VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20090204

Kasus Jose Belo (Tempo Semanal) versus Menteri Kehakiman Mrs. Lucia Lobato

Sanggupkah TL menciptakan “lex specialis derogate legi generalis” bagi insan pers terkait dengan kasus Jose Belo (Tempo Semanal) versus Menteri Kehakiman Mrs. Lucia Lobato?

*). J. Monteiro (
monteiro.87@hotmail.com)

Peperangan insan pers (Tempo Semanal) diwakili oleh Jose Belo versus Menteri Kehakiman TL, Mrs. Lucia Lobato, S.H., M.H adalah buah bibir menarik yang layak, pantas dan patut dijaki dan menjadi bahan diskusi di kalangan para akademisi, khususnya di Timor Leste. Bila perlu, para akademisi yang menghelat perdebatan dan forum diskusi tentang kasus ini bisa secara eksklusif menghadirkan Mrs. Lucia Lobato menjadi pemateri dalam forum tersebut, mengingat beliau sendiri adalah lulusan Sarjana Hukum dan Magister Hukum pada salah satu Universitas papan atas di Indonesia, bahkan di dunia, yakni Universitas Airlangga Surabaya. Terlebih lagi, Mrs. Lucia Lobato juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum UNPAZ. Hal itu berarti, semangat tri-dharma perguruan tinggi sedikit banyak masih melekat ditubuh Ibu Lucia, sekalipun kini tengah giat menggeluti dunia politik. Sanggupkah Ibu Menteri Kehakiman memenuhi permintaan itu? Semoga saja!

Antara Delik Pers dengan Kriminalisasi Pers

Bergulirnya kasus TEMPO (Jose Belo, red) versus Mrs. Lucia Lobato telah memunculkan dua kubu yang saling bersebrangan. Kubu TEMPO (Jose Belo) adalah pihak yang merasa telah terjadinya pembelengguan kebebasan pers melalui jalur hukum pidana, dalam hal Kitab Undang-Udang Hukum Pidana(KUHP). Sedangkan kubu Mrs. Lucia Lobato, merasa bahwa insan pers (TEMPO) telah kebablasan sehingga perlu diterapkan hukum pidana (KUHP). Tanpa dipungkiri kalau kubu Mrs. Lucia Lobato juga sering menjadi bagian dari masyarakat yang merasa dirugikan oleh insan pers. Alhasil, terjadilah perang pendapat hukum.

Insan pers dan masyarakat pers yang merasa kebebasan pers sudah dibelenggu dengan perangkat peraturan hukum pidana seakan merasa adanya “kriminalisasi pers”. Artinya, pers yang salah dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya direkayasa lewat jalur hukum untuk dapat dipidana penjara. Istilah ini juga diartikan untuk mengilustrasikan ketidak-adilan yang dialami oleh pers akibat pemaksaan (rekayasa) penggunaan pasal-pasal hukum pidana (KUHP). Insan pers juga merasa bahwa ada upaya sengaja untuk memberangus, menjeras dan bahkan mematikan kehidupan dan kebebasan pers. Sebaliknya pihak yang merasa pers sudah kebablasan mengedepankan penerapan hukum pidana (KUHP) dengan mengusung istilah “delik pers” di mana istilah ini diperluas artinya namun dipersempit penerapannya hanya untuk menjerat tindakan yang dilakukan oleh pers. Penafsiran inilah yang tengah dijadikan Mrs. Lucia Lobato sebagai jurus jitunya dan menganggap jelas bahwa penghinaan (Pasal 310 dan 315 KUHP) adalah delik (tindak pidana) atau perbuatan melawan hukum. Apabila delik pers diperluas lagi cakupannya, perbuatan melawan hukum pers (penghinaan yang dilakukan oleh TEMPO) bisa terjadi dalam lingkup kejahatan terhadap ketertiban umum (haatzaai artikelen) sebagaimana diatur dalam Pasal 154, 155, 156, dan 157 KUHP, yakni pasal-pasal tentang penyebarluasan kebencian dan permusuhan di dalam masyarakat terhadap pemerintah. Kejahatan melakukan penghasutan (provokasi), diatur dalam Pasal 160 dan 161 KUHP dan juga termasuk kejahatan kesusilaan (pornografi) sebagaimana diatur dalam Pasal 282 dan 533 KUHP.

