kemerdekaannya lewat persatuan nasional yang dari sejak dulu tak pernah terwujud, namun akhirnya tercerai-berai dan berujung pada kehilangan jejak visi komunal untuk menguatkan kemerdekaan nasional dengan suatu proses vital.
Oleh karenanya, Kay Rala Xanana Gusmao melangkah masuk ke Kantor Pemerintahan guna mengimplementasikan motto kepemimpinnya yang berbunyi “Kemerdekaan bangsa sudah diraih, mari kita memerdekekan raykat”.
Suatu pesan yang sangat inspiratif, bahwa akan sanggup untuk mengetuk dan membuka mata hati dan pikiran setiap orang dalam mengarahkan tujuan negara ini serta mempererat kembali persatuan antara para veteran, terlebih lagi Falitil – sahabat karibnya yang memang dulu dikomandani oleh PM Xanana sendiri dalam perjuangan dan permberotakan menuju kebebasan nasional. Atas dasar pesan inspiratif ini, Xanana Gusmao berusaha bangkit kembali guna memulihkan kembali kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan yang dimotorinya, satu kepercayaan vital yang bisa menjadi jaminan keabsahan dari setiap negara demokratik manapun di dunia ini.
“Kemerdekaan bangsa sudah diraih, mari kita memerdekekan raykat” digantikan “mencatat/merekord berarti menang” dan “perjuangan akan terus berlanjut dari semua front”. Pada beberapa bulan silam, saat-saat di mana pemerintahan ini baru memulai kinerja kepemimpinannya, satu pesan baru ini seolah tampak dan hadir untuk menggairahkan kembali alur pikirnya para Veteran, tertanam kembali kepastian dan keyakinan pada tugas yang mutlak dan dilaksanakan pada fase pasca-konflik dan guna mempengaruhi seluruh proses pembangunan, dalam jangka waktu yang panjang.
Program pemerintahan IV yang diperesentasikan oleh PM Xanana Gusmao di tingkat legislatif (parlemen nasional) justru mendapat kekuatan karena adanya suara kepercayaan, bahwa program pemerintahan ini dikenal oleh para Veteran sebagai salah satu program embrio dari “Ai-laran”, suatu program yang memang ada sejak zaman gerilia di semak-belukar, “ketika kita tidak sedang berdapan dengan musuh, kita selalu menyangkruk guna membahas masa depan bangsa”.
Para geriliawana juga memang dari sejak dulu bermimpin dengan pernuh harkat dan martabat selayaknya seperti para pembebas akar dan nasional lainya. Dan mereka bermimpin; bermimpi bahwa, ketika mereka masih hidup, sebisa mungkin melihat negara ini menjadi satu negara yang rakyatnya tidak lagi berlinangan air-mata, berlumuran darah karena menjadi korban pasca-kemerdekaan, tetapi justru bisa mengembalikan hak-haknya mereka, sebab negara ini telah dipersiapkan untuk menjamin tatanan kehidupan yang berwibawa dan bahwa pemerintahan ini akan terus berkesinambungan membantu mereka guna persiapan diri masing-masing dalam memberikan kontribusi yang signifikan terhadap proses pembangunan nasional.
