VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20090311

Ana Pessoa Pinto menjadi Jaksa Agung Timor Leste; apakah keputusan PR Ramos Horta adalah salah sinyal politik hipokritis?

Ana Pessoa Pinto menjadi Jaksa Agung Timor Leste; apakah keputusan PR Ramos Horta adalah salah sinyal politik hipokritis?

Oleh: J. Monteiro (monteiro.87@hotmail.com)

Melihat, membaca dan menelaah berita dari Forum-Haksesuk on line (FH), edisi 8 Maret 2009 seputar keputusan PR Horta dari dalam memberikan wewenang kepada Ana Pessoa Pinto sebagai Jaksa Agung Timor Leste dengan menggantikan posisi Longinhos Monteiro, terkait dengan hal ini, maka keputusan sang presiden menarik juga untuk dijadikan buah bibir akademis yang layak, patut dan pantas untuk dikaji secara lebih akurat. Sekalipun Kejaksaan Agung merupakan salah satu pilah penting dalam wahana yudikatif dalam suatu negara demokratis, tapi pada konteks pengkajian mengenai Ana Pessoa Pinto menjadi Jaksa Agung baru, tidak meluluh pada kajian secara hukum, akan lebih menggigit dengan konteks riil di Timor Leste, bila penelaahan ini berasal dari berbagai macam disiplin ilmu. Namun, untuk kali ini perkenangkanlah penulis untuk menelaah dalam sudut pandang hukum dan politik terkait dengan pengakatan Ana Pessoa Pinto menjadi Jaksa Agung baru untuk masa bhakti empat tahun sebagaimana tersurat dalam Pasal 133 ayat (3) UUD RDTL.

Pendapat hukum tentang keputusan PR Horta

Secara pribadi penulis sangat menjunjung tinggi amanat UUD RDTL, sebagaimana Pasal 133 UUD kita memberikan landasan hukum yang fundamentalis kepada seorang PR Horta untuk memilih, mengangkat Jaksa Agung dan atau/ memberhentikan Jaksa Agung dari jabatannya. Keputusan PR Horta dalam menjadikan UUD sebagai landasan hukum tertinggi di negara RDTL dalam konteks ini adalah keputusan legal secara yuridis-normatis, tapi illegal dalam konteks ruang lingkup keputusan yuridis-sosiologis. Dan tentunya pertimbangan dari berbagai macam multi-aspek telah dijadikan PR Horta untuk menjadi tolok ukur dalam memilih Ana Pessoa Pinto menjadi Jaksa Agung. Sehingga cita-cita negeri ini dalam memberikan ruang gerak hukum yang lebih reformatif dapat segerah digapai. Apalagi negeri ini sejak dinobatkan menjadi negara RDTL 20 Mei 2002 hingga detik ini masih mengalami kesuraman hukum sehingga penegakan hukum di negeri setengah pulau ini masih terlihat stagnan dan tertatih-tatih. Apalah gunanya seorang top manager dalam suatu lembaga diganti, tapi perubahan system kelembagaan dan kepemimpinan tidak menjadi landasan factual untuk kepentingan khalayak. Bila wacana inilah yang akan terjadi dalam lembaga Kejaksaan Agung, maka bukan tidak mungkin negeri ini akan terus-terusan menjadi sorotan dunia internasional bahwa penegakan hukum dan HAM di negara kita masih sangat lemah.

