VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20090125

KEVAKUMAN POSISI DUBES TIMOR LESTE UNTUK INDONESIA; sebuah ancaman dan simpton kritis terhadap politik diplomasi kita menuju ASEAN

*). J. MONTEIRO (monteiro.87@hotmail.com)
Perubahan dunia disertai dengan perubahan paradigma adalah sebuah proses multidimensi yang menuju sebuah tatanan dunia tanpa batas-sekat antar negara (borderless). System dan pola kehidupan masyarakat dunia semacam itu akan secara berkesinambungan memaksa dalam pengaksesan informasi tanpa batas. Dengan kondisi dan atmosfir kehidupan masyarakat seperti itu yang orientasinya mengarah pada masyarakat berwawasan internasional adalah satu dampak positif dan negatif yang tak dapat dielakkan akibat perubahan sosial budaya dan perubahan mindset suatu masyarakat di seluruh seantro dunia. Lalu, muncul pertanyaan, apakah Timor Leste telah siap dan layak untuk menjadi masyarakat dunia yang dinamisatif, informatif, inovatif dalam pentas diplomasi internasional?

Penulis sengaja memberikan pertanyaan tersebut di atas, terkesan sederhana tapi akan bisa menjadi lebih ruwet atau bahkan jelimat apabila kita menenggok permasalahan politik nasional kita, dimana secara eksplisit dan implisit turut mempengaruhi pecaturan politik internasional kita di dalam pergaulan antar negara. Hal ini sesuai dengan seorang pakar Hubungan Internasional (Teuku Rezasyah, UNPAD), bahwa kita harus mengakui bila sebuah keputusan dan kinerja nasional di panggung internasional yang komprehensif, berjangkau masa depan (futuris), dan benar-benar dilakukan secara bertanggung jawab, hanya dilakukan oleh sebuah negara yang lingkungan politik dalam negeri stabil. Pernyataan dan alur pikir pakar hubungan internasional di atas ini seolah menjadi suatu tamparan kepada negara kita, yang tengah mengalami krisis politik luar negeri. Kevakuman posisi Duta Besar Dili untuk Jakarta seakan memeberikan sinyalemen bahwa kegigihan nasional dalam menghantarkan negeri ini menjadi anggota keluarga ASEAN seakan menjadi samar. Defisiensi sumber daya manusia dalam bidang diplomasi adalah salah satu hambatan negeri ini. Bila saat ini, kita mengalami krisis politik diplomasi untuk seorang diplomat yang menjadi wakil dari Timor Leste di Jakarta, bukan tidak mungkin kalau kita akan semakin kewalahan untuk mencari para diplomat lugas yang bisa menjadi wakil-wakil kita di negara-negara anggota ASEAN, ketika Timor Leste resmi diterima oleh negara-negara anggota ASEAN. Memang, saat ini beberapa negara anggota ASEAN, kita telah memiliki duta besar atau duta besar luar bisa. Tapi, fakta justru menjelaskan dan memberikan suatu track record di bawah skala rata-rata, kalau memang negara kita ingin melakukan rating terhadap kinerja, kapabilitas dan profisionalisme para duta besar, para counselor, attaché (junior currier) atau para pejabat non-karir lainnya. Tidak lagi menjadi rahasia segelintir orang kalau ternyata, oknum dari pejabat negara yang ditugaskan untuk mewakili negara kita di luar negeri justru menggunakan waktu diplomasi mereka untuk keperluan individual meraka. Tak heran, kalau ada yang sampai menanggalkan tugas dan tanggungjawabnya sebagai staff diplomasi lalu melanjutkan studinya, entah itu program sarjana, magister atau doktoral.

Diplomat adalah seeker opportunity
Kalimat pendek ini adalah pendapat Dino Pati Djalal, PhD, juru bicara kepresidenan Indonesia untuk urusan luar negeri yang dituliskan dalam bukunya “Kepemimpinan Ala SBY”. Kalimat seeker opportunity di sini terkesan menuntut agar para diplomat yang ditugaskan di luar negeri, harus bisa memanfaatkan masa bhaktinya untuk mencari peluang dan potensi-potensi yang bisa memberikan dampak positif terhadap kepentingan negara. Seorang diplomat sebagai pencari kesempatan, bukan berarti menjadikan kesempatan itu dalam kesempitan, karena mustahil kalau negara yang mau diajak kerjasama, bila negaranya tidak mendapat keutungan dari hasil kerjasama nanti. Para seeker opportunity di sini harus lugas dan luwes untuk pandai melobi, sehingga win-win agreement bisa tercapai. Sejauh ini yang penulis amati, para duta besar Timor Leste untuk Indonesia di Jakarta yang sudah diganti berkali-kali belum memberikan kontribusi nasional yang begitu signifikan. Apalagi, para diplomat yang ditugaskan di Jakarta itupun kebanyakan diplomat amatiran. Celakanya lagi, para diplomat dan staff lainnya bukan orang-orang yang sedikit banyak tahu- menahu tentang politik luar negeri dengan landasan hukum diplomatik sebagai tolok ukurnya. Isu kevakuman posisi dubes kita di Jakarta saat ini tengah menjadi perdebatan mencuat dan fenomenal di kalangan pelajar Timor Leste yang saat ini tengah menimba ilmu di Indonesia. Bukan tidak mungkin, kalau kadang-kala para pelajar kita di Indonesia juga merasa apatis terhadap kinerja dan performa diplomat dan staff bawahan lainnya. Sebab, ada atau tidaknya duta besar di Jakarta pun seakan tidak menjawab keluh-kesah para pelajar kita di Indonesia. Tak heran, kalau ternyata hampir setiap bulan atau setiap semester selalu ada pelajar Timor Leste yang dipulangkan ke negara kita karena permasalahan keimigrasian. Padahal, kehadiran duta besar dan kanselor di Indonseia sudah seharusnya tanggap terhadap masalah yang dialami oleh warganya. Pejabat diplomat seakan tampil diam dan membisu seribu bahasa. Peran mereka di atas dan atau/di belakang panggung diplomasi di Indonesia saat ini sangatlah lemah. Mungkin sudah tiba saatnya, kita menerapkan kebijakan put the right man on the right place dalam pentas diplomasi kita, dan bila perlu kebijakan put the right man on the right place tidak hanya diterapkan pada tingkat kemetrian (dalam hal ini, urusan diplomasi, adalah tanggungjawab kementrian luar negeri), tapi justru diterapkan dalam skala nasional di setiap devisi dan sub devisi kementrian, tanpa pandang bulu. Aksi politik nasional ini adalah salah satu ajang pemberangkatan negara kita menuju system dan tatanan kehidupan masyarakat yang madani dengan ahklak moral yang fundamentalis dan berwawasan global dengan selalu mengindahkan prinsip-prinsip hukum dan tata cara pengaulan internasional sebagai landasan hukum dalam pergaulan dan transaksi antar bangsa.