Kay Rala Xanana Gusmao juga merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang sejak dahulu berangan-angan untuk kemerdekaan bangsa ini dan hal ini dibuktikan menjadi suatu realita hidup yang saat ini menjadi menjadi lukisan sejarah bagi negeri ini. Pada masa kemerdekaan ini, beliau bermimpi mengenai stabilitas nasional dan hal ini telah diwujudkan, di mana negara saat ini dalam keadaan damai dan tertib; beliau bermimpi tentang F-FDTL yang memiliki martabat dan pasukan PNTL yang memiliki persatuan, motivasi dan kapasitas, dan hal ini berhasil diwujudkan oleh beliau; beliau bermimpi untuk sebuah negara demoktratis yang multi-partai, tidak ada kekuasaan absolut yang ada pada partai manapun, dan ini terrealisir; beliau bermimpi untuk menyatukan kembali semua komponen sosial dan politik, tak ada ideology diskriminatif, dan beliau mewujudkannya; beliau bermimpi untuk memanfaatkan sumber daya manusia kita yang ada dan atau mereka yang tengah menggeluti dunia pendidikan, dan beliau berhasil mewujudkannya; beliau bermimpi untuk sebuah negara yang bisa mendengar dan ikut bekerjasama sebagai mitra dengan hirarki Gereja Katolik, dan ini diwujudkannya; beliau bermimpi bahwa para veteran-pahlawan perang, setidaknya hidup bermartabat dan penuh harapan dalam mengisi hari-hari kehidupan mereka, dan ini berhasil dibuktikannya; beliau bermimpi bagi para janda-duda dan anak-anak yatim akibat perang, bahwa setidaknya bisa menikmati kondisi kehidupan yang layak, dan ini berhasil dibuktikannya; beliau bermimpi bahwa jeripayah semua masyarakat terhadap pembebasan nasional tidak berakhir menjadi sebuah kemerdekaan nasional yang terkesan hilang arah, dan ini berhasil diwujudkannya.
Berkat mimpimya Xanana bisa mendapatkan kesusksesan yang besar, dan satu hal yang dari dulu tidak pernah terjadi, ketika beliau berusaha untuk menyelesaikan penghadangan pada tanggal 11 Februari 2008. Di mana, pada waktu itu suasana demokrasi berjalan dan mengikuti lemahnya beberapa institusi kenegaraan, cerai-beraian dan hilangnya tempat penginapan, namun berkat mimpinya Xanana, beliau sanggup mempertahankan pemerintahan yang terkesan masih sangat seumuran jagung ini. Seluruh upaya kerja keras yang dilakukan untuk mengembalikan citra pemerintahan ini, tertata menurut alurnya masing-masing.
Kita bisa bernggapan bahwa semua capaian dan kemenangan ini, masih tergolong pergerakan kecil, sebab kesemuanya ini yang dibangun atas jeripayah besar, bisa dilulu-lantakan hari esok, apabila institusi kenegaraan terbengkalai begitu saja dan para pemimpin tidak tahu-menahu apa yang sebenarnya dipikirkan atau diimpikan oleh masyarakat kita di masa depan.
Tapi, impiannya Xanan masih berkelannjutan. Melalui tahap demi tahap, dengan penuh ketekunan, impiannya semakin menjadi menjadi nyata, sebab impian ini bukan hanya impiannya beliau: semua impian ini adalah impiannya seluruh rakyat. Oleh karenya, konsolidasi akan bisa dicapai di masa yang akan datang.
Masyarakat Timor Leste merasa bersenang hati, karena mereka memiliki seorang figure-pemimpi, seorang pemimpin yang memiliki impian serupa “batu filosofis” artinya batu keramat yang bisa mentransformasi suatu pemerintahan pasca-konflik menuju salah satu negara yang berkembang dengan institusi demokratis yang fungsional, dan kekuatan dan pertumbuhan ekonomi yang tercukupi.
Mengingatkan kembali pada seseorang yang terkesan tidak populer “Bernardo Soares” “seorang heteronom” dari penulis Fernando Pessoa, dengan aksinya “ O livru do desassossego” artinya, buku tentang “kerisauan hati” mengatakan bahwa “sang pemimpi adalah orang yang melakukan aksi” “sebab” impian kitalah yang menjelaskan kepada kita, siapa diri kita” segala sesuatu yang belum terrealisir, menjadi bagian dari dunia dan semua umat manusia.
Para pahlawan baru
Xanana Gusmao mimpi dengan pahlawan baru. Bagi beliau, pahlawan baru adalah semua masyarakat Timor Leste yang memiliki ide untuk membangun pemerintahan demokratik, bermultipartai, berdaulat dan berkembang; tapi tidak semata-mata memiliki ide, tapi harus ditujunga dengan kapasitas untuk mentransformir segala ide itu menjadi suatu kenyataan bagi kepentingan rakyat kita.