Sedikit meminjam statement dari Abraham Lincoln bahwa, hampir setiap orang punya kemalangan, tapi jika kita ingin mengenal watak manusia, coba beri dia kekuasaan. Penulis meminjam kalimat pendek ini, karena opini public saat ini terkait dengan figure Ana Pessoa Pinto menjadi Jaksa Agung TL baru, lagi-lagi marak diperdebatkan. Pro-kontra antara lawan dan kawan tak mungkin dielakkan. Secara pribadi, penulis tidak begitu mengenal sosok seorang Ana Pessoa Pinto, apalagi latar-belakang pendidikan hukumnya. Tapi penulis ingin mengajak semua lapisan masyarakat yang barangkali kontra dengan keputusan PR Horta untuk berhenti sejenak agar tidak kontra dan memberikan kesempatan kepada Ana Pessoa Pinto untuk memimpin Kejaksaan Agung dalam jangka waktu empat tahun. Watak dan kinerja kepemimpinan seorang Ana Pessoa sedikit banyak sudah pertontonkan kepada kita sejak beliau menjabat sebagai Ministra Estatal pada masa kepimpinan manta PM Mari Alkatiri. Meskipun sejak saat itu hingga Ana Pesoa Pinto menjadi salah satu wakil rakyat dari fraksi Fretilin (partai oposisi di PN) juga belum memberikan produktifitas kepimimpinannya sebagai seorang politisi wanita.

Sebenarnya, bila khalayak ingin menafsirkan kalimat pendek dari Abraham Lincoln tersebut di atas, figure seorang Ana Pessoa Pinto sudah sejak lama dikenal dan bahkan sudah akrab di mata orang-orang Timor Leste, sehingga sejauh mana kepasitas beliau dalam dunia politik pun sudah bisa dideskripsikan oleh masing-masing individu. Bukan bermaksud menyepelekan kapasitas kepemimpinan Ana Pessoa Pinto, bukan pulah penulis menganggap lebih tahu dari beliau, tapi penempatan sumber daya manusia pada berbagai macam posisi di lembaga pemerintahan dan non-pemerintahan di negara kita masih belum fair, takutnya politik perkoncoan justru menjadi dasar keputusan dari para decision maker di RDTL, terutama sang PR terkait dengan keputusanya. Percikan api politik hipokritis yang muncul di periode kepemimpinan lalu akan semakin membara jikalau niat dan jiwa para pemimpin ulun kita dalam mematikannya telah hilang.

Bukan baru kali ini publik seperti kesambar petir akibat keputusan PR Horta, kita coba flashback kepada keputusan-keputusan beliau yang lalu, salah satunya pemberian remisi Horta kepada mantan napi Regerio Lobato, salah satu pelaku perbuatan makar pada krisis politik nasional tahun 2006 silam. Jelas-jelas keputusan kepala negara saat itu sangat bernuansa politis, sekalipun PR memiliki hak prerogratif dalam konteks ini. Mungkinkah keputusan PR dalam memberikan kursi Kejaksaan Agung kepada Ana Pessoa Pinto yang tidak lain, mantan istrinya PR Horta bisa terulang kembali? Jawabannya, bisa saja! Keputusan PR Horta kali ini adalah sifat kepemimpinan yang sudah begitu kental dan melekat pada figure seorang Horta, lulusan Academi Harvard Law School (World Top Universities QS version). Melihat latar-belakang studi hukumnya PR Horta, penulis menganggap bahwa beliau adalah salah satu dari sekian banyak lulusan hukum yang pengetahuan hukumnya lebih dari tokoh-tokoh atau akademisi lain. Tapi, ternyata penulis salah. Tanpa dipungkiri, kalau ternyata fiat justitia ruat coelum yang merupakan salah satu azas hukum mendasar dalam sautu negara hukum dan demokratis, seperti RDTL acapkali diperjual-belikan.

Dari beberapa keputusan yang pernah ditempuhi oleh PR Horta memberikan suatu indikasi bahwa keputusan-keputusan dari seorang kepala negara adalah keputusan yang tidak bersifat socio-yuridis. Terkait dengan keputusan PR Horta, penulis menilai bahwa keputusan hukum yang beraliran sociological jurisprudence (Roscoe Pound) sangat diabaikan. Padahal aliran hukum dalam ilmu filsafat hukum ini merupakan paradigma hukum yang telah berabad-abad dijadikan sebagai patokan hukum bagi negara-negara maju dan negara-nega berkembang di dunia saat ini. Muncullah pertanyaan, PR Horta menganut aliran hukum apa di dunia? Tunggu keputusan hukum lainnya PR!

*). Mahasiswa Fakultas Hukum (semester VI). Universitas Narotama Surabaya, Indonesia.


Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.