Melihat adalah dualisme pandangan ini, kita perlu meletakkan aturan atau kaidah hukum pada dimensi dan porsi yang semestinya. Dalam artian, kaidah hukum yang diberlakukan terhadap pers seharusnya tidak dilandasi dengan pretens “asal dapat menjerat pers” atau dibuat hanya semata-mata untuk membungkam insan pers. Perlu digarisbawahi bahwa istilah “delik pers” sendiri sebenarnya hanya istilah atau pengertian umum dan bukan terminologi hukum. Karena di dalam ilmu hukum, tidak dikenal istilah “delik pers”. Hukum hanya mengenal delik formil, delik materil, delik aduan, delik umum dan delik khusus. Dan jikalu kita bukakan pasal-pasal KUHP, tidak adan ditemui ketentuan umum yang dapat digunakan untuk mengaktualisasi suatu perbuatan pidana sebagai “delik pers”, termasuk delik khusus yang berlaku bagi insan pers. Pengertian umum “delik pers” seperti tertuang dalam Pasal 61 dan 62 KUHP dan Pasal 483-484 KUHP hanya mengatur kapan dan hal apa pencetak dan penerbit dapat atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap barang cetakan dan isi penerbitannya. Dan yang terpenting adalah bahwa dari Pasal 61-62 jo. Pasal 483-484 KUHP tersebut hanya menyebutkan istilah “mengenai kejahatan yang dilakukan dengan barang cetakan”. Namun kedua pasal tersebut tidak memberikan tafsiran otentik secara explisit dan gamblang tentang apa yang dimaksud dengan “delik pers”. Maka jelaslah bahwa pasal-pasal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perumusan “delik pers” dan bukan merupakan tindak pidana khusus, melainkan merupakan kejahatan biasa yang harus memenuhi syarat menggunakan barang cetakan. Oleh karenanya pengertian “delik pers” dalam KUHP tidak menggambarkan artian teknis yuridis.

Dari paparan di atas ini, penulis terkesan subjektif dan sangat memihak kepada insan pers, dalam hal ini sang wartawan Jose Belo dari TEMPO SEMANAL, sebab penulis secara individu menilai bahwa tindakan Mrs. Lucia Lobato sebagai salah satu pilar penting dalam lingkup yudikatif secara eksplisit akan mematikan kebebesan pers yang merupakan kontrol sosial terhadap kinerja dan gerak-gerak pemerintah di atas panggung kepemimpinan di negara demokratis, seperti Timor Leste. Pernyataan dari penulis ini mengharapkan adanya “lex specialis derogate legi generalis” tentang UU Pers. Bila saat ini kita masih mengacu pada UU No. 40/1999 tentang Pers, miliknya Indonesia atas izin dari konstitusi kita pada Pasal 165 (Hukum Sebelumnya), atau bahkan sudah tidak lagi menggunakan UU Pers No. 40/1999 maka sudah tibalah saatnya kita menciptakan “lex specialis derogate legi generalis”. Apalagi UU No. 40/1999 tentang Pers miliknya Indonesia sendiri hingga detik ini masuk mengandung pandangan dualisme, antara insan pers dan masyarakat umum. Dan lagi-lagi UU No. 40/1999 tentang Pers sendiri bukan “lex specialis derogate legi generalis” dari KUHP sehingga berbagai macam permasalahan pers, para penegak hukum sering mengacu pada hukum pidana umum (KUHP), salah satunya ketentuan pidana dalam UU Pers sendiri hanya terdapat sanksi pidana administratif, bukan penjara. Hal inilah yang membuat sebagian pakar hukum hukum dan masyarakat umum di Indonesia merasa bahwa insan pers terkesan kebal hukum, padahal asas equality before the law sudah semestinya menjadi asas fundamental dalam penengakan hukum dan HAM di setiap negara demokratis. Lalu, apakah masyarakat TL, termasuk Ibu Menteri Kehakiman sendiri menghendaki agar insan pers juga dijatuhi hukum pidana penjara bila melakukan perbuatan melawan hukum? Ataukah insan pers hanya dijatuhi sanksi pidana administratif dan hak jawab?