Dengan mimpi, pemerintahan yang dimotori oleh Xanana Gusmao telah melakukan beberapa hal; beliua telah mengirimkan ratusan pelajar Timor Lest eke diaspora untuk studi lanjut, untuk pembentukan diri, belajar dari masyarakat dan negara-negara lain, kesemuanya ini bisa memberikan kemanfaatan dan memang penting agara nantinya bisa kembali membangun negeri ini, negeri yang dibangun dengan lumuran darah dan jeripayah dari ratusan-ribu pemberontak, laki-perempuan, kaum muda-anak-anak, namun masih tetap membutuhkan suntikan jeripayah dari semua masyarakat Timor Leste guna menjadikan negeri ini menjadi negeri yang berlandasan jiwa dan masyarakat histories yang kaya-raya.
Xanana: sang napi yang bebas
Ketika Xanana Gusmao berada dalam genggaman musuh pada tanggal 22 November 1999, mereka seolah menyumbar karena telah menangkap sang pahlawan. Namun, seorang muridnya Xanana, komandan para geriliawan Nino Konis Santa, berusaha untuk menguatkan nilai moral dari para gerialawan dan berkata: jikalau musuh tidak mengakhiri hidupnya beliau, maka hari ini juga, dimulailah pengakhiran pendudukan, dimulaiah pembebasan total kepada negara kita tercinta, namun apala di kata para pahlawan ratus-ribuan tetap berjatuhan.
Dan Konis mempunyai alasan. Sebagai seorang geriliawan, jiwa dan raganya, beliau seakan tahu bahwa pahlawan futurisnya Indonesia, seolah tak ada artinya.
Berawal dari pegunungan dan kekramatan daerh Timor menuju Lembaga Lemasyarakatan (LP) Indonesia, melalui Lembaga Kemasyarakatan (LP) Semarang, Cipinang hingga Salemba, Xanana menjalani hari-harinya sebagai geriliawan usai menjalani masa tahanan sebagai narapidana, namun beliau kembali memimpin dengan visi kebebasan dan kemerdekaan: berjeripayah sebagai “super-human” artinya tanpa seorang napi dan mantan napi Indonesia yang sanggup menjalankan apa yang dijalankan oleh Xanana, tak seorangpun napi-napi dan mantan napi di Indonesia yang bisa menyamai Xanana, sekitar enam bulan Xanana tidak sempat melakukan hubungan komunikasi dengan siapa pun, tapi Xanana tetap melanjuti impiannya. Hari, jam, menit dan detik, menjadi tahanan di LPnya sang lawan, transformasi momentum baguspun akhirnya dilakukan kembali oleh Xanana, bukan hanya sebatas mimpi, tapi justu berusaha untuk berimpian yang lebih indah lagi, untuk menjadikan impian beliau menjadi tambah kaya-raya, selayaknya seperti bagaimana membangun negeri ini mengelilingi sebuah linangan danau besar dengan hiasan dedaunan hijau, tapi kesemuanya ini menjadi kesuburan mengkilat, rakyat hidup dengan kesehatan yang layak, merasa senang dan bahagia dan tanpa terasa kekurangan apapun.
Terdapat dua persepsi kontradiktif dalam alur pikirnya Xanana. Pertama, oleh karena tidak menempati janji yang telah disepataki bersama dengan para geriliawan bahwa usai pembebasan, beliau tak akan menduduki posisi salah satu posisi penting. Lainnya, pemikiran mengenai kewajibannya, yakni kewajiban untuk melayani, kewajiban untuk tidak menghilangkan kembali segala hal yang telah dicapai oleh rekan-rekan gerialiawannya, karena hampir sebagian besar di antara para geriliawan yang hilang nyawanya, dilihat dengan mata-kepala sendiri oleh beliau, persembahkan segenap hidupnya untuk menjadi sebuah kenyataan, sebuah kenyataan yang memang benar-benar sejalan dengan impian semua rakyat Timor Leste.