Tanpa kita sadari, sebuah nada miris beranggapan bahwa globalisasi adalah situasi dan sengaja diciptakan untuk mengkapitalismekan dunia yang dikendalikan oleh organisasi internasional atau bahkan negara-negara maju lainnya. Namun, ada pula yang beranggapan bahwa globalisasi merupakan kehendak jalinan system sosial yang dinamis dan berubah ke arah yang lebih kompleks. Bukan tidak mungkin, negara kita bisa saja terperangkap dan menjadi bagian dari anggapan miris di atas tadi, apabila pembenahan politik nasional yang berwawasan hukum dan hak azasi manusia tidak lagi menjadi acuan mendasar. Apalagi, prestasi politik internasional itu hanya bisa dicapai apabila prestasi politik nasional telah kita raih. Prestasi politik nasional akan menjadi entry point bagi negara di dunia manapun untuk memasuki pergaulan internasional. Karena dengan begitu self-confidence state kita seakan terus menggebu-gebu dan ini menjadi kunci kesuksesan kita. Bila tidak, percaturan politik kita akan selalu menjadi ajang politik pelarian, sehingga masyarakat dunia internasional dalam pergaulan antar bangsa akan terus memandang kita dengan sebelah mata. Seakan-akan harga diri dan kedaulatan bangsa kita di mata masyarakat internasional terkesan melayang di atas awan atau bahkan alergi.

Terlepas dari segala bentuk polemik saat ini, yang jelas proses globalisasi sudah berjalan, bahkan sudah di depan mata kita. Mau tak mau kita harus masuk pada system pergaulan itu. Apabila kita tidak mau supaya negara kita terus-terusan dikucilkan oleh negara lain. Atau bahkan sampai dijuluki menjadi negara isolir (isolated state) dari negara-negara lain. Sekarang, yang menjadi tantangan kita saat ini adalah bagaimana kita bisa menyiasati kondisi globalisasi ini agar memberikan kontribusi positif secara kontinyu bagi system tatanan masyarakat kita di hari esok kelak. Berbagai macam aspek dan isu yang multi-konseptis, disertai dengan paradigma global di seluruh seantro dunia diharapkan bisa memberikan semangat dan jiwa nasionalisme yang gagah berani, sehingga wujud internasionalisasi melalui berbagai macam pentas dan transaksi antar negara bisa secepatnya dalam digenggaman negara Timor Leste secepatnya.

Sedikit, mengutip pidato presidensial Barack H. Obama Jr, pada tanggal 20 Januari 2009 lalu, bahwa besar kecilnya negara dan pemerintahan bukanlah suatu permasalahan. Yang terpenting di sini, adalah bagaiman negara dan pemerintahan itu berjalan. Mungkin tidak ada salahnya kita menjadikan pernyataan Presiden AS, mantan senator negara bagian Ilinois yang juga pernah menimba ilmu di bangku Sekolah Dasar Santo Fransisco de Asis, Jakarta dan SDN Menteng Jakarta ini sebagai referensi politik bagi pembangunan dan pengembangan cita-cita bangsa, salah satunya menghantarkan ibu pertiwi ke dalam keluarga besar ASEAN di tahun 2012 nanti.

Terakhir, pesan penulis secara khusus untuk para politikus dan tokoh-tokoh ulun kita di Timor Leste yang saat ini, mungkin ada yang terasa cacing kepanasan di atas kursi kepempinan yang dititipkan oleh rakyat: “Anda tidak akan berhasil menjadi politikus dan pemimpin yang baru bila anda bersikeras untuk mempertahankan cara-cara konvensional anda. Anda akan disebut menjadi politikus baru, hanya bila cara-cara inovatif anda”. *).
*Mahasiswa Fakultas Hukum (Semester V) Universitas Narotama Surabaya, Indonesia. Telp. +6281 231 387 458.

Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.