Insan pers cukup dikenakan sanksi administratif dan hak jawab

Terkait dengan kasus wartawan Jose Belo (TEMPO SEMANAL) versus Mrs. Lucia Lobato, penulis dengan tegas mendukung agar insan pers yang melukan tindak pidana pers hanya jatuhi sanksi pidana administratif dan hak jawab karena bila insan pers sampai dijatuhi hukum pidana penjara, bukan tidak mungkin negara kita akan menjadi negara otoriter dan diktatorat karena insan pers tidak memiliki raung gerak yang leluasa untuk mengontrol kinerja pemerintahan dan negara. Kesewengan penguasa hanya akan dihindari ketika hadirnya insan pers sebagai wahana lembaga sosial dalam mengawasi setiap gerak-gerak pemerintahan dan negara.

Sanksi administratif adalah sanksi yang setimpal untuk diberikan kepada insan pers ketika melakukan perbuatan melawan hukum, tanpa harus membawa-bawa pers ke dalam penjara. Selain sanksi administratif, pers juga dapat melakukan hak jawab ketika mereka melakukan perbuatan melawan hukum, sebab hak jawab menurut insan pers dalam bentuk publikasi umum adalah hukuman paling berat bagi pers itu sendiri. Namun kenyataannya banyak negara tidak menerima apabila pers hanya melakukan hak jawab, termasuk di Indonesia, karena mereka yang merasa jadi korban dari pemberitaan pers menganggap bahwa insan pers seolah-olah superman yang tidak bisa dijangkau hukum.

Guna menghidari adanya monopoli dari suatu pemerintahan negara demokratis, termasuk di Timor Leste, maka menciptakan produk hukum khusus yang bisa mengatur tentang dunia pers haruslah secepatnya diwujudkan. Sehingga UU Pers yang akan diciptakan nantinya bisa menjadi “lex specialis derogate legi generalis” dari KUHP kita yang merupakan warisan negeri Belanda kepada Indonesia, lalu dipakai oleh Timor Leste. Memang kalau ditelaah satu-persatu, substansi dari KUHP warisan Indonesia ini tidak semua pasal sesuai dengan hirarki hukum tertinggi (UUD) kita, namun guna menghidari adanya kevakuman hukum, mau tak mau kita tetap mengacu pada KUHP, apalagi Rancangan Undang-Undang KUHP kita baru digodok tiga kali di dewan legislatif, boro-boro Timor Leste, Indonesia yang telah merdeka 60an tahun dan RUU KUHP telah diajukan ke dewan legistaltif sejak tahun 1960an pun sampai sekarang masih belum bisa disahkan. Diharapkan, negara kita tidak senasib dengan Indonesia, sehingga secepat mungkin RUU KUHP kita dapat disahkan.

Selain kebebesan pers yang nantinya akan diatur dalam lex specialis, sedapat mungkin Pasal 41 UUD kita tentang Kebebasan Pers dan Media Massa perlu tambahi juga mengenai hak dan kewajiban, tugas dan fungsi dari pers dan media massa itu sendiri. Sehingga secara hirarkial UU Pers kita nantinya mendapat dukungan penuh dari konstitusi kita yang merupakan produk hukum tertinggi di negara kita saat ini. Sebagai seorang warga negara yang punya hak dan kewajiban yang sama seperti warga negara lainnya, penulis dengan lantang menghendaki adanya amandemen pada Pasal 41 tentang Kebebasan Pers dan Media Massa terkait dengan kasus Jose Belo (TEMPO SEMANAL). Memang, ini bukan kompetensi dari penulis namun sebagai rekomendasi kepada badan legislatif bahwa konstitusi di negara manapun di seluruh dunia tidak ada yang bersifat dogmatis. Hal ini berarti bahwa, UUD Timor Leste bukanlah ke-sepuluh perintah Allah yang tak dapat diganggu gugat. Kalu saja, kita telaah dari ilmu filsafat hukum, aliran utilitarianisme dari Jeremy Bentham (1748-1832) dapat dijadikan suatu teguran kepada para wakil rakyat di Parlemn bahwa, kemanfaatan hukum terhadap kehidupan masyarakat yang harus dijadikan sebagai tolok ukur. Sebab aliran ini tidak menghendaki adanya homo homini lupus dalam masyarakat itu sendiri. Viva pers Timor Leste!

*).
Mahasiswa Fakultas Hukum (Semester VI), Universitas Narotama Surabaya, Indonesia. Telp. +6281 231 387 458.

Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.