Beliau tidak sempat menjejaki semua hal yang dahulunya telah dipersiapkan berdasarkan kemauannya, bahwa beliau hanya akan menjadi pemantau di dalam fase baru untuk mempertahankan kedaulatan rakyat, membangun negara hukum yang demokratis, yang semestinya dilakukan oleh para doctor atau orang-orang pintar lainnya, namun fakta menjelaskan bahwa, realitas politik nasional tak henti-hentinya memaksa Xanana untuk terus menyupiri perahu “siklopedi” supaya semua kaum muda dan anak-anak Timor Leste selalu mempunyai harapan bahwa, suatu hari kalak mereka hendak mendapatkan suatu penghidupan yang lebih bagus dan lebih layak, hidup terasa nyaman dan bahagia kalau dibandingkan dengan generasi dahulu kita, benar-benar menjadi suatu masyarakat modern yang madani, berahklak moral dan berperan serta dalam dunia globalisasi.
Janjinya Xanana dengan tidak menjabati salah satu positi vital di negeri ini, berakhir menjadi sebuah realita saat ini, lalu berubah menjadi sebuah motto kepemimpinan ““Kemerdekaan bangsa sudah diraih, mari kita memerdekekan raykat”.
Xanana terus menjadi seorang tahanan, namun tahanan karena kebebasan. Ketinggian kursi yang kini diduduki tidak terbuat dari tembok tinggi dan besi, tapi hati nurani beliau sendiri.
Padahal, impian beliau adalah ibarat sebuah kereta-api yang sedang lari dengan kecepatan yang cukup kencang, namun tetap pada relnya guna mencapai pembebasan nasional.
Kerata-api ini seakan-akan tidak memiliki stasiun, atau bahkan tidak ada sama sekali tempat bagi Xanana untuk turun atau bahkan loncat ke luar.
Dalam perdebatan parlamentar mengenai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun fiskal 2009, muncul pendapat dari seorang lider Timor Leste yang mengatakan bahwa intervensi Perdana Menteri dalam menjustifikasi proposal ABPN adalah semacam sebuah mimpi. Konon, bagi mereka yang memiliki warna politik yang identik justru meniru dan menjejaki trik politik ini.
Sangat sesuai
Dalam syair puisi “Laut Portugis (mar Portuguese)-Possesio maris”, Fernando Pessoa menyatakan pendapatnya kepada kita dengan satu keyakinan bahwa; hanya dengan kehendaknya Sang Khalik (Tuhan), barulah mimpi manusia itu mengalami pergerakan yang hidup.
Untuk yang kesekian kalinya, pemerintahan konstitusional IV, pimpinana Perdana Menteri Kay Rala Xanana Gusmao ini, menyampaikan dan mempertahankan anggaran pendapatan belanjan negara. Ini adalah satu dari pengajuan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang ke-empat sejak awal pertama kali PM Xanana Gusmao memimpin pemeritahan ini pada tanggal 8 Agustus 2007. Salah satunya adalah proposal anggaran tahun fiskal 2009. Lazimnya, semua bentuk proposal yang ditawarkan oleh PM Xanana Gusmao mesti dawali dengan satu analisis tajam dan mendalam, perundingan alot yang sesuai dengan alur dan proses sebagaimana tertera dala, Pasal 7 UU Parlement Nasional tentang “Perencanaan dan Anggaran Umum Pemeritahan”.
Kepemimpinan Kay Rala Xanan Gusmao dalam menjalankan roda pemerintahan yang masih tergolong satu setengah tahun ini, bersama jajarannya dan termasuk dirinya sendiri, yang notabene tidak terlalu memiliki pengalaman sebagai anggota kabinet. Berkat sokongan dari 39 orang Anggota Parlemen yang terhimpun dari beberapa partai politik, seperti CNRT, PD, ASDT, PSD dan UNDERTIM, seakan-akan PM Xanana mempertontonkan kepada khalayak publik di Timor Leste, bahwa kepercayaan diri, keberanian dan kerendahan hati dalam memimpin telah merupakan perangkat yang paket, dari sejak pertama kali mengemba tugas dan tanggungjawab untuk memimpin negeri ini.
Pada kepemimpinan PM Kay Rala Xanana Gusmao, pemerintahan ini dihadapkan pada suatu instabilitas yang real, mendekati 1000 orang tidak memiliki tempat penginapan, institusi pemerintahan yang terlihat amat sangat lesuh, vakumnya kepemimpinan dalam pengadministrasian negara, pasukan pertahanan kita kehilangan kredibilitas karena krisi, hal ini dikarenakan, negeri ini bisa dibilang baru pertama kalinya meraih kembali kemerdekaannya lewat persatuan nasional yang dari sejak dulu tak pernah terwujud, namun akhirnya tercerai-berai dan berujung pada kehilangan jejak visi komunal untuk menguatkan kemerdekaan nasional dengan suatu proses vital.
Oleh karenanya, Kay Rala Xanana Gusmao melangkah masuk ke Kantor Pemerintahan guna mengimplementasikan motto kepemimpinnya yang berbunyi “Kemerdekaan bangsa sudah diraih, mari kita memerdekekan raykat”.
Suatu pesan yang sangat inspiratif, bahwa akan sanggup untuk mengetuk dan membuka mata hati dan pikiran setiap orang dalam mengarahkan tujuan negara ini serta mempererat kembali persatuan antara para veteran, terlebih lagi Falitil – sahabat karibnya yang memang dulu dikomandani oleh PM Xanana sendiri dalam perjuangan dan permberotakan menuju kebebasan nasional. Atas dasar pesan inspiratif ini, Xanana Gusmao berusaha bangkit kembali guna memulihkan kembali kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan yang dimotorinya, satu kepercayaan vital yang bisa menjadi jaminan keabsahan dari setiap negara demokratik manapun di dunia ini.
“Kemerdekaan bangsa sudah diraih, mari kita memerdekekan raykat” digantikan “mencatat/merekord berarti menang” dan “perjuangan akan terus berlanjut dari semua front”. Pada beberapa bulan silam, saat-saat di mana pemerintahan ini baru memulai kinerja kepemimpinannya, satu pesan baru ini seolah tampak dan hadir untuk menggairahkan kembali alur pikirnya para Veteran, tertanam kembali kepastian dan keyakinan pada tugas yang mutlak dan dilaksanakan pada fase pasca-konflik dan guna mempengaruhi seluruh proses pembangunan, dalam jangka waktu yang panjang.
Program pemerintahan IV yang diperesentasikan oleh PM Xanana Gusmao di tingkat legislatif (parlemen nasional) justru mendapat kekuatan karena adanya suara kepercayaan, bahwa program pemerintahan ini dikenal oleh para Veteran sebagai salah satu program embrio dari “Ai-laran”, suatu program yang memang ada sejak zaman gerilia di semak-belukar, “ketika kita tidak sedang berdapan dengan musuh, kita selalu menyangkruk guna membahas masa depan bangsa”.
Para geriliawana juga memang dari sejak dulu bermimpin dengan pernuh harkat dan martabat selayaknya seperti para pembebas akar dan nasional lainya. Dan mereka bermimpin; bermimpi bahwa, ketika mereka masih hidup, sebisa mungkin melihat negara ini menjadi satu negara yang rakyatnya tidak lagi berlinangan air-mata, berlumuran darah karena menjadi korban pasca-kemerdekaan, tetapi justru bisa mengembalikan hak-haknya mereka, sebab negara ini telah dipersiapkan untuk menjamin tatanan kehidupan yang berwibawa dan bahwa pemerintahan ini akan terus berkesinambungan membantu mereka guna persiapan diri masing-masing dalam memberikan kontribusi yang signifikan terhadap proses pembangunan nasional.
Kay Rala Xanana Gusmao juga merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang sejak dahulu berangan-angan untuk kemerdekaan bangsa ini dan hal ini dibuktikan menjadi suatu realita hidup yang saat ini menjadi menjadi lukisan sejarah bagi negeri ini. Pada masa kemerdekaan ini, beliau bermimpi mengenai stabilitas nasional dan hal ini telah diwujudkan, di mana negara saat ini dalam keadaan damai dan tertib; beliau bermimpi tentang F-FDTL yang memiliki martabat dan pasukan PNTL yang memiliki persatuan, motivasi dan kapasitas, dan hal ini berhasil diwujudkan oleh beliau; beliau bermimpi untuk sebuah negara demoktratis yang multi-partai, tidak ada kekuasaan absolut yang ada pada partai manapun, dan ini terrealisir; beliau bermimpi untuk menyatukan kembali semua komponen sosial dan politik, tak ada ideology diskriminatif, dan beliau mewujudkannya; beliau bermimpi untuk memanfaatkan sumber daya manusia kita yang ada dan atau mereka yang tengah menggeluti dunia pendidikan, dan beliau berhasil mewujudkannya; beliau bermimpi untuk sebuah negara yang bisa mendengar dan ikut bekerjasama sebagai mitra dengan hirarki Gereja Katolik, dan ini diwujudkannya; beliau bermimpi bahwa para veteran-pahlawan perang, setidaknya hidup bermartabat dan penuh harapan dalam mengisi hari-hari kehidupan mereka, dan ini berhasil dibuktikannya; beliau bermimpi bagi para janda-duda dan anak-anak yatim akibat perang, bahwa setidaknya bisa menikmati kondisi kehidupan yang layak, dan ini berhasil dibuktikannya; beliau bermimpi bahwa jeripayah semua masyarakat terhadap pembebasan nasional tidak berakhir menjadi sebuah kemerdekaan nasional yang terkesan hilang arah, dan ini berhasil diwujudkannya.
Berkat mimpimya Xanana bisa mendapatkan kesusksesan yang besar, dan satu hal yang dari dulu tidak pernah terjadi, ketika beliau berusaha untuk menyelesaikan penghadangan pada tanggal 11 Februari 2008. Di mana, pada waktu itu suasana demokrasi berjalan dan mengikuti lemahnya beberapa institusi kenegaraan, cerai-beraian dan hilangnya tempat penginapan, namun berkat mimpinya Xanana, beliau sanggup mempertahankan pemerintahan yang terkesan masih sangat seumuran jagung ini. Seluruh upaya kerja keras yang dilakukan untuk mengembalikan citra pemerintahan ini, tertata menurut alurnya masing-masing.
Kita bisa bernggapan bahwa semua capaian dan kemenangan ini, masih tergolong pergerakan kecil, sebab kesemuanya ini yang dibangun atas jeripayah besar, bisa dilulu-lantakan hari esok, apabila institusi kenegaraan terbengkalai begitu saja dan para pemimpin tidak tahu-menahu apa yang sebenarnya dipikirkan atau diimpikan oleh masyarakat kita di masa depan.
Tapi, impiannya Xanan masih berkelannjutan. Melalui tahap demi tahap, dengan penuh ketekunan, impiannya semakin menjadi menjadi nyata, sebab impian ini bukan hanya impiannya beliau: semua impian ini adalah impiannya seluruh rakyat. Oleh karenya, konsolidasi akan bisa dicapai di masa yang akan datang.
Masyarakat Timor Leste merasa bersenang hati, karena mereka memiliki seorang figure-pemimpi, seorang pemimpin yang memiliki impian serupa “batu filosofis” artinya batu keramat yang bisa mentransformasi suatu pemerintahan pasca-konflik menuju salah satu negara yang berkembang dengan institusi demokratis yang fungsional, dan kekuatan dan pertumbuhan ekonomi yang tercukupi.
Mengingatkan kembali pada seseorang yang terkesan tidak populer “Bernardo Soares” “seorang heteronom” dari penulis Fernando Pessoa, dengan aksinya “ O livru do desassossego” artinya, buku tentang “kerisauan hati” mengatakan bahwa “sang pemimpi adalah orang yang melakukan aksi” “sebab” impian kitalah yang menjelaskan kepada kita, siapa diri kita” segala sesuatu yang belum terrealisir, menjadi bagian dari dunia dan semua umat manusia.
Para pahlawan baru
Xanana Gusmao mimpi dengan pahlawan baru. Bagi beliau, pahlawan baru adalah semua masyarakat Timor Leste yang memiliki ide untuk membangun pemerintahan demokratik, bermultipartai, berdaulat dan berkembang; tapi tidak semata-mata memiliki ide, tapi harus ditujunga dengan kapasitas untuk mentransformir segala ide itu menjadi suatu kenyataan bagi kepentingan rakyat kita.
Dengan mimpi, pemerintahan yang dimotori oleh Xanana Gusmao telah melakukan beberapa hal; beliua telah mengirimkan ratusan pelajar Timor Lest eke diaspora untuk studi lanjut, untuk pembentukan diri, belajar dari masyarakat dan negara-negara lain, kesemuanya ini bisa memberikan kemanfaatan dan memang penting agara nantinya bisa kembali membangun negeri ini, negeri yang dibangun dengan lumuran darah dan jeripayah dari ratusan-ribu pemberontak, laki-perempuan, kaum muda-anak-anak, namun masih tetap membutuhkan suntikan jeripayah dari semua masyarakat Timor Leste guna menjadikan negeri ini menjadi negeri yang berlandasan jiwa dan masyarakat histories yang kaya-raya.
Xanana: sang napi yang bebas
Ketika Xanana Gusmao berada dalam genggaman musuh pada tanggal 22 November 1999, mereka seolah menyumbar karena telah menangkap sang pahlawan. Namun, seorang muridnya Xanana, komandan para geriliawan Nino Konis Santa, berusaha untuk menguatkan nilai moral dari para gerialawan dan berkata: jikalau musuh tidak mengakhiri hidupnya beliau, maka hari ini juga, dimulailah pengakhiran pendudukan, dimulaiah pembebasan total kepada negara kita tercinta, namun apala di kata para pahlawan ratus-ribuan tetap berjatuhan.
Dan Konis mempunyai alasan. Sebagai seorang geriliawan, jiwa dan raganya, beliau seakan tahu bahwa pahlawan futurisnya Indonesia, seolah tak ada artinya.
Berawal dari pegunungan dan kekramatan daerh Timor menuju Lembaga Lemasyarakatan (LP) Indonesia, melalui Lembaga Kemasyarakatan (LP) Semarang, Cipinang hingga Salemba, Xanana menjalani hari-harinya sebagai geriliawan usai menjalani masa tahanan sebagai narapidana, namun beliau kembali memimpin dengan visi kebebasan dan kemerdekaan: berjeripayah sebagai “super-human” artinya tanpa seorang napi dan mantan napi Indonesia yang sanggup menjalankan apa yang dijalankan oleh Xanana, tak seorangpun napi-napi dan mantan napi di Indonesia yang bisa menyamai Xanana, sekitar enam bulan Xanana tidak sempat melakukan hubungan komunikasi dengan siapa pun, tapi Xanana tetap melanjuti impiannya. Hari, jam, menit dan detik, menjadi tahanan di LPnya sang lawan, transformasi momentum baguspun akhirnya dilakukan kembali oleh Xanana, bukan hanya sebatas mimpi, tapi justu berusaha untuk berimpian yang lebih indah lagi, untuk menjadikan impian beliau menjadi tambah kaya-raya, selayaknya seperti bagaimana membangun negeri ini mengelilingi sebuah linangan danau besar dengan hiasan dedaunan hijau, tapi kesemuanya ini menjadi kesuburan mengkilat, rakyat hidup dengan kesehatan yang layak, merasa senang dan bahagia dan tanpa terasa kekurangan apapun.
Terdapat dua persepsi kontradiktif dalam alur pikirnya Xanana. Pertama, oleh karena tidak menempati janji yang telah disepataki bersama dengan para geriliawan bahwa usai pembebasan, beliau tak akan menduduki posisi salah satu posisi penting. Lainnya, pemikiran mengenai kewajibannya, yakni kewajiban untuk melayani, kewajiban untuk tidak menghilangkan kembali segala hal yang telah dicapai oleh rekan-rekan gerialiawannya, karena hampir sebagian besar di antara para geriliawan yang hilang nyawanya, dilihat dengan mata-kepala sendiri oleh beliau, persembahkan segenap hidupnya untuk menjadi sebuah kenyataan, sebuah kenyataan yang memang benar-benar sejalan dengan impian semua rakyat Timor Leste.
Beliau tidak sempat menjejaki semua hal yang dahulunya telah dipersiapkan berdasarkan kemauannya, bahwa beliau hanya akan menjadi pemantau di dalam fase baru untuk mempertahankan kedaulatan rakyat, membangun negara hukum yang demokratis, yang semestinya dilakukan oleh para doctor atau orang-orang pintar lainnya, namun fakta menjelaskan bahwa, realitas politik nasional tak henti-hentinya memaksa Xanana untuk terus menyupiri perahu “siklopedi” supaya semua kaum muda dan anak-anak Timor Leste selalu mempunyai harapan bahwa, suatu hari kalak mereka hendak mendapatkan suatu penghidupan yang lebih bagus dan lebih layak, hidup terasa nyaman dan bahagia kalau dibandingkan dengan generasi dahulu kita, benar-benar menjadi suatu masyarakat modern yang madani, berahklak moral dan berperan serta dalam dunia globalisasi.
Janjinya Xanana dengan tidak menjabati salah satu positi vital di negeri ini, berakhir menjadi sebuah realita saat ini, lalu berubah menjadi sebuah motto kepemimpinan ““Kemerdekaan bangsa sudah diraih, mari kita memerdekekan raykat”.
Xanana terus menjadi seorang tahanan, namun tahanan karena kebebasan. Ketinggian kursi yang kini diduduki tidak terbuat dari tembok tinggi dan besi, tapi hati nurani beliau sendiri.
Padahal, impian beliau adalah ibarat sebuah kereta-api yang sedang lari dengan kecepatan yang cukup kencang, namun tetap pada relnya guna mencapai pembebasan nasional.
Kerata-api ini seakan-akan tidak memiliki stasiun, atau bahkan tidak ada sama sekali tempat bagi Xanana untuk turun atau bahkan loncat ke luar.
Kita sanggup, kita bisa, jadi harus direformasi
Impiannya beliau sudah menjadi kekuatan tersendiri dalam proses ini; impian yang telah menjadi bagian dari hidupnya sejak berstatus geriliawan dan banyak hal yang telah ditulisnya; tentang bagaimana beliau bisa membentuk dan memimpin negeri dan rakyat ini, membentuk bagaimana pemerintahan ini bisa memberikan kontribusi bagi semua institusi kenegaraan, agar terus melaju ke depan. Untuk anggaran kali ini, Xanana bermimpi untuk mengkonsolidasikan admininistrasi publik yang bebas dari interferensi partai politik, menciptakan proses dan mekanisme-mekanisme guna memberantas korupsi, perbaiki pendapatan/gaji dan mengenali kegunaan dari pendapatan manejemennya para pegawai negeri semua dengan reformasi system keuangan dan finansial pemerintahan.
Ketika saya bertanya kepada beliau, mengapa sehingga harus adanya satu orang wakil Perdana Menteri, Xanana dengan terang-terangan menjawabnya demikian: karena mesin keadministrasian perlu dibenahi dan juga manejemen, akuntabilitas dan keuangan yang menjadi masalah transfersal atau bisa menulari institusi pemerintahan lainnya; karena sistim birokrasi yang masih kuat dan kental, dan harus meminimalisir kuatnya biroksi kita, guna memacu proses perubahan manejemen pemerintahan. Bagi Xanana Gusmao, perlu untuk melihat orientasi kementrian bele merubah dan memperbaiki eksekusi dan aksi dari pemerintahan, karena perangkat administrasilah yang menjadi kekuatan elektronik yang bisa menghidupi perekonomian: Kita sanggup, kita bisa, jadi harus direformasi.
Bila, Antonio Gededao bisa melakukan suatu hal yang bermanfaat, kalau saja beliau bisa mengatakan kepada para pemimpin Timor Leste yang terkesan tidak menghargai impiannya Kay Rala Xanana Gusmao:
Anda tidak tahu, tak pernah bermimpi
Bahwa mimpilah yang menuntun hidup
Bahwa ketika ada seorang lelaki bermimpi
Dunia juga ikut berkembang melaju ke dapan
Ibaratnya seperti bola yang berwarna-warni
Di dalam tangannya seorang anak.
Selesai.
*Terjemahan dari Tetum ke bahasa Indonesia oleh John Monteiro!
Sem comentários:
Enviar um comentário
